Beranda / Romansa / Jejak Langkah Sang CEO / Jejak Di Balik Bayangan

Share

Jejak Di Balik Bayangan

Penulis: ENDRA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-04 17:56:56

Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.

“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.

“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”

Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”

“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”

Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”

Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa berhenti sekarang.

Di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruang rapat kecil bersama Nathaniel dan Lucas. Dokumen dari Alya tergeletak di meja.

“Lucas, lo udah cek data ini?” tanya Aiden sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.

“Udah,” jawab Lucas sambil membuka laptopnya. “Dan gue setuju sama jurnalis itu. Ada transaksi mencurigakan yang nyangkut ke salah satu vendor kita.”

Nathaniel mengernyit. “Vendor mana?”

Lucas mengetik cepat dan menunjukkan layar laptopnya. “Perusahaan kecil bernama GreenFlow Logistics. Mereka dapet kontrak kecil dari Zenith tiga bulan lalu, tapi gue nemuin ada aliran dana yang nggak wajar masuk ke rekening mereka.”

Aiden membaca data di layar dengan serius. “Lo bisa lacak siapa di balik GreenFlow ini?”

“Gue lagi proses,” jawab Lucas. “Tapi kayaknya ini perusahaan cangkang.”

Nathaniel bersandar di kursinya, kelihatan frustrasi. “Kalau ini bener-bener sabotase, siapa yang untung? Samuel? Victor?”

“Bisa jadi,” gumam Aiden. “Tapi kita nggak bisa nuduh tanpa bukti konkret.”

Sore itu, Alya janjian dengan Vina di sebuah kafe kecil dekat kantor. Vina datang dengan wajah serius, sesuatu yang jarang Alya lihat dari informannya yang biasanya ceria.

“Lo dapet sesuatu?” tanya Alya langsung, tanpa basa-basi.

Vina mengangguk sambil menyerahkan sebuah flashdisk. “Ini data tambahan soal GreenFlow Logistics. Gue dapet dari teman gue yang kerja di salah satu bank. Lo harus hati-hati, Alya. Ini data sensitif.”

Alya menerima flashdisk itu dengan hati-hati. “Thanks, Vin. Gue bakal hati-hati.”

“Tapi Alya…” Vina menatapnya dengan khawatir. “Kalau ini bener-bener sabotase, berarti pelakunya nggak cuma main di level bisnis. Ini bisa nyentuh level yang lebih tinggi.”

Alya mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa takut yang mulai menjalari pikirannya. “Gue tahu. Tapi gue harus tahu siapa dalang di balik ini semua.”

Malam harinya, Aiden duduk sendirian di ruang kerjanya. Cahaya layar laptop jadi satu-satunya penerangan di ruangan itu. Dia membuka file yang dikirim Lucas tentang GreenFlow Logistics, sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada.

Pikirannya tiba-tiba kembali ke masa kecilnya, ketika dia melihat ayahnya, Ravi Ravindra, berjuang melawan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya. Luka itu masih terasa sampai sekarang, dan Aiden nggak mau sejarah itu terulang di Zenith.

Tara mengetuk pintu sebelum masuk. “Pak, ada pesan dari Pak George. Dia mau jadwal meeting besok dipindahin ke siang.”

Aiden mengangguk tanpa menoleh. “Terima kasih, Tara.”

Tara ragu sejenak sebelum bicara lagi. “Pak, saya dengar soal sabotase ini… Anda yakin semua orang di dalam tim bisa dipercaya?”

Aiden mendongak, menatap Tara dengan tatapan tajam. “Kalau ada yang berkhianat, gue sendiri yang bakal pastiin mereka nggak bisa ngelakuin itu lagi.”

Tara mengangguk pelan sebelum keluar, meninggalkan Aiden dengan pikirannya.

Alya baru aja sampai rumah setelah seharian kerja. Dia langsung menghidupkan laptop di meja kerjanya, nggak sabar buat ngecek data dari Vina. Sambil menunggu file di flashdisk terbuka, dia menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Lo beneran nggak takut ya?” tanya Zaki, kakaknya, yang tiba-tiba muncul dari pintu.

“Takut apa?” Alya pura-pura santai.

“Lo tahu sendiri kan, yang lo hadapin sekarang bukan orang biasa,” Zaki mendekat, duduk di sofa kecil di kamar Alya. “Gue nggak mau lo kenapa-kenapa cuma gara-gara ngejar berita.”

Alya menoleh ke Zaki, tersenyum tipis. “Gue ngerti kok, Kak. Tapi gue yakin gue harus lakuin ini. Bukan cuma buat karier gue, tapi buat kebenaran.”

Zaki mendesah, jelas nggak puas sama jawaban itu. “Kebenaran nggak bakal berarti kalau lo sendiri jadi korban. Lo janji sama gue, hati-hati, oke?”

Alya mengangguk. “Janji.”

File di laptop akhirnya kebuka. Alya mulai membaca isi data itu, dan matanya langsung terpaku pada satu nama: Evelyn Kurniawan.

Sementara itu, di kantor Zenith Corp, Aiden baru aja selesai meeting internal dengan Nathaniel dan Lucas. Mereka sepakat untuk menyelidiki lebih jauh soal GreenFlow Logistics tanpa bikin banyak orang tahu.

“Aiden, gue ada feeling buruk soal ini,” ujar Nathaniel sambil memasukkan file ke dalam tasnya. “Kalau pelakunya beneran Evelyn, kita harus lebih hati-hati. Lo tahu dia licik banget.”

“Gue tahu,” jawab Aiden sambil menatap Nathaniel. “Tapi lo juga tahu, gue nggak pernah takut sama Evelyn. Dia cuma masalah kecil dibanding ancaman yang lebih besar.”

Lucas berdiri dari kursinya, memasang raut serius. “Kita nggak bisa anggap ini masalah kecil, Aiden. Kalau Evelyn bener-bener ada di balik ini, dia nggak akan main sendiri. Pasti ada backing-nya.”

Aiden hanya mengangguk pelan. Dia tahu mereka benar, tapi dia nggak suka kelihatan ragu di depan timnya. “Gue akan pastiin semua ini selesai sebelum mereka bisa ngelangkah lebih jauh.”

Nathaniel memandang Aiden dengan tatapan prihatin sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Lucas mengikuti, meninggalkan Aiden sendirian.

Aiden meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat:

“Kita perlu ketemu. Ada sesuatu yang harus lo jelasin.”

Pesan itu dia kirim ke nomor yang sudah lama dia hapus dari kontaknya—Evelyn Kurniawan.

Di sebuah restoran mewah di pusat kota, Evelyn sedang menikmati makan malam dengan salah satu koleganya, Victor Liem. Senyumnya lebar saat melihat pesan dari Aiden.

“Aiden akhirnya ngajak gue ketemu lagi,” ujar Evelyn sambil menunjukkan layar ponselnya ke Victor.

Victor tertawa kecil. “Kayaknya dia mulai tahu permainan kita.”

“Bagus. Kalau dia tahu, berarti dia bakal semakin panik. Dan itu artinya… kita makin dekat ke tujuan,” jawab Evelyn sambil menuangkan anggur ke gelasnya.

“Tapi lo yakin dia nggak bakal balik ngejebak lo?” tanya Victor.

Evelyn mendongak, menatap Victor dengan penuh percaya diri. “Aiden mungkin pintar, tapi dia terlalu emosional kalau soal masa lalu. Gue tahu kelemahannya. Dan gue akan pakai itu.”

Di sisi lain kota, Alya masih fokus membaca data di laptopnya. Dia membuka file yang berisi daftar transaksi Evelyn, dan matanya terpaku pada satu nama lain: Monica Setiawan.

“Apa hubungan mereka?” gumam Alya pelan.

Alya segera mengambil ponselnya dan menelepon Vina. Setelah beberapa dering, suara Vina terdengar.

“Ada apa, Alya?”

“Vin, lo tahu sesuatu soal hubungan Evelyn Kurniawan sama Monica Setiawan?”

Vina terdiam sejenak. “Monica? Hmm, setahu gue mereka pernah kerja bareng dulu. Tapi kenapa lo tanya?”

“Ada jejak transaksi antara mereka,” jawab Alya cepat. “Kayaknya mereka kerja bareng buat ngejatuhin Zenith.”

“Kalau bener, ini bakal gede banget, Alya. Lo harus hati-hati,” kata Vina dengan nada serius.

“Gue ngerti,” jawab Alya. “Thanks, Vin. Gue bakal kabarin lo kalau nemu sesuatu lagi.”

Setelah telepon ditutup, Alya merasa makin yakin kalau dia udah nyentuh sesuatu yang besar. Tapi dia juga tahu, langkah berikutnya harus lebih hati-hati.

Keesokan harinya, Alya sengaja pergi ke kafe favoritnya untuk fokus nyusun strategi. Laptop terbuka di depan, tapi pikirannya lagi-lagi melayang. Nama Monica Setiawan terus terngiang di kepalanya.

Mira, sahabatnya, tiba-tiba duduk di depannya sambil nyodorin dua cangkir kopi. “Lo butuh ini,” katanya santai.

Alya mendesah, menutup laptopnya. “Thanks, Mir. Gue lagi mumet banget.”

“Jelas banget, muka lo udah kayak skripsi deadline,” Mira tertawa kecil. “Jadi, siapa kali ini yang bikin lo pusing?”

“Monica Setiawan,” jawab Alya sambil mengaduk kopinya.

“Monica? Marketing queen yang katanya super ambisius itu?” Mira mencondongkan tubuhnya, penasaran.

“Yup. Gue nemu jejak dia kerja bareng Evelyn Kurniawan. Dan… ada kemungkinan mereka berdua nge-backup sabotase di Zenith.”

Mata Mira melebar. “Buset, ini serius, Al. Lo yakin mau terusin ini? Gue nggak mau lo kenapa-kenapa.”

Alya menatap Mira dengan senyum tipis. “Justru karena serius, gue harus terusin, Mir. Kalau enggak, siapa lagi yang berani?”

Di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela kaca besar di ruangannya. Dia baru selesai membaca laporan investigasi awal dari Nathaniel.

“Monica?” Aiden mengulang nama itu pelan, lebih ke dirinya sendiri.

Nathaniel, yang duduk di sofa, mengangguk. “Dia punya banyak alasan buat ngerusak kita, Aiden. Gagal promosi, nggak dapet recognition, dan… ada hubungannya sama Evelyn.”

Aiden menoleh, matanya menyipit. “Apa yang lo tahu soal hubungan mereka?”

“Masih belum lengkap, tapi kelihatannya mereka udah kerja bareng sebelum Evelyn keluar dari Zenith. Gue curiga Evelyn bawa dia ke startup Victor.”

Aiden mengepalkan tangan. Kalau ini benar, artinya dia bukan cuma berurusan sama satu musuh, tapi jaringan yang jauh lebih besar.

“Kita harus temuin bukti lebih kuat,” kata Aiden akhirnya. “Kalau perlu, kerahkan semua resources kita. Gue nggak mau ada celah.”

Nathaniel berdiri, mengangguk paham. “Gue akan minta Lucas bantu nyari di sistem.”

Sore itu, Aiden memutuskan untuk menemui Evelyn sesuai pesannya kemarin. Mereka janjian di lounge hotel mewah, tempat yang biasa jadi pilihan Evelyn untuk rapat informal.

Evelyn udah menunggu dengan senyum lebar saat Aiden datang. “Kita lama nggak ketemu, ya?” katanya santai sambil menyilangkan kaki.

“Gue nggak datang buat nostalgia,” balas Aiden dingin, langsung duduk di depannya.

Evelyn tertawa kecil. “Masih sama seperti dulu. Selalu tegas, selalu fokus. Jadi, apa yang lo mau?”

Aiden mencondongkan tubuhnya, menatap Evelyn tajam. “Gue mau tahu kenapa lo terus-terusan ngejar Zenith. Apa sebenarnya tujuan lo?”

Evelyn mengangkat bahu, pura-pura santai. “Gue cuma ngambil kesempatan, Aiden. Lo tahu kan, dunia bisnis itu keras. Nggak ada yang gratis.”

“Jangan bohong, Evelyn,” suara Aiden merendah, tapi tegas. “Lo tahu gue nggak main-main. Kalau lo terusin ini, lo bakal nyesel.”

Evelyn membalas tatapannya, kali ini serius. “Kalau gue bilang ini cuma soal balas dendam, lo bakal percaya?”

“Dendam soal apa?”

“Lo nggak pernah ngerti, ya?” Evelyn mendesah pelan, lalu berdiri. “Lo nggak akan ngerti, Aiden. Karena lo terlalu sibuk mikirin dunia lo sendiri.”

Evelyn pergi begitu saja, meninggalkan Aiden dengan berbagai pertanyaan di kepalanya.

Di kantor Alya, Reza Hartono datang ke mejanya sambil membawa print-out berita. “Alya, lo serius mau ngangkat ini?”

Alya menatap lembaran itu. Itu draft berita soal dugaan keterlibatan Monica dan Evelyn dalam sabotase Zenith.

“Kenapa nggak?” jawab Alya, yakin.

“Karena ini bakal nyeret nama-nama gede. Dan, kalau lo nggak punya bukti cukup kuat, lo yang bakal kena,” Reza memperingatkan.

“Justru karena nama mereka gede, publik harus tahu,” balas Alya. “Gue udah punya data. Gue yakin ini bakal jadi breakthrough.”

Reza menghela napas panjang. “Lo jago, Alya. Tapi gue cuma mau lo nggak gegabah. Dunia ini nggak selalu adil buat orang yang cuma bawa idealisme.”

Alya terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Thanks, Mas. Tapi gue tahu apa yang gue lakuin.”

Di dalam hatinya, Alya sadar dia nggak cuma ngelawan sistem. Dia juga bertaruh sama waktu—karena dia tahu, setiap langkah kecil yang dia ambil bisa aja dihentikan kapan pun.

Bab terkait

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Titik Awal

    “Udah sampai, Mbak Alya.” Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya. “Semangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,” gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun. Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa… kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis. “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Alya memberikan ID persnya. “Alya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.” Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. “Silakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.” Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04

Bab terbaru

  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

DMCA.com Protection Status