Kami mengobrol di tempat minum es di depan lapangan bola. Sambil memandangi lapangan bola, kami duduk berdampingan. Bu Raya memberikan kesempatan untukku berbicara setelah meminum es yang dipesan."Begini, Bu Raya, Mas Arman sudah dua kali mengganggu saya di kontrakan. Pertama, waktu saya sendiri di kontrakan. Ia hampir mendekati saya lagi, Bu. Lalu saya bisa kabur, akhirnya dia pergi. Yang kedua semalam, Mas Arman datang, yang membuka adik saya Zul. Ketika dibuka, Zul langsung memukul Mas Arman. Mereka berkelahi, akhirnya ia bisa diusir. Keduanya sampai membuat keributan. Bu Ani--pemilik kontrakan datang, ia khawatir padaku," ceritaku pada Bu Raya.Bu Raya mendengarkan dengan seksama. "Menurut saya, Arman bakal datang lagi. Kamu sudah tak aman berada di situ, Lita!" "Ya, Bu. Ibu saya berpikir demikian. Ia mengajak untuk pulang kampung saja. Tapi, saya belum sukses dan belum beres perceraian kemarin. Mas Arman mengajukan banding.""Ya sudah, kamu di Bogor saja dulu. Setidaknya seben
Bu Raya tersenyum, lalu tangannya mengibas seolah ia tak ingin melanjutkan perkataannya. Aku pun tak bertanya lagi padanya.Kami menuju kontrakan lagi."Kalau Bu Raya mau pulang, silahkan, Bu. Takutnya anak ibu butuh ibu.""Nggak, Lita. Saya mau bicara pada ibumu dulu. Agar ia yakin.""Baiklah, Bu."Setibanya di kontrakan, aku dan Bu Raya bergabung dengan ibu dan adik-adikku. Kami mengobrol lagi. Kusiapkan minum untuk Bu Raya."Bu, diminum, ya!" pintaku."Terima kasih, Lita.""Ayo Bu Raya. Dimakan oleh-oleh dari kampung kami. Biasalah makanan sederhana kalau dari kampung," sahut Ibu."Sederhana tapi enak pastinya." Bu Raya menimpali sembari memakan cantel buatan Ibu."Iya, buatan ibu memang enak." Aku menambahkan.Kami melanjutkan berbincang-bincang. "Bu, Lita sudah memutuskan untuk tetap di sini. Lita akan tinggal di rumah Bu Raya nanti biar Bang Arman segan kalau mendatangiku." Aku membuka suara saat semua sudah tenang.Ibu memandang Bu Raya. Ia pun memandangku lagi."Kamu yakin?"
Beberapa tetangga berbisik saat aku menuruni mobil bak. Disambut oleh Bu Raya. Lokasi rumah Bu Raya bukan perumahan, rumah besarnya berada di antara rumah penduduk biasa. Banyak kontrakan juga di sana, termasuk kontrakanku dulu. "Wah, Mbak Lita balik lagi ke sini. Tapi, malah ke rumah Bu Raya. Beruntung sekali ya!" ucap tetangga yang aku tak tau namanya. Aku hanya kenal muka saja, karena aku tak pernah berkomunikasi langsung dengan mereka selama ini."Bu Raya harus hati-hati, ada janda kembang di rumahnya. Kasian kalau nanti suaminya tergoda," ucap ibu yang lainnya.Aku menoleh ke arah mereka. Kupandangi wajah mereka satu-persatu tanpa bicara. Setelah itu, aku masuk dan membantu Pak Tono membawa barang bawaanku ke dalam.Bu Raya sudah menanti bersama Alma dan Pak Fadhil. Suami Bu Raya sudah ada di rumah, biasanya beliau sibuk, kalau pulang larut malam.Mereka membantu membawakan barangku."Bu Raya, Pak Fadhil, nggak usah bantuin. Biar sama saya saja." Aku berusaha mengambil bawaan y
Dewi diam. Ia menunduk."Ya sudah, silahkan berdoa dulu, baru dimulai. Untuk yang belum salat Dhuha, silahkan salat dulu," usul Bu Raya."Baik, Bu.""Oya, untuk hari ini, bagian input data Lita, ya! Kita giliran, ya! Dewi kamu bagian pengemasan saja.""Baiklah, Bu," jawabku.Dewi diam saja, tapi ia manut. Ia bagian pengemasan.Kami bekerja dengan baik. Alhamdulillah pesananku juga semakin banyak. Downline di seluruh Indonesia, mereka bisa berbelanja langsung di toko terdekat setelah mendapatkan nomor agen.Saat jam istirahat, Dewi menghadap Bu Raya. Mbak Nur dan Eka heran ada kulkas di ruang karyawan. Lalu, mereka yang biasa salat di kamarku, sekarang tak bisa dibuka. Mereka harus salat di ruang sebelahnya, yang sering dipakai Bu Raya untuk mengontrol pekerjaan."Apa yang sebenarnya terjadi, Lita? Apa kamu tau?" tanya Mbak Nur."Aku sekarang tinggal di sini, di rumah ini. Tapi tenang, aku sewa kok, nggak gratis," terangku."Apa? Jadi yang menggunakan ruangan yang dikunci itu? Ruangan
Aku tak mau kelihatan olehnya. Ia terlihat sendiri, tapi ternyata ia menunggu Bu Via istrinya. Namun, kenapa orang kaya malah periksa ke sini? Oh iya, mungkin karena jadwal dokter kandungan ada di sini.Aku tau sifat pelitnya Mas Arman. Dia nggak mau rugi bayar mahal di rumah sakit. Jadi dia bawa istrinya ke bidan. Harusnya Bu Via bisa protes sebagai istri. Uangnya kan uang dia, bukan uang Mas Arman.Mereka tadinya berjalan ke arahku, beruntung istrinya mencolek suaminya. Jadinya mereka berbalik arah, tak sempat melihatku.Aku buru-buru lari keluar klinik bidan Ayu ini. Setelah dirasa sudah tak terlihat, aku langsung naik angkutan umum untuk pulang.Setelah turun dari angkutan umum, di trotoar, ada penjual buah. Aku membeli 2 kilogram jeruk. Rencananya akan kuberikan pada Bu Raya sekilo, untuk aku dan teman-teman kerja sekilo.Saat beli buah, bertemu dengan Bu Ani."Eh, Teh Lita dari mana? Sendirian aja?" tanyanya. Bu Ani membawa anaknya yang berumur sekitar tujuh tahun."Dari klinik
"Inginnya di Bogor saja, agar tak bolak- balik. Aku malu dengan keadaanku, rasanya insecure melahirkan tanpa suami. Ini saja saat kontrol kehamilan, melihat yang lain dengan suaminya, aku merasa tak enak hati. Tapi aku menguatkan diriku agar aku tetap bahagia walau sendiri.""Sabar, ya, Lita. Saya sudah ada calon untukmu, insya Allah setelah kamu lahiran nanti, kamu pasti punya suami. Oya sudah di USG belum jenis kelaminnya apa?""Dari hasil USG, insya Allah laki-laki, Bu. Siapa Bu, calonnya?" tanyaku penasaran."Alhamdulillah. Berarti rencana ini mantap aku laksanakan. Ada seorang calon untukmu. Dia laki-laki yang baik, taat beribadah, insya Allah bakal sayang sama kamu, Lit!"Aku terkejut Bu Raya sudah mempersiapkan calon suami untukku. Kalau Bu Raya yang bilang, insya Allah pasti orangnya memang seperti itu."Siapa, Bu? Boleh saya kenalan dulu?""Nanti, ya. Orangnya belum bisa bertemu kamu. Saya akan minta izin pada orang tuamu langsung, boleh?" tanya Bu Raya yang membuatku penasar
Sebaiknya tak kubalas pesan dari Mas Arman. Jika kubalas khawatir makin panjang dan runyam. Biarlah dia dengan kehidupan barunya, yang mungkin istri barunya terperdaya sehingga mau memberikan apapun untuk Mas Arman.Sebenarnya aku kasihan sama Bu Via yang seperti itu. Nasibnya sama denganku. Jika aku dieksploitasi tenaga dan pikiran, kalau Bu Via mungkin hanya hartanya saja. Perempuan itu tak tau saja tujuan utama Mas Arman adalah yang penting dia sukses.Aku memikirkan siapa yang akan dijodohkan denganku? Bu Raya sepertinya sudah punya orang yang tepat untukku. Semoga memang dia pemimpin yang baik seperti yang Bu Raya katakan kemarin.Alhamdulillah, sampai saat ini menjalankan bisnis, mengikuti langkah Bu Raya, sudah bertambah banyak penghasilan ini. Baik keuntungan langsung dari produk, serta dari perusahaan dengan keuntungan jaringan. Sudah mencapai delapan digit angka, ketika aku mengecek saldo.Sudah malam, aku memilih untuk tidur dengan pikiran positif. Semoga ada masa depan yan
[Boleh, ini dengan siapa?][Aku Rima, temanmu. Sekarang aku di Jakarta. Kalau pake ini bisa untuk yang berumur nggak?][Bisa. Ini contohnya.] Aku lampirkan foto-foto yang sebelum pakai dan sesudah pakai.[Oke deh. Aku mau coba satu dulu. Nanti kalau terasa dan ada perubahan, aku akan beli dalam jumlah banyak.] katanya.Aku sangat senang mendengar kabar seperti ini. Harapan itu selalu ada. Allah buka pintu rezekinya melalui kedua bisnis ini.[Baik. Kamu isi form order dulu, nanti aku total ya, Rima.][Ok]Tak lama aku berikan totalannya dan nomor rekening. [Silahkan transfer, ya, Rima.]Selang 10 menit, Rima mengirimkan bukti transfer.[Sudah, ya, Rima! Semoga bermanfaat dan hasilnya memuaskan nanti.][Ok, terima kasih, Lita!]Bu Raya terlihat di rumah sore hari. Aku bertemu dengannya saat Bu Raya baru pulang. Wajahnya pucat, walau begitu ia tetap tersenyum pada kami."Sudah bereskah pekerjaan hari ini?" tanya Bu Raya."Sudah, Bu," jawab kami."Baiklah kalau begitu. Silahkan pulang,