Bu Raya tersenyum, lalu tangannya mengibas seolah ia tak ingin melanjutkan perkataannya. Aku pun tak bertanya lagi padanya.Kami menuju kontrakan lagi."Kalau Bu Raya mau pulang, silahkan, Bu. Takutnya anak ibu butuh ibu.""Nggak, Lita. Saya mau bicara pada ibumu dulu. Agar ia yakin.""Baiklah, Bu."Setibanya di kontrakan, aku dan Bu Raya bergabung dengan ibu dan adik-adikku. Kami mengobrol lagi. Kusiapkan minum untuk Bu Raya."Bu, diminum, ya!" pintaku."Terima kasih, Lita.""Ayo Bu Raya. Dimakan oleh-oleh dari kampung kami. Biasalah makanan sederhana kalau dari kampung," sahut Ibu."Sederhana tapi enak pastinya." Bu Raya menimpali sembari memakan cantel buatan Ibu."Iya, buatan ibu memang enak." Aku menambahkan.Kami melanjutkan berbincang-bincang. "Bu, Lita sudah memutuskan untuk tetap di sini. Lita akan tinggal di rumah Bu Raya nanti biar Bang Arman segan kalau mendatangiku." Aku membuka suara saat semua sudah tenang.Ibu memandang Bu Raya. Ia pun memandangku lagi."Kamu yakin?"
Beberapa tetangga berbisik saat aku menuruni mobil bak. Disambut oleh Bu Raya. Lokasi rumah Bu Raya bukan perumahan, rumah besarnya berada di antara rumah penduduk biasa. Banyak kontrakan juga di sana, termasuk kontrakanku dulu. "Wah, Mbak Lita balik lagi ke sini. Tapi, malah ke rumah Bu Raya. Beruntung sekali ya!" ucap tetangga yang aku tak tau namanya. Aku hanya kenal muka saja, karena aku tak pernah berkomunikasi langsung dengan mereka selama ini."Bu Raya harus hati-hati, ada janda kembang di rumahnya. Kasian kalau nanti suaminya tergoda," ucap ibu yang lainnya.Aku menoleh ke arah mereka. Kupandangi wajah mereka satu-persatu tanpa bicara. Setelah itu, aku masuk dan membantu Pak Tono membawa barang bawaanku ke dalam.Bu Raya sudah menanti bersama Alma dan Pak Fadhil. Suami Bu Raya sudah ada di rumah, biasanya beliau sibuk, kalau pulang larut malam.Mereka membantu membawakan barangku."Bu Raya, Pak Fadhil, nggak usah bantuin. Biar sama saya saja." Aku berusaha mengambil bawaan y
Dewi diam. Ia menunduk."Ya sudah, silahkan berdoa dulu, baru dimulai. Untuk yang belum salat Dhuha, silahkan salat dulu," usul Bu Raya."Baik, Bu.""Oya, untuk hari ini, bagian input data Lita, ya! Kita giliran, ya! Dewi kamu bagian pengemasan saja.""Baiklah, Bu," jawabku.Dewi diam saja, tapi ia manut. Ia bagian pengemasan.Kami bekerja dengan baik. Alhamdulillah pesananku juga semakin banyak. Downline di seluruh Indonesia, mereka bisa berbelanja langsung di toko terdekat setelah mendapatkan nomor agen.Saat jam istirahat, Dewi menghadap Bu Raya. Mbak Nur dan Eka heran ada kulkas di ruang karyawan. Lalu, mereka yang biasa salat di kamarku, sekarang tak bisa dibuka. Mereka harus salat di ruang sebelahnya, yang sering dipakai Bu Raya untuk mengontrol pekerjaan."Apa yang sebenarnya terjadi, Lita? Apa kamu tau?" tanya Mbak Nur."Aku sekarang tinggal di sini, di rumah ini. Tapi tenang, aku sewa kok, nggak gratis," terangku."Apa? Jadi yang menggunakan ruangan yang dikunci itu? Ruangan
Aku tak mau kelihatan olehnya. Ia terlihat sendiri, tapi ternyata ia menunggu Bu Via istrinya. Namun, kenapa orang kaya malah periksa ke sini? Oh iya, mungkin karena jadwal dokter kandungan ada di sini.Aku tau sifat pelitnya Mas Arman. Dia nggak mau rugi bayar mahal di rumah sakit. Jadi dia bawa istrinya ke bidan. Harusnya Bu Via bisa protes sebagai istri. Uangnya kan uang dia, bukan uang Mas Arman.Mereka tadinya berjalan ke arahku, beruntung istrinya mencolek suaminya. Jadinya mereka berbalik arah, tak sempat melihatku.Aku buru-buru lari keluar klinik bidan Ayu ini. Setelah dirasa sudah tak terlihat, aku langsung naik angkutan umum untuk pulang.Setelah turun dari angkutan umum, di trotoar, ada penjual buah. Aku membeli 2 kilogram jeruk. Rencananya akan kuberikan pada Bu Raya sekilo, untuk aku dan teman-teman kerja sekilo.Saat beli buah, bertemu dengan Bu Ani."Eh, Teh Lita dari mana? Sendirian aja?" tanyanya. Bu Ani membawa anaknya yang berumur sekitar tujuh tahun."Dari klinik
"Inginnya di Bogor saja, agar tak bolak- balik. Aku malu dengan keadaanku, rasanya insecure melahirkan tanpa suami. Ini saja saat kontrol kehamilan, melihat yang lain dengan suaminya, aku merasa tak enak hati. Tapi aku menguatkan diriku agar aku tetap bahagia walau sendiri.""Sabar, ya, Lita. Saya sudah ada calon untukmu, insya Allah setelah kamu lahiran nanti, kamu pasti punya suami. Oya sudah di USG belum jenis kelaminnya apa?""Dari hasil USG, insya Allah laki-laki, Bu. Siapa Bu, calonnya?" tanyaku penasaran."Alhamdulillah. Berarti rencana ini mantap aku laksanakan. Ada seorang calon untukmu. Dia laki-laki yang baik, taat beribadah, insya Allah bakal sayang sama kamu, Lit!"Aku terkejut Bu Raya sudah mempersiapkan calon suami untukku. Kalau Bu Raya yang bilang, insya Allah pasti orangnya memang seperti itu."Siapa, Bu? Boleh saya kenalan dulu?""Nanti, ya. Orangnya belum bisa bertemu kamu. Saya akan minta izin pada orang tuamu langsung, boleh?" tanya Bu Raya yang membuatku penasar
Sebaiknya tak kubalas pesan dari Mas Arman. Jika kubalas khawatir makin panjang dan runyam. Biarlah dia dengan kehidupan barunya, yang mungkin istri barunya terperdaya sehingga mau memberikan apapun untuk Mas Arman.Sebenarnya aku kasihan sama Bu Via yang seperti itu. Nasibnya sama denganku. Jika aku dieksploitasi tenaga dan pikiran, kalau Bu Via mungkin hanya hartanya saja. Perempuan itu tak tau saja tujuan utama Mas Arman adalah yang penting dia sukses.Aku memikirkan siapa yang akan dijodohkan denganku? Bu Raya sepertinya sudah punya orang yang tepat untukku. Semoga memang dia pemimpin yang baik seperti yang Bu Raya katakan kemarin.Alhamdulillah, sampai saat ini menjalankan bisnis, mengikuti langkah Bu Raya, sudah bertambah banyak penghasilan ini. Baik keuntungan langsung dari produk, serta dari perusahaan dengan keuntungan jaringan. Sudah mencapai delapan digit angka, ketika aku mengecek saldo.Sudah malam, aku memilih untuk tidur dengan pikiran positif. Semoga ada masa depan yan
[Boleh, ini dengan siapa?][Aku Rima, temanmu. Sekarang aku di Jakarta. Kalau pake ini bisa untuk yang berumur nggak?][Bisa. Ini contohnya.] Aku lampirkan foto-foto yang sebelum pakai dan sesudah pakai.[Oke deh. Aku mau coba satu dulu. Nanti kalau terasa dan ada perubahan, aku akan beli dalam jumlah banyak.] katanya.Aku sangat senang mendengar kabar seperti ini. Harapan itu selalu ada. Allah buka pintu rezekinya melalui kedua bisnis ini.[Baik. Kamu isi form order dulu, nanti aku total ya, Rima.][Ok]Tak lama aku berikan totalannya dan nomor rekening. [Silahkan transfer, ya, Rima.]Selang 10 menit, Rima mengirimkan bukti transfer.[Sudah, ya, Rima! Semoga bermanfaat dan hasilnya memuaskan nanti.][Ok, terima kasih, Lita!]Bu Raya terlihat di rumah sore hari. Aku bertemu dengannya saat Bu Raya baru pulang. Wajahnya pucat, walau begitu ia tetap tersenyum pada kami."Sudah bereskah pekerjaan hari ini?" tanya Bu Raya."Sudah, Bu," jawab kami."Baiklah kalau begitu. Silahkan pulang,
Setelah mendapat kabar kalau Mas Arman dirawat, aku jadi tak bisa tidur. Mas Arman walau begitu, ia ayah dari anakku. Mudah-mudahan Allah berikan keselamatan padanya.Aku tau sifat pelitnya itu terbawa pada saat kebakaran tersebut. Dan aku yakin ia akan menyelamatkan uang dan barang dagangannya. Tapi, karena sifat itu, bisa membinasakan dirinya sendiri.***Malam hari, menjelang tidur, ada yang meneleponku."Halo, Mbak Lita, kamu tau kabar Mas Arman sekarang?" tanyanya di telepon."Tau sedikit, ini siapa, ya?" tanyaku."Ini Anggi. Aku tau nomor barumu dari Mas Arman beberapa hari lalu. Dan aku tau juga tentang perceraian kalian. Katanya semua terjadi karena Mbak Lita mau dijadikan istri kedua seseorang yang lebih kaya dari Mas Arman. Mbak Lita sungguh picik," ucap Anggi di sebrang sana.Astaghfirullah ... Sungguh tega Mas Arman memfitnahku ke adiknya. Aku tak pernah kepikiran untuk hal seperti itu. Dia tak tau sebenarnya siapa yang bersalah? "Sudah bicaranya?" tanyaku."Iya. Kenapa?
"Iya, Dek. Terima kasih, ya!" jawabnya.Pada akhirnya Mas Fadhil sembuh setelah pengobatan selama setahun. Dari sana, ia mulai semangat mencari pekerjaan lagi. Aku memotivasinya terus, sehingga ia mendapat pekerjaan lagi."Terima kasih, Dek, atas semangatmu selama ini," ucapnya sembari tersenyum bahagia."Sama-sama, Mas. Itu udah kewajibanku sebagai istri," jawabku pelan.***Hari ini, Lita dan Feri berencana mengunjugi pesantren tahfidz. Mereka akan mendonasikan rezeki berupa Al Qur'an dan makanan untuk anak-anak.Mereka sangat senang atas kedatangan donatur. Biasanya kami memang membuka peluang untuk para donatur yang mau berdonasi.Anak-anak bersyukur atas nikmat Allah karena mereka bisa mendapatkan berbagai nikmat, salah satunya bisa membaca Al Qur'an dan makan enak. Memang kalau sesehari, menunya makanan rumah biasa. Namun mereka senang ketika ada donatur yang membawakan makanan favorit anak-anak."Lita, Feri terima kasih atas dukungan kalian. Tau nggak Lit, Feri ini donatur tet
Bu RayaAku sangat senang dengan pernikahan Feri dan Lita. Mereka berdua sangat cocok. Aku tak sembarangan memilihkan Feri calon istri.Sebelumnya aku sudah memperdalam perkenalanku dengan Lita. Ia wanita yang baik, tulus dan ikhlas menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga berpengetahuan luas walau dari kampung serta mau belajar. Buktinya bisnisnya berkembang dengan cepat. Aku terpesona dengan kegigihannya berusaha.Sementara adikku Feri seorang laki-laki yang mencintai istrinya. Ia sempat terpikir untuk tak menikah lagi dengan wanita selain Istrinya. Namun menurutku ia harus mencari pendamping lagi karena masih muda dan untuk mendapatkan keturunan.Setelah merayu, memberikan dalil serta bukti kata-kata dari mendiang istrinya--Rani untuknya, ia pun mau menuruti perkataanku.Aku bilang wanita ini mungkin pendidikannya tak setinggi kamu, tapi ada poin penting lain dari dia yaitu attitude atau sikapnya."Jika benar demikian, aku akan ikuti, Kak," katanya saat itu.Sekaran
Hari ini kami mengunjungi pesantren tahfidz milik Kak Raya. Mas Feri dan aku rencananya akan mewakafkan sejumlah Al Qur'an untuk pesantren ini. Karena pahala dari wakaf ini akan terus mengalir.Apalagi jika Al Qur'an ini dibaca terus oleh para penghafalnya. Luar biasa pahalanya mengalir bagi kami.Selain itu, kami bawakan juga bahan makanan untuk menambah energi mereka dalam menghafal. Anak-anak harus didukung juga oleh makanan yang bergizi agar hafalan mereka terjaga dan meningkat.Saat di sana, kami berdiskusi bersama anak-anak yang sudah berada di sana selama beberapa bulan ini."Kami sangat terbantu dengan pesantren ini. Terima kasih pada Pak Fadhil dan Bu Raya sebagai pemilik pondok pesantren ini serta para donatur seperti Pak Feri dan Bu Lita. Doakan kami semoga Istiqomah dalam menghafal," ucap Yudi. Ia merupakan penghuni pesantren paling besar diantara yang lain. "Sama-sama, Yudi. Semoga Yudi segera menjadi seorang hafidz. Sudah tinggal berapa juz lagi yang belum dihafal?" ta
'Benarkah Mas Feri paham dengan isi hatiku?'Semoga saja ia paham dan selalu berbuat baik padaku.***Tak terasa pernikahan kami sudah berjalan satu tahun. Farhan pun sudah berumur setahun lebih.Mas Feri laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Alhamdulillah Allah berikan suami yang baik setelah ujian yang menimpaku.Aku dan Mas Feri sengaja menunda dulu keinginan kami untuk punya anak. Kami membesarkan Yusuf terlebih dahulu. Ia juga sungguh menggemaskan."Dek, kamu makan dulu sana. Biar aku yang jagain Yusuf, ya!" Saat Mas Feri pulang kerja, lalu sudah mandi, ia menyuruhku makan duluan."Kita makan barengan aja, Mas. Biar Yusuf aku yang gendong," ucapku."Nggak, Dek. Yusuf biar aku saya yang pegang dulu. Aku tau kamu seharian sudah berjibaku dengan pekerjaan rumah. Aku hanya membantu mengasuh Yusuf saja," katanya.Memang awalnya kami memakai asisten rumah tangga. Tapi, ternyata ia tidak jujur. Hingga aku memutuskan mengerjakan semua sendiri. Alhamdulillah aku bisa melakukannya. Mu
"Betul. Aku mengapresiasi kejujuranmu kemarin. Kamu sudah berani bercerita padaku. Terima kasih ya, Dek!""Sama-sama, Mas. Aku pun masih belajar. Tolong ingatkan aku jika salah ya, Mas!" ucapku."Iya, Dek. Aku pun, tolong ingatkan aku. Karena pernikahan tak hanya hal yang manis, yang pahit pun pasti kan hadir. Komitmen yang kuatlah yang akan membuatnya bertahan.""Semoga aku bisa memegang komitmen itu ya, Mas!""Insya Allah, Dek. Kita sama-sama belajar ya!"Saat kami sudah saling berjanji, tak lama Mas Andi meneleponku. "Mas, ini Mas Andi meneleponku.""Kamu belum ganti nomor, Dek?""Belum, Mas. Kan kita di rumah terus, Mas," ucapku."Ya sudah, aku yang mengangkat saja."Aku takut Mas Feri marah-marah pada Mas Andi."Halo Andi, ada apa ya?" Aku tak mendengar jawaban Mas Andi. Hanya perkataan Mas Feri yang kudengar."Aku sudah tau mengenai masa lalu kamu dan istriku. Jadi, kumohon kamu tak usah menghubunginya lagi. Dia istriku, takkan kubiarkan bila diganggu oleh laki-laki lain." Per
Aku melihat siapa yang memanggilku, Alhamdulillah aman. Ternyata dari Zul. Ada apa ya? Segera kuangkat teleponnya.Mas Feri beranjak ke luar kamar, mungkin ia tau aku harus mengangkat telepon ini."Assalamualaikum. Mbak, gimana kabarnya?""Baik, Zul. Alhamdulillah. Ada apa Zul? Mbak kaget tiba-tiba kamu menelepon gini," jawabku."Aku cuma mau mengabarkan sesuatu padamu, Mbak.""Ada apa, Zul?""Aku mendengar, kalau seluruh aset Mas Arman habis," ucap Zul."Tau dari mana kamu, Zul?""Semua orang membicarakan Arman dan keluarganya di sini. Trus, sekarang Mas Arman mendekam di jeruji besi, karena banyak yang melaporkan atas kasus penipuan dan penggelapan uang.""Astaghfirullah. Mas Arman tak pernah puas mengumpulkan harta. Padahal hartanya sudah banyak kemarin.""Ya Mbak, yang melaporkan termasuk mantan istrinya juga, Bu Via," katanya."Ya Allah, aku turut prihatin juga dengan keadaan Mas Arman. Mudah-mudahan dia diberi hidayah Allah ya Zul.""Nggak tau deh. Aku sih seneng aja liatnya. Be
"Mau, boleh!" Mas Feri membuka mulutnya, kusuapkan makananku."Emmm ... enak juga yang ini," katanya. "Gurih banget ya, Dek! Cocok buat ibu menyusui," katanya ."Iya." Lalu aku menyuapinya kembali tak mau kalah."Cie kalian romantis banget." Kak Raya menanggapi.Lalu, Kak Fadhil pun menyuapi istrinya. Kak Fadhil tak segan mengadaptasi apa yang dilakukan adiknya. Kak Raya semringah. Alma juga terbahak melihat orang tua yang saling menyuapi."Aku disuapi juga dong, Pa!" pinta Alma."Boleh, sebentar." Kak Fadhil mengambilkan makanan untuk Alma. Alma senang ia disuapi papanya.Acara makan kami sangat menyenangkan. Lalu ada laki-laki menyapa Mas Feri. Ketika aku menoleh ke sumber suara, orang itu adalah Andi."Eh, Andi lagi ngapain di sini?" tanya Mas Feri pada Andi yang sedang berdua dengan seorang wanita."Habis makan, Pak," jawabnya sambil melirik kearahku. "Maaf Pak saya nggak bisa ikut ke nikahan bapak kemarin."Aku bingung kenapa mereka saling kenal? Tapi aku diam saja untuk menutu
Ternyata Bu Raya dan Keluarga sedang jalan-jalan juga. Dari situ kami memutuskan makan bersama di salah satu restoran."Alma mau makan di restoran korea aja," usulnya."Gimana yang lain? Mau?" tanya Bu Raya."Boleh," jawabku. Aku tak pernah makan ala Korea sebenarnya, tapi tak apalah kucoba untuk memakannya."Kamu nggak apa-apa, beneran?" tanya Mas Feri. Mungkin ia melihat gelagatku yang tak nyaman saat mendengar masakan Korea tadi."Nggak apa-apa, Mas. Aku memang belum pernah coba, makanya aku penasaran. Boleh, ya?" "Oke kalau gitu. Yuk, Kak!"Kami semua menuju salah satu restoran Korea.Aku memilih menu yang sama dengan Mas Feri saja yaitu Bibimbowl. Tapi kata Mas Feri, mending beda saja, jadi bisa merasakan satu sama lain.Kalau suka bisa pesan lagi nantinya. Aku pun dipilihkan jenis makanan yaitu Korean BBQ. Aku manut saja, yang penting bisa makan.Saat menyapa Bu Raya sekarang, aku harus menggunakan kata Kak Raya, atau kakak saja. Mas Feri yang menyarankan itu."Tunggu saja pesa
Kutelusuri rumah Mas Feri. Aku sampai di ruang makan, ia sedang mempersiapkan makan siang untuk kami."Mas, sedang apa?" tanyaku karena bingung mau bertanya apa lagi."Sedang menunggumu, Dek. Hehe." Dia bercanda padaku."Gombal ih." Suka sih digombalin."Sudah kusiapkan makan siang buat kita berdua, Dek. Cuma menghangatkan makanan yang ibumu bawakan saja sih. Nggak apa-apa kan, Dek?" tanyanya."Nggak apa-apa, Mas. Aku oke saja kok, Mas," jawabku.Aku menuju dapur, mau mencari piring untuk kami makan."Dek, mau kemana?""Ke dapur, ngambil piring, Mas.""Nggak usah, Sayang. Sudah aku siapkan untukmu. Itu loh di meja," katanya."Eh, iya. Hehe."Setelah itu, Mas Feri mempersilahkanku duduk. Ia menyiapkan segelas air putih juga untukku. Katanya lebih baik minum air putih dibandingkan minuman yang lain."Yuk, kita berdoa dulu sebelum mulai makan!" ajaknya."Ayo, Mas."Mas Feri memimpin doa, lalu kami makan bersama.Aku mengambilkan tambahan lauk untuknya. Kutaruh di piringnya."Terima kasih