Ah, sudahlah. Lebih baik aku sekarang bersiap untuk bekerja. Seperti biasa aku bertemu dengan kedua rekanku, Mbak Nur dan Eka. Hari ini mereka lebih pendiam. Aku menyapa pun mereka tak terlalu menanggapi."Mbak Nur, gimana orang tuamu yang sakit kemarin? Apa sudah sembuh?" Aku bertanya saat ia datang. Tak biasanya, saat datang tadi, ia diam tak menyapaku."Baikan, Alhamdulillah," jawabnya singkat. Ia langsung mendekati Eka. Mereka saling melihat ponselnya. Entah sedang membicarakan apa.Lalu aku memberanikan diri mendekati mereka lagi. Tapi mereka langsung fokus ke pekerjaan masing-masing.Ada apa dengan mereka? Hal ini membuatku bertanya-tanya. Aku takut ada hal yang salah denganku. Ku coba lihat hasil pekerjaanku menginput poin, ternyata biasa saja. Semua baik-baik saja."Mbak Nur, gimana sudah selesai?" tanyaku.Mbak Nur bukannya menjawab, tapi malah melengos, ia menjauhiku.Kudekati Eka. Ia kutanya, sikapnya sama dengan Mbak Nur."Eka, kamu mau langsung pulang? Anter aku beli mak
Ada apa dengan Bu Raya?Sampai-sampai gadis kecilnya tak muncul lagi di hadapan kami."Kamu kenapa Lita, kok malah diem aja?" tanya Mbak Nur."Maaf, Mbak. Aku kepikiran Bu Raya. Masa beliau tiba-tiba menghilang?" Aku berlogika."Yeay ... Suka-suka dong. Bu Raya mah udah biasa makan ginian. Mungkin beliau kasih kesempatan buat yang jarang atau bahkan nggak pernah makan," ucap Eka."Aduh ... Ternyata kalian semua pikirannya ke makanan melulu. Kalau aku merasa ada yang beda dengannya."."Udah, ah. Kamu jangan kebanyakan ngehalu, Lita. Kita nikmati makanannya sampai habis. Kamu dari tadi nggak makan-makan. Tapi pasti dedek bayi dalam perutmu minta makan," sambung Mbak Nur."Iya. Cepatlah kamu ambil itu, nanti aku ambil kamu nangis lagi!" sahut Eka sembari menunjuk sepotong pizza yang tersisa.Aku mengambilnya. Ini memang kali pertama aku makan pizza. Makanan yang rada aneh di lidah. Tapi lumayan buatku, bisa mengganjal lapar dan seenggaknya aku bisa kekinian.Waktunya pulang buat mbak Nur
"Tidak. Insya Allah baik untuk semua, Lita. Aku akan katakan ketika kami akan melamarmu, nanti. Jadi siap-siap saja ya!" Pernyataan Bu Raya selalu membuatku bertanya-tanya.Aku menyerah juga. Tak mungkin mendesak terus. Aku jadi tak enak padanya."Baiklah, Bu. Kalau memang mau ibu seperti itu. Aku terima saja. Mudah-mudahan memang jodohku. Walau dulu juga aku dijodohkan oleh Ayah pada Mas Arman akibat hutangnya yang banyak.""Apa? Jadi, dulu kamu dijodohkan sama Arman?"Aku terpaksa harus menceritakan kisah ini pada Bu Raya."Ya, Bu. Orang tua terutama Ayah berhutang banyak pada keluarga Mas Arman. Ibunya Mas Arman bilang, kalau anakmu jadi istrinya anakku gimana? Nanti hutangmu lunas," katanya."Kenapa mereka sangat tertarik padamu, Lita?""Saya dulu salah satu murid SMA berprestasi di bidang matematika. Pernah ikut olimpiade se-kabupaten. Keluarga Mas Arman tau prestasiku, makanya mereka ingin menjodohkan kami dengan syarat tadi," jelasku."Kamu mau?""Mau bagaimana lagi, Bu. Saya n
Aku pura-pura tak mendengar pertanyaannya. Dia menanyakan soal suami. Lebih baik aku pura-pura tidur saja. Toh, bukan kewajibanku menjawab pertanyaannya."Lita ... Lit? Kamu tidur ya?" tanyanya.Aku tetap pura-pura tertidur, kepala kupalingkan ke arah jendela bus. Semoga Mas Andi ini nggak banyak bicara lagi. Capek juga meladeninya ngobrol.Tak terasa sudah sampai terminal. Aku langsung memesan ojeg."Nggak apa-apa ini, Mbak? Mbaknya lagi hamil besar kan?" kata tukang ojeg.Aku pun jadi ragu. Biasanya aku santai aja naik ojeg dari terminal ke rumah ibu. Tapi tiba-tiba, Mas Andi datang."Maaf, Pak. Dia bareng saya aja naik mobil." Mas Andi menunjuk ke mobil yang menjemputnya.Aku tadinya menolak, tapi tukang ojek pun mendukung. "Iya sih, daripada nanti jatuh kalau naik ojeg," ucapnya."Ya udah, yuk, Lita!" Ia membawakan tasku. Mau tak mau aku mengikutinya.Ternyata Mas Andi dijemput mobil mewah. Memang dulu dia anak kepala desa. Jadi lumayan terkenal. Tapi, kenapa dia malah naik bus,
Aku mengerjap, yang tadinya aku agak mengantuk. Berita yang disampaikan sama seperti yang kuterima dari Anggi kemarin. Ia memang menikahkanku agar utangnya lunas, tapi tak seperti itu juga. Menuding sebelum tau masalah sebenarnya."Udah, Ayah. Kasihan Lita, baru sampai. Ayah mau membuatnya sedih?""Nggak, Bu. Aku ingin ia sadar. Keluarga Arman keluarga terpandang di kampung ini. Untung saja orang tuanya tak menuntut apa-apa. Mereka hanya pedas mulutnya saja saat datang ke sini," cerita Ayah."Oh, jadi mereka ke sini?""Iya, Lita. Mereka mengadukan kelakuanmu pada Arman. Kamu bikin malu saja!"Ya Allah, Mas Arman bisa-bisanya memutarbalikkan fakta. Aku tak sempat menjelaskan, dia yang koar-koar lebih dulu. Ya sudah tak apa. Semua akan terbukti nanti, siapa yang benar dan siapa yang salah."Sebenarnya bukan begitu. Ayah harusnya jangan percaya langsung, karena Ayah tak mengalaminya. Ibu saja yang kemarin menjengukku, tau kelakuan Mas Arman," jelasku."Kalau itu terjadi akibat perbuatanm
Bu RayaAku mengenal perempuan itu dari para tetanggaku. Ia adalah seorang perempuan yang sering belanja dengan uang lima ribu di tangannya. Aku penasaran dengannya. Kebetulan ia menawarkan jasanya menyetrika baju. Dengan senang hati aku menerimanya.Aku melihat kesehariannya, cukup mengiris hati. Katanya ia mau jual berasnya setengah liter tiap hari. Jadinya kubayar sebesar sepuluh ribu tiap setengah liter. Ia sangat senang ketika aku melakukan itu.Dari wajahnya aku melihat kejujuran dan ketulusan. Aku sangat menyayangkan sikap suaminya yang tak bisa menangkap hati istrinya. Ku berpikir, Arman kan menyesal jika suatu saat Lita lelah menghadapinya.Namun aku tak pernah berhenti untuk menyemangatinya. Semangat untuk memperbaiki rumah tangganya. Berharap suaminya bisa berubah.Cobaan Lita tak hanya sifat pelit suaminya, ia juga harus menghadapi suaminya mendua. Arman sudah berani main api, ia menikahi salah satu temanku bernama Via. Menurut Lita, Arman menikahi Via karena harta. Arman
"Rani, Mas. Rani meninggal." Pertahananku runtuh, aku menangis dipundak Mas Fadhil.Aku lepaskan semua kegundahan dan rasa yang ada di dada ini. Segera ku menenangkan diri.Tak lama, Mas Fadhil telah bersiap-siap. Ia mengajakku segera ke rumah Feri. Pasti mereka membutuhkanku di sana. Feri dan Rani belum memiliki keturunan, mereka sudah menikah selama dua tahun.Lalu Alma datang."Mama kenapa sih?" "Tante Rani meninggal, Alma. Kamu siap-siap. Kita harus segera ke sana!" ajakku.Alma mengangguk, ia segera ke kamarnya untuk berganti pakaian.Kami pergi tanpa bilang pada Lita dan teman-temannya. Mungkin nanti saja, karena sekarang belum waktunya mereka tau.Mas Fadhil menjalankan mobilnya dengan kencang. Aku terkejut dan jantungku hampir copot. "Mas, hati-hati dong!""Maaf, Dek. Aku tadinya berharap kamu senang kalau aku cepat-cepat. Tapi, kamu malah tak senang. Aku pelankan saja!" katanya."Iya, Mas. Biar lambat asal selamat."Tak lama kami sampai di rumah duka.Aku dan Feri sudah tak
"Aku ... baru saja ada di sini, Bu," jawabku."Duduk sini, Nduk." Ibu menyuruhku duduk di sampingnya.Aku menghampiri ibu. Lalu duduk di sampingnya. Ayah menatapku tajam. Tatapan Ayah membuatku tak berkutik. Ia seperti mau memakanku hidup-hidup. "Nduk, Ayahmu ingin kamu kenalan sama Mas Andi. Ayah ingin kamu menikah dengan Andi setelah melahirkan nanti." Ibu membuka pembicaraan."Ya, besok Andi dan keluarganya akan datang ke sini. Mereka akan melamarmu. Pernikahan akan dilakukan pasca kamu melahirkan nanti," ucap Ayah."Yah ... tapi, aku masih belum mau memikirkan pernikahan.""Harus! Kamu harus punya suami yang bener!""Dulu, Lita juga nurut sama Ayah. Berharap suamiku bener. Tapi ternyata, tak seperti yang diharapkan, Yah!" sahutku."Tapi ayah yakin dengan pilihan Ayah kali ini. Ayah berharap kamu bersamanya, Lita!" "Memangnya Ayah utang berapa sama orang tua Mas Andi?"Dengan serta merta, Ayah membulatkan matanya, ia hampir menamparku. Aku langsung menutup kedua mata ini."Kamu