Ternyata ganteng juga calon suamiku. Badannya tinggi tegap, kulit coklat, berlesung pipi, pakai kacamata, rambut agak ikal. Ia mirip sekali dengan Bu Raya.Di bawahnya ada lampiran dokumen. Segera kuunduh dan buru-buru dibuka.Namanya Feri Ardiansyah. Umurnya tak jauh beda denganku, hanya terpaut dua tahun. Lalu ia ternyata anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya bernama Raya Puspita.Ia adiknya Bu Raya. Di sana tertera kalau ia baru kehilangan istrinya karena sakit. Tak terasa air mata ini terjatuh. Rasanya pasti sakit kehilangan orang yang kita cintai. Akupun dapat merasakannya.Aku tersenyum melihat fotonya. Jika dibandingkan dengan Mas Andi, lebih ganteng Mas Andi. Tapi dari pancaran wajahnya, aku lebih suka Mas Feri.Astaghfirullah. Aku harus meneguhkan hati dulu sebelum mantap memilih.***Pagi pun tiba. Ayah sudah bersiap menyambut keluarga Mas Andi. Aku memohon pada Allah agar diberikan yang terbaik menurutnya."Bu, cepatlah tata meja ini. Mana makanannya?" Ayah berteriak di
"Belum tau, Bu. Nanti saya berunding dengan keluarga terlebih dulu, ya, Bu. Semoga bisa secepatnya pulang ke Bogor. Mana HPL saya semakin dekat. Kurang lebih tinggal dua mingguan lagi, Bu," jelasku."Baiklah, nanti saya minta Feri coba hubungi Ayahmu. Agar ada kedekatan antar mereka," usul Bu Raya."Ya, Bu. Saya ikut aja gimana baiknya.""Oke. Baiklah kalau begitu. Sudah, ya. Kamu istirahat dulu, udah malem," katanya."Iya, Bu."Setelah itu, aku menemui Ayah dan Ibu untuk menyampaikan pesan dari Bu Raya. Mumpung belum terlalu malam, karena kalau besok lagi, aku takut lupa."Bu, Yah, kata Bu Raya, nanti adiknya bakal menelepon ke sini. Bu Raya juga menanyakan kapan aku pulang ke Bogor." Aku duduk di samping ibu.Ayah yang ada di hadapan kami, ia memperhatikan diriku."Trus kamunya mau lahiran di sana aja?""Iya, Yah.""Tapi nanti nggak ada yang nemenin kamu loh, kamu sendiri di sana." Ayah mengingatkanku.Ternyata Ayah perhatian juga denganku. Meski kadang aku kesal dengan sikapnya yan
"Eh, maaf. Silahkan masuk, Mas!" Aku mempersilahkannya masuk lebih dulu.Ibu membimbing dari depan untuk memasuki rumah kami. Pantas saja ada mobil mewah terparkir di depan rumah. Ternyata mobilnya Mas Feri.Ya Allah seperti mimpi. Entah aku akan berjodoh dengannya atau tidak. Aku menyerahkan semua pada Allah, tak mau berharap lebih."Maaf Mas Feri, keadaan rumah kami seperti ini," ucap ibu ketika kami sudah di dalam. "Nggak apa-apa, Bu. Sama kok rumah saya pun sederhana,"katanya merendah.Ah, tak mungkin. Kakaknya aja rumahnya besar, pasti Mas Feri pun sama."Mas, saya tinggal dulu, ya sebentar!" Aku pamit padanya untuk istirahat dulu sebentar di kamar."Iya, Dek. Silahkan.""Jangan lama-lama, Lita. Kasihan kalau Mas Feri harus sendirian di sini," sahut Ibu."Ya, Bu."Memangnya Ayah kemana sampai aku harus menemaninya. Duh, aku takut kalau harus keluar lagi bertemu dengannya. Tadi aja aku merasa tak karuan. Jantung berdebar, wajah memanas, darah berdesir, ah pokoknya aku sangat-san
Pikiran negatif berkelebat di otakku. Mas Feri akan menikahiku karena ia melaksanakan amanah istrinya. Akankah ia mencintaiku kelak?"Lita, mengapa kamu terdiam?" tanya Ayah."Nggak apa-apa, Yah. Maaf," jawabku sembari menyunggingkan segurat senyum padanya."Ya sudah, kalau begitu. Mas Feri makan dulu, yuk. Tapi alakadarnya saja ya. Maaf tak bisa menjamu dengan baik." Suara ibu mencairkan hatiku."Baik, Bu." Mas Feri beranjak dari duduknya. Ia mengekor ibu ke ruang makan.Kami makan bersama. Aku jadi nggak enak makan karena kami duduk berhadapan."Bu, aku boleh ke kamar? Kok rasanya pusing ya?" "Kenapa? Ada lagi yang dirasa?" tanya ibu khawatir."Nggak ada. Hanya pusing aja, Bu,"kataku. Lalu aku mengalihkan pandangan ke Mas Feri. "Mas, aku ke dalam dulu, ya!""Iya, Lita. Kamu istirahat aja ya!" ucap Mas Feri."Ya, Mas. Terima kasih."Aku masuk kamar. Dan memang benar aku merasa lelah. Kemudian aku tertidur.***"Bu, kok udah sepi. Mas Feri sudah pulang?" tanyaku."Sudah, Lita!""Oh .
"Bukan, Bu. Aku sudah punya bisnis kok. Ikut Bu Raya juga sih. Tapi ini murni bisnisku. Alhamdulillah hasilnya sudah terlihat. Aku akan membeli tanah Pakle.""Masya Allah, Lita. Kamu kan sedang hamil gini. Gimana cara bisnisnya?" tanya Ibu."Aku kan bisnis online, Bu. Cuma pake hape ini aja!" Aku sengaja perlihatkan ponsel ke ibu. "Ini pemberian Bu Raya loh, Bu.""Ya Allah. Memang Arman nggak membelikanmu hape baru Nduk?" "Nggak, Bu. Dia nggak pernah mau belikan hape baru padaku. Udah ah, males aku bicarakan dia."Nggak lama ada yang ketuk pintu depan."Siapa sih pagi-pagi sudah ada yang bertamu?""Buka saja, Yah," usul Ibu.Pintu dibuka, ternyata Mas Arman."Yah, ada Lita di sini?" tiba-tiba saja dia menanyakan aku.Aku takut, langsung masuk ke kamar."Bu, aku nggak mau ketemu Mas Arman. Dia sudah berkali-kali Mai menyakitiku. Aku mohon, Bu!" Ibu mengangguk, lalu mendekati Ayah yang sedang berdiri di depan pintu.Kamar langsung kukunci. Tak mau mendengar suaranya. Langsung kututup
Ibu yang panik segera memapahku ke dalam rumah. Aku tak bisa diam, langsung dibawa jalan bolak-balik. Kuminta Ibu untuk menyiapkan segala keperluan untuk bersalin. Kami harus segera ke bidan.Zul, Gendis dan ibu mengantarkanku ke bidan terdekat. "Mbak, biar kami ikut mengantar!" Gendis memapahku masuk ke dalam mobil."Iya, Ndis. Makasih banyak. Kebetulan sekali kalian sedang mampir. Aku jadi tertolong," pujiku."Semua sudah diatur Gusti Allah, Mbak," jawab Zul. Kami di mobil hanya sebentar, jarak rumah ibu ke rumah bidan hanya sekitar 500 meter saja.Setelah sampai, aku langsung ditangani oleh bidan dan asistennya. Diperiksalah aku, katanya sudah masuk pembukaan lima, sebentar lagi.Dengan setia ibu dan Gendis mendampingiku, sementara Zul menunggu di luar.Segera bidan menginfusku, lalu aku diminta tarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa kali mengejan, bayi pun lahir. Alhamdulillah, Masya Allah."Selamat bayi anda laki-laki, Bu!" ucap Bidan."Alhamdulillah," jawabku.Ayahnya mana?
"Sudah, Bu. Terima kasih atas semua kasih sayangmu, Bu. Aku senang bisa lahiran di sini.""Sudah tugas ibu, Nduk. Kamu nggak usah seperti itu. Yang penting kamu cepet sehat, ya!" Ibu membelai wajahku. Air matanya menetes. Lalu ibu mengambil bayiku. Ia memandang wajahnya."Nduk, bayimu amat lucu. Ibu senang akhirnya kamu jadi seorang ibu. Kamu harus tetap semangat demi bayimu, Nduk!""Iya, Bu. Makasih ya. Pasti aku tetap semangat.""Calon suamimu kok nggak ada kabar lagi, Nduk? Dia niat nggak sih nikahin kamu?" tanya ibu."Mungkin masih menunggu aku pulih, Bu. Aku juga nggak tau mereka akan ke sini lagi kapan. Aku pasrah saja, Bu. Insya Allah kalau jodoh, pasti semua akan datang. Aku minta doa ibu saja, ya!""Iya, benar. Ibu setuju denganmu, Nduk. Moga Allah berikan yang terbaik untukmu. Kamu bisa bahagia. Ibu ingin melihatmu bahagia, Nduk," katanya."Saat ini pun aku sudah bahagia, Bu. Karena berada denganmu, di sini. Aku sangat senang."Ibu menghela napasnya."Tapi, ibu lihat kamu g
"Assalamualaikum. Lita apa kabar?" Bu Raya yang meneleponku."Waalaikumsalam. Baik, Bu. Bagaimana kabarnya?" tanyaku."Alhamdulillah baik, Lita. Kamu gimana? Anakmu sudah bisa apa?" "Alhamdulillah baik, Bu. Anakku sekarang bisa menatap ibunya. Aku senang, Bu.""Alhamdulillah, ya, saya jadi pengen ketemu!""Iya, Bu.""Oya, Lita, pekan depan kami mau ke sana untuk serahan. Kalau bisa kalian menikah secepatnya," ucap Bu Raya."Baik, Bu, Insya Allah. Kan nanti tergantung kesepakatan, Bu," ucapku."Iya, nanti saya usulkan waktunya sama orang tuamu," ucap Bu Raya."Iya, Bu. Terima kasih, ya!" "Sama-sama, Bu."Setelah menjawab telepon dari Bu Raya, rasanya terjawab sudah teka-teki dalam hidupku. Segera kuberitau ibu agar ia mendengar kabar bahagia dariku. Ibu sedang sibuk beberes rumah. Itulah ibuku, rajin, telaten dan ia selalu ingin membuat rumah sederhana ini nampak indah."Bu, kita bicara yuk di kursi!" ajakku."Ada apa, Nduk?" Ibu berdiri setelah posisi duduk. Ia sedang mengelap bara
"Iya, Dek. Terima kasih, ya!" jawabnya.Pada akhirnya Mas Fadhil sembuh setelah pengobatan selama setahun. Dari sana, ia mulai semangat mencari pekerjaan lagi. Aku memotivasinya terus, sehingga ia mendapat pekerjaan lagi."Terima kasih, Dek, atas semangatmu selama ini," ucapnya sembari tersenyum bahagia."Sama-sama, Mas. Itu udah kewajibanku sebagai istri," jawabku pelan.***Hari ini, Lita dan Feri berencana mengunjugi pesantren tahfidz. Mereka akan mendonasikan rezeki berupa Al Qur'an dan makanan untuk anak-anak.Mereka sangat senang atas kedatangan donatur. Biasanya kami memang membuka peluang untuk para donatur yang mau berdonasi.Anak-anak bersyukur atas nikmat Allah karena mereka bisa mendapatkan berbagai nikmat, salah satunya bisa membaca Al Qur'an dan makan enak. Memang kalau sesehari, menunya makanan rumah biasa. Namun mereka senang ketika ada donatur yang membawakan makanan favorit anak-anak."Lita, Feri terima kasih atas dukungan kalian. Tau nggak Lit, Feri ini donatur tet
Bu RayaAku sangat senang dengan pernikahan Feri dan Lita. Mereka berdua sangat cocok. Aku tak sembarangan memilihkan Feri calon istri.Sebelumnya aku sudah memperdalam perkenalanku dengan Lita. Ia wanita yang baik, tulus dan ikhlas menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga berpengetahuan luas walau dari kampung serta mau belajar. Buktinya bisnisnya berkembang dengan cepat. Aku terpesona dengan kegigihannya berusaha.Sementara adikku Feri seorang laki-laki yang mencintai istrinya. Ia sempat terpikir untuk tak menikah lagi dengan wanita selain Istrinya. Namun menurutku ia harus mencari pendamping lagi karena masih muda dan untuk mendapatkan keturunan.Setelah merayu, memberikan dalil serta bukti kata-kata dari mendiang istrinya--Rani untuknya, ia pun mau menuruti perkataanku.Aku bilang wanita ini mungkin pendidikannya tak setinggi kamu, tapi ada poin penting lain dari dia yaitu attitude atau sikapnya."Jika benar demikian, aku akan ikuti, Kak," katanya saat itu.Sekaran
Hari ini kami mengunjungi pesantren tahfidz milik Kak Raya. Mas Feri dan aku rencananya akan mewakafkan sejumlah Al Qur'an untuk pesantren ini. Karena pahala dari wakaf ini akan terus mengalir.Apalagi jika Al Qur'an ini dibaca terus oleh para penghafalnya. Luar biasa pahalanya mengalir bagi kami.Selain itu, kami bawakan juga bahan makanan untuk menambah energi mereka dalam menghafal. Anak-anak harus didukung juga oleh makanan yang bergizi agar hafalan mereka terjaga dan meningkat.Saat di sana, kami berdiskusi bersama anak-anak yang sudah berada di sana selama beberapa bulan ini."Kami sangat terbantu dengan pesantren ini. Terima kasih pada Pak Fadhil dan Bu Raya sebagai pemilik pondok pesantren ini serta para donatur seperti Pak Feri dan Bu Lita. Doakan kami semoga Istiqomah dalam menghafal," ucap Yudi. Ia merupakan penghuni pesantren paling besar diantara yang lain. "Sama-sama, Yudi. Semoga Yudi segera menjadi seorang hafidz. Sudah tinggal berapa juz lagi yang belum dihafal?" ta
'Benarkah Mas Feri paham dengan isi hatiku?'Semoga saja ia paham dan selalu berbuat baik padaku.***Tak terasa pernikahan kami sudah berjalan satu tahun. Farhan pun sudah berumur setahun lebih.Mas Feri laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Alhamdulillah Allah berikan suami yang baik setelah ujian yang menimpaku.Aku dan Mas Feri sengaja menunda dulu keinginan kami untuk punya anak. Kami membesarkan Yusuf terlebih dahulu. Ia juga sungguh menggemaskan."Dek, kamu makan dulu sana. Biar aku yang jagain Yusuf, ya!" Saat Mas Feri pulang kerja, lalu sudah mandi, ia menyuruhku makan duluan."Kita makan barengan aja, Mas. Biar Yusuf aku yang gendong," ucapku."Nggak, Dek. Yusuf biar aku saya yang pegang dulu. Aku tau kamu seharian sudah berjibaku dengan pekerjaan rumah. Aku hanya membantu mengasuh Yusuf saja," katanya.Memang awalnya kami memakai asisten rumah tangga. Tapi, ternyata ia tidak jujur. Hingga aku memutuskan mengerjakan semua sendiri. Alhamdulillah aku bisa melakukannya. Mu
"Betul. Aku mengapresiasi kejujuranmu kemarin. Kamu sudah berani bercerita padaku. Terima kasih ya, Dek!""Sama-sama, Mas. Aku pun masih belajar. Tolong ingatkan aku jika salah ya, Mas!" ucapku."Iya, Dek. Aku pun, tolong ingatkan aku. Karena pernikahan tak hanya hal yang manis, yang pahit pun pasti kan hadir. Komitmen yang kuatlah yang akan membuatnya bertahan.""Semoga aku bisa memegang komitmen itu ya, Mas!""Insya Allah, Dek. Kita sama-sama belajar ya!"Saat kami sudah saling berjanji, tak lama Mas Andi meneleponku. "Mas, ini Mas Andi meneleponku.""Kamu belum ganti nomor, Dek?""Belum, Mas. Kan kita di rumah terus, Mas," ucapku."Ya sudah, aku yang mengangkat saja."Aku takut Mas Feri marah-marah pada Mas Andi."Halo Andi, ada apa ya?" Aku tak mendengar jawaban Mas Andi. Hanya perkataan Mas Feri yang kudengar."Aku sudah tau mengenai masa lalu kamu dan istriku. Jadi, kumohon kamu tak usah menghubunginya lagi. Dia istriku, takkan kubiarkan bila diganggu oleh laki-laki lain." Per
Aku melihat siapa yang memanggilku, Alhamdulillah aman. Ternyata dari Zul. Ada apa ya? Segera kuangkat teleponnya.Mas Feri beranjak ke luar kamar, mungkin ia tau aku harus mengangkat telepon ini."Assalamualaikum. Mbak, gimana kabarnya?""Baik, Zul. Alhamdulillah. Ada apa Zul? Mbak kaget tiba-tiba kamu menelepon gini," jawabku."Aku cuma mau mengabarkan sesuatu padamu, Mbak.""Ada apa, Zul?""Aku mendengar, kalau seluruh aset Mas Arman habis," ucap Zul."Tau dari mana kamu, Zul?""Semua orang membicarakan Arman dan keluarganya di sini. Trus, sekarang Mas Arman mendekam di jeruji besi, karena banyak yang melaporkan atas kasus penipuan dan penggelapan uang.""Astaghfirullah. Mas Arman tak pernah puas mengumpulkan harta. Padahal hartanya sudah banyak kemarin.""Ya Mbak, yang melaporkan termasuk mantan istrinya juga, Bu Via," katanya."Ya Allah, aku turut prihatin juga dengan keadaan Mas Arman. Mudah-mudahan dia diberi hidayah Allah ya Zul.""Nggak tau deh. Aku sih seneng aja liatnya. Be
"Mau, boleh!" Mas Feri membuka mulutnya, kusuapkan makananku."Emmm ... enak juga yang ini," katanya. "Gurih banget ya, Dek! Cocok buat ibu menyusui," katanya ."Iya." Lalu aku menyuapinya kembali tak mau kalah."Cie kalian romantis banget." Kak Raya menanggapi.Lalu, Kak Fadhil pun menyuapi istrinya. Kak Fadhil tak segan mengadaptasi apa yang dilakukan adiknya. Kak Raya semringah. Alma juga terbahak melihat orang tua yang saling menyuapi."Aku disuapi juga dong, Pa!" pinta Alma."Boleh, sebentar." Kak Fadhil mengambilkan makanan untuk Alma. Alma senang ia disuapi papanya.Acara makan kami sangat menyenangkan. Lalu ada laki-laki menyapa Mas Feri. Ketika aku menoleh ke sumber suara, orang itu adalah Andi."Eh, Andi lagi ngapain di sini?" tanya Mas Feri pada Andi yang sedang berdua dengan seorang wanita."Habis makan, Pak," jawabnya sambil melirik kearahku. "Maaf Pak saya nggak bisa ikut ke nikahan bapak kemarin."Aku bingung kenapa mereka saling kenal? Tapi aku diam saja untuk menutu
Ternyata Bu Raya dan Keluarga sedang jalan-jalan juga. Dari situ kami memutuskan makan bersama di salah satu restoran."Alma mau makan di restoran korea aja," usulnya."Gimana yang lain? Mau?" tanya Bu Raya."Boleh," jawabku. Aku tak pernah makan ala Korea sebenarnya, tapi tak apalah kucoba untuk memakannya."Kamu nggak apa-apa, beneran?" tanya Mas Feri. Mungkin ia melihat gelagatku yang tak nyaman saat mendengar masakan Korea tadi."Nggak apa-apa, Mas. Aku memang belum pernah coba, makanya aku penasaran. Boleh, ya?" "Oke kalau gitu. Yuk, Kak!"Kami semua menuju salah satu restoran Korea.Aku memilih menu yang sama dengan Mas Feri saja yaitu Bibimbowl. Tapi kata Mas Feri, mending beda saja, jadi bisa merasakan satu sama lain.Kalau suka bisa pesan lagi nantinya. Aku pun dipilihkan jenis makanan yaitu Korean BBQ. Aku manut saja, yang penting bisa makan.Saat menyapa Bu Raya sekarang, aku harus menggunakan kata Kak Raya, atau kakak saja. Mas Feri yang menyarankan itu."Tunggu saja pesa
Kutelusuri rumah Mas Feri. Aku sampai di ruang makan, ia sedang mempersiapkan makan siang untuk kami."Mas, sedang apa?" tanyaku karena bingung mau bertanya apa lagi."Sedang menunggumu, Dek. Hehe." Dia bercanda padaku."Gombal ih." Suka sih digombalin."Sudah kusiapkan makan siang buat kita berdua, Dek. Cuma menghangatkan makanan yang ibumu bawakan saja sih. Nggak apa-apa kan, Dek?" tanyanya."Nggak apa-apa, Mas. Aku oke saja kok, Mas," jawabku.Aku menuju dapur, mau mencari piring untuk kami makan."Dek, mau kemana?""Ke dapur, ngambil piring, Mas.""Nggak usah, Sayang. Sudah aku siapkan untukmu. Itu loh di meja," katanya."Eh, iya. Hehe."Setelah itu, Mas Feri mempersilahkanku duduk. Ia menyiapkan segelas air putih juga untukku. Katanya lebih baik minum air putih dibandingkan minuman yang lain."Yuk, kita berdoa dulu sebelum mulai makan!" ajaknya."Ayo, Mas."Mas Feri memimpin doa, lalu kami makan bersama.Aku mengambilkan tambahan lauk untuknya. Kutaruh di piringnya."Terima kasih