"Betul. Aku mengapresiasi kejujuranmu kemarin. Kamu sudah berani bercerita padaku. Terima kasih ya, Dek!""Sama-sama, Mas. Aku pun masih belajar. Tolong ingatkan aku jika salah ya, Mas!" ucapku."Iya, Dek. Aku pun, tolong ingatkan aku. Karena pernikahan tak hanya hal yang manis, yang pahit pun pasti kan hadir. Komitmen yang kuatlah yang akan membuatnya bertahan.""Semoga aku bisa memegang komitmen itu ya, Mas!""Insya Allah, Dek. Kita sama-sama belajar ya!"Saat kami sudah saling berjanji, tak lama Mas Andi meneleponku. "Mas, ini Mas Andi meneleponku.""Kamu belum ganti nomor, Dek?""Belum, Mas. Kan kita di rumah terus, Mas," ucapku."Ya sudah, aku yang mengangkat saja."Aku takut Mas Feri marah-marah pada Mas Andi."Halo Andi, ada apa ya?" Aku tak mendengar jawaban Mas Andi. Hanya perkataan Mas Feri yang kudengar."Aku sudah tau mengenai masa lalu kamu dan istriku. Jadi, kumohon kamu tak usah menghubunginya lagi. Dia istriku, takkan kubiarkan bila diganggu oleh laki-laki lain." Per
'Benarkah Mas Feri paham dengan isi hatiku?'Semoga saja ia paham dan selalu berbuat baik padaku.***Tak terasa pernikahan kami sudah berjalan satu tahun. Farhan pun sudah berumur setahun lebih.Mas Feri laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Alhamdulillah Allah berikan suami yang baik setelah ujian yang menimpaku.Aku dan Mas Feri sengaja menunda dulu keinginan kami untuk punya anak. Kami membesarkan Yusuf terlebih dahulu. Ia juga sungguh menggemaskan."Dek, kamu makan dulu sana. Biar aku yang jagain Yusuf, ya!" Saat Mas Feri pulang kerja, lalu sudah mandi, ia menyuruhku makan duluan."Kita makan barengan aja, Mas. Biar Yusuf aku yang gendong," ucapku."Nggak, Dek. Yusuf biar aku saya yang pegang dulu. Aku tau kamu seharian sudah berjibaku dengan pekerjaan rumah. Aku hanya membantu mengasuh Yusuf saja," katanya.Memang awalnya kami memakai asisten rumah tangga. Tapi, ternyata ia tidak jujur. Hingga aku memutuskan mengerjakan semua sendiri. Alhamdulillah aku bisa melakukannya. Mu
Hari ini kami mengunjungi pesantren tahfidz milik Kak Raya. Mas Feri dan aku rencananya akan mewakafkan sejumlah Al Qur'an untuk pesantren ini. Karena pahala dari wakaf ini akan terus mengalir.Apalagi jika Al Qur'an ini dibaca terus oleh para penghafalnya. Luar biasa pahalanya mengalir bagi kami.Selain itu, kami bawakan juga bahan makanan untuk menambah energi mereka dalam menghafal. Anak-anak harus didukung juga oleh makanan yang bergizi agar hafalan mereka terjaga dan meningkat.Saat di sana, kami berdiskusi bersama anak-anak yang sudah berada di sana selama beberapa bulan ini."Kami sangat terbantu dengan pesantren ini. Terima kasih pada Pak Fadhil dan Bu Raya sebagai pemilik pondok pesantren ini serta para donatur seperti Pak Feri dan Bu Lita. Doakan kami semoga Istiqomah dalam menghafal," ucap Yudi. Ia merupakan penghuni pesantren paling besar diantara yang lain. "Sama-sama, Yudi. Semoga Yudi segera menjadi seorang hafidz. Sudah tinggal berapa juz lagi yang belum dihafal?" ta
Bu RayaAku sangat senang dengan pernikahan Feri dan Lita. Mereka berdua sangat cocok. Aku tak sembarangan memilihkan Feri calon istri.Sebelumnya aku sudah memperdalam perkenalanku dengan Lita. Ia wanita yang baik, tulus dan ikhlas menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga berpengetahuan luas walau dari kampung serta mau belajar. Buktinya bisnisnya berkembang dengan cepat. Aku terpesona dengan kegigihannya berusaha.Sementara adikku Feri seorang laki-laki yang mencintai istrinya. Ia sempat terpikir untuk tak menikah lagi dengan wanita selain Istrinya. Namun menurutku ia harus mencari pendamping lagi karena masih muda dan untuk mendapatkan keturunan.Setelah merayu, memberikan dalil serta bukti kata-kata dari mendiang istrinya--Rani untuknya, ia pun mau menuruti perkataanku.Aku bilang wanita ini mungkin pendidikannya tak setinggi kamu, tapi ada poin penting lain dari dia yaitu attitude atau sikapnya."Jika benar demikian, aku akan ikuti, Kak," katanya saat itu.Sekaran
"Iya, Dek. Terima kasih, ya!" jawabnya.Pada akhirnya Mas Fadhil sembuh setelah pengobatan selama setahun. Dari sana, ia mulai semangat mencari pekerjaan lagi. Aku memotivasinya terus, sehingga ia mendapat pekerjaan lagi."Terima kasih, Dek, atas semangatmu selama ini," ucapnya sembari tersenyum bahagia."Sama-sama, Mas. Itu udah kewajibanku sebagai istri," jawabku pelan.***Hari ini, Lita dan Feri berencana mengunjugi pesantren tahfidz. Mereka akan mendonasikan rezeki berupa Al Qur'an dan makanan untuk anak-anak.Mereka sangat senang atas kedatangan donatur. Biasanya kami memang membuka peluang untuk para donatur yang mau berdonasi.Anak-anak bersyukur atas nikmat Allah karena mereka bisa mendapatkan berbagai nikmat, salah satunya bisa membaca Al Qur'an dan makan enak. Memang kalau sesehari, menunya makanan rumah biasa. Namun mereka senang ketika ada donatur yang membawakan makanan favorit anak-anak."Lita, Feri terima kasih atas dukungan kalian. Tau nggak Lit, Feri ini donatur tet
Bab 1"Makan sama apa sekarang, Dek?" tanya Mas Arman dengan setengah membentak."Sama tempe goreng, Mas!" jawabku."Masa menunya ini lagi? Kemarin juga tempe. Kamu bilang tempe bacem, eh bumbunya nggak kerasa,"protes Mas Arman. Kali ini Mas Arman menatapku sambil berkacak pinggang."Lah iya, Mas, aku nggak kebeli kalau pake bumbu lengkap. Hari ini aku beli tempe sama minyak goreng kemasan kecil yang seribu, sama bawang seribu. Itu pun aku malu Mas, belinya," kataku protes."Malu kenapa, kamu kan nggak minta mereka, kamu beli pake uang!" Ia masih saja protes dan berkacak pinggang."Malu, diomongin ibu-ibu. Katanya masa istri bos sembako belanjanya gini-gini aja!" Mas Arman murka, wajahnya merah. Dia tak suka harga dirinya diusik."Siapa yang bilang? Biar besok dia kubungkam mulutnya!" ancam Mas Arman. Kali ini wajahnya merah padam, benar-benar menakutkan. Aku jadi takut. Biasanya kalau begini, Mas Arman akan melabrak orang yang bicara buruk tentangnya.Rumah ini adalah kontrakan kami
Bab 2Mas Arman tiba-tiba sudah didepanku. Ia langsung menoyor kepalaku."Sedang apa kamu disini? Nguping ya?" tanya Mas Arman yang langsung berkacak pinggang."Iya. Emang nggak boleh?" Aku menjawab bentakannya."Dosa tau, nguping-nguping segala!" katanya yang langsung menghempaskan bokongnya di kursi plastik yang kami miliki."Mas, ngapain segala ngirim uang lima juta. Gede banget itu, Mas! Sementara aku? Selalu Mas minta untuk hemat!" protesku padanya.Mas Arman menggelengkan kepalanya."Kamu ini, janga sok tau, Lita! Kamu tau siapa yang minjemin modal aku buat jualan?" tanyanya dengan mata melebar."Tau, Mas. Ibu yang ngasih pinjeman. Tapi ... kan udah lunas dua bulan lalu!" jawabku pelan."Ya, memang udah lunas. Tapi asal kamu tau, kita nggak akan bisa kayak sekarang tanpa pinjaman itu. Makanya Mas mau berterima kasih pada Ibu. Mumpung adikku mau nikah, aku nambahin buat pernikahannya, Lita!" jelasnya."Oh ... begitu! Tapi ... kudengar ibu minta uang lagi, apa nggak malu? Kan anak
Bab 3'Ah, kenapa harus dikunci?' gumamku.Kucoba menuliskan tanggal ulang tahunnya. Ternyata salah. Kucoba lagi menuliskan tanggal ulang tahunku, ternyata salah juga.Udah ah, sepertinya aku nggak usah coba lagi. Bisa-bisa berabe kalau angka yang dimasukkan ketiga kalinya salah juga. Nanti diblokir, aku yang kena semprot. Kumatikan ponsel Mas Arman.Ketika akan kusimpan, bagian belakang ponsel tersingkap. Di dalam penutup bagian belakang ponsel, ada kertas. Kubuka kertas itu.Kertas itu isinya beberapa tulisan seperti nomor rekening listrik orang tuanya dan rumah kami, lalu ada pin ATM, ada pin ponsel.Sepertinya aku butuh keduanya. Kucari buku untuk menuliskannya, kalau di kertas, pasti bakal hilang.Setelah itu, kubuka ponselnya kembali dan dimasukkanlah pin tadi. Dan ... ponsel pun bisa dibuka.Yeaaay ... aku kegirangan!Dengan cepat kubuka aplikasi hijau di ponsel pintar ini. Wah, isinya ternyata benar. Pesan dari kakaknya kalau sawahnya sudah menjadi milik suamiku.Lalu ada pesa