Bab 3
'Ah, kenapa harus dikunci?' gumamku.
Kucoba menuliskan tanggal ulang tahunnya. Ternyata salah. Kucoba lagi menuliskan tanggal ulang tahunku, ternyata salah juga.
Udah ah, sepertinya aku nggak usah coba lagi. Bisa-bisa berabe kalau angka yang dimasukkan ketiga kalinya salah juga. Nanti diblokir, aku yang kena semprot. Kumatikan ponsel Mas Arman.
Ketika akan kusimpan, bagian belakang ponsel tersingkap. Di dalam penutup bagian belakang ponsel, ada kertas. Kubuka kertas itu.
Kertas itu isinya beberapa tulisan seperti nomor rekening listrik orang tuanya dan rumah kami, lalu ada pin ATM, ada pin ponsel.
Sepertinya aku butuh keduanya. Kucari buku untuk menuliskannya, kalau di kertas, pasti bakal hilang.
Setelah itu, kubuka ponselnya kembali dan dimasukkanlah pin tadi. Dan ... ponsel pun bisa dibuka.
Yeaaay ... aku kegirangan!
Dengan cepat kubuka aplikasi hijau di ponsel pintar ini. Wah, isinya ternyata benar. Pesan dari kakaknya kalau sawahnya sudah menjadi milik suamiku.
Lalu ada pesan dari Anggi adiknya, katanya ia minta tambahan uang 2 juta rupiah. Aku langsung lemas lihat ini.
Lalu banyak dari supliyer beras, supliyer terigu dan minyak, dan lainnya. Wawasan suamiku bertambah seiring pengalamannya membuka toko sembako.
Bangga juga atas prestasinya, tapi semua tak terlihat karena aku menganggap perlakuannya padaku tak adil.
Belum lagi, ada aplikasi m-banking juga. Kapan Mas Arman ngurus-ngurus beginian? Aku yang sehari-hari mengurus rumah, sangat katro dengan yang begini.
Kusimpan lagi ponsel pintar milik Mas Arman. Jika semakin aku melihat isinya, aku jadi rendah diri. Dibandingkan dia yang mainannya sudah canggih, apalah aku.
Dia tega membuatku terperdaya di dalam rumah, tanpa dibekali berbagai hal yang memadai. Sementara dirinya sudah lebih canggih dibandingkan aku.
***
"Mas, apa arti diriku untukmu?" Pertanyaan itu tiba-tiba melesat dari bibirku.
Mas Arman menoleh sebentar, lalu ia fokus lagi pada ponselnya. Ia sudah bersiap untuk berangkat ke toko.
Mas Arman mendecih, ia tak mengharapkan pertanyaan ini sepertinya.
"Apa sih maumu, Dek? Kalau kamu nggak berarti, nggak mungkin aku fokus jualan gini. Pergi sebelum matahari terbit, pulang setelah matahari terbenam. Itu saja sudah menjadi bukti, Dek!" katanya yang sesekali masih melirik ponsel pintarnya.
Aku menghela napas. Tak menyangka jawabannya akan seperti itu. Jika awal menikah, mungkin aku akan terpesona dengan jawabannya.
Namun tidak untuk kali ini. Jawaban itu sangat kontras dengan apa yang aku terima darinya.
"Baiklah, Mas. Jika aku benar-benar berarti untukmu, bisakah kau memberikan aku ponsel pintar sepertimu? Itu saja inginku saat ini, Mas!"
Mas Arman menghela napas. Ia bersiap berangkat. Namun, tak ada kata-kata keluar dari mulutnya.
"Mas, apakah kamu tau kebutuhanku? Saat ini aku tak butuh sawah, aku hanya ingin dicukupi, Mas!" Aku bicara dengan nada memohon padanya.
Jika aku menggunakan nada tinggi, yang ada Mas Arman nanti marah. Tapi kalau nangis, dia juga nggak suka.
"Ya Allah, Litaaa. Sudah kubilang, kamu cuma di rumah. Nggak usah neko-neko. Kalau mau, kamu kumpulkan uang sendiri aja! Aku juga beli ponsel pakai uangku loh! Bukan uang dagangan," katanya.
"Kok bisa, Mas? Pasti itu keuntungan daganganmu kan?"
"Bukan, aku juga sama sepertimu. Kusimpan uang 5.000 sehari, itu upahku menjaga toko. Sudah terkumpul, kubelikan ponsel ini," katanya dengan senyum mengejekku.
"Jelas berbeda denganku, Mas!"
"Pikirlah, Sayang! Kuharap kamu juga bisa pintar sepertiku!" ucapnya sembari ia pergi dari hadapanku.
Tak lama, tinggallah aku sendiri dengan uang lima ribu dan seliter beras tuk hari ini.
Mas Arman bilang aku harus pintar sepertinya. Baiklah, mulai hari ini, aku akan mengumpulkan uang lima ribu ini tanpa kupakai untuk belanja. Biar kami makan nasi saja setiap hari.
Otakku terus saja berputar hingga hari ini aku benar-benar tidak belanja dan tidak memasak.
Ketika Mas Arman pulang, seperti biasa ia minum teh manis kesukaannya. Saat membuka tudung saji, yang terhidang hanya nasi saja.
Aku tersenyum penuh kemenangan. Kulihat wajah Mas Arman sudah memerah.
"Kenapa, Mas?" tanyaku.
"Kenapa hanya nasi saja? Uang sudah kuberi tadi!" katanya dengan nada tinggi.
"Sekarang aku sudah pintar, Mas. Aku menuruti kata-katamu tadi pagi," ucapku dengan senyum yang mengembang.
"Maksudmu apa, Lita?"
"Aku nggak belanja. Uang yang kau beri sudah kutabung. Puas, Mas?"
Mas Arman melongo, mulutnya ternganga saat aku mengatakan itu.
Bersambung
Bab 4"Bukan kayak gini, Lita! Aku tuh jatahin kamu sehari seliter beras kan? Trus tiap hari sering kamu sisain setengah liter, kamu pake cuma setengah liter. Lah, aku bawa lagi ke toko. Kan sayang sama kamu nggak dipake. Aku cuma mau kamu mikir gimana caranya supaya beras itu jadi duit!" jelas Mas Arman.Aku masih diam. Mencoba mencerna dulu kata-kata Mas Arman.Aku tau tujuan dia dalam usianya 30 tahun sudah punya rumah, sawah, sukur-sukur punya kendaraan. Makanya kami hidup benar-benar berhemat. Mas Arman memintaku dimasakkan seadanya, walau kadang dia khilaf juga karena merasa bosan dengan masakan yang itu-itu saja."Maksud Mas Arman, aku harus menjual sisa beras yang Mas beri? Kalau aku ingin menabung?" tanyaku lagi untuk memastikan perkataannya."Betul, Lita. Coba kamu tawarkan ke tetangga dekat-dekat dulu. Mau nggak beli beras kita. Aku berikan yang paling bagus kualitasnya kenapa? Karena kalau berasnya bagus, makan sama apapun pasti enak!" ucapnya sembari tertawa."Ya sudah,
Bab 5Aku menghampiri Mas Arman yang ada di luar, ia tak bisa masuk karena pintunya kukunci."Mas." Aku menyapa Mas Arman, lalu mencium tangannya.Mas Arman membulatkan matanya. Sepertinya dia bertanya-tanya kalau aku dari mana. Tanpa ditanya pun, aku langsung bicara padanya."Maaf, Mas. Aku ... habis jual beras, terus ada yang kasih ini," kataku seraya memperlihatkan plastik kecil yang kupegang. "Masuk yuk, Mas!" Aku mengajaknya masuk karena panas jika di luar terus.Mas Arman mengikutiku dari belakang. Saat pintu di tutup, mulailah ia memarahiku."Kamu ini suami pulang malah kelayaban. Apa emang itu?" Mas Arman menyimpan kantong plastik ditangannya, lalu mengambil kantong plastik yang kupegang."Itu ikan bakar, Mas!""Siapa yang mau ngasih ini ke kamu? Jangan sampai kamu ngemis, ya!" katanya. "Ngemis? Nggak mungkin lah, Mas! Aku ini dapat dari Bu Raya. Kebetulan dia masak banyak dan aku menjual sisa beras kita hari ini. Bu Raya memberiku ikan bakar itu. Mungkin ia kasihan karena me
Bab 6"Halo, ya, Zul?" Aku menyapa orang yang ada di sebrang sana. Di kontak yang tertera adalah Zul. Dia adalah adikku.Sengaja aku menerima telepon di dekat Mas Arman. Tidak sepertinya yang sembunyi-sembunyi dariku saat menerima telepon."Mbak Lita, sebentar lagi ada pesta di rumah Mas Arman. Mbak dan Mas pulang kan?" tanya Zul."Maaf, Zul. Kami nggak bisa pulang. Mas Arman sudah memutuskan itu," jawabku memelas."Yaaah ... Padahal, Ibu pengen ketemu kamu, Mbak! Katanya kangen sama Mbak Lita," sahut Zul di sana."Ya Allah, Zul. Sama Zul, akupun pengen ketemu ibu. Tapi mau gimana lagi, Mas Arman sudah ambil keputusan kami nggak pulang, Zul. Tolong sampaikan salam sama ibu, ya, Zul!" jelasku panjang lebar. Semoga saja mereka mengerti."Mbak, ibu sakit. Dia terus menerus manggil Mbak Lita. Katanya Lita kok nggak dateng-dateng? Apa Lita bahagia?" ungkap Zul.Dalam keadaan sakit saja, ibu masih memikirkan kebahagiaanku. Sungguh, sebenarnya aku ingin pulang, ingin bertemu mereka semua. Ta
Bab 7Kukeluarkan kertas di saku celana Mas Arman. Ternyata isinya dua lembar uang duapuluh ribuan."Yah, cuma dikit. Segini mah kayak penghasilanku kemarin," gerutuku sembari memasukkan celana ke ember yang sudah diberi sabun colek.Mas Arman melarangku menggunakan detergen. Sudah ia sediakan sabun colek untuk mencuci.Tiba-tiba aku merasa mual. Perutku tak enak, aku pun mengeluarkan isi perutku di kamar mandi. Sekarang kepala pusing. Kucoba oleskan minyak kayu putih di dekat pelipis. Tapi pusing ini tak kunjung hilang.Lalu, kucoba merebahkan diri diatas kasur. Rasanya nyaman, tapi aku tak bisa banyak bergerak.Saat aku sedang rebahan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu."Eh, ada Alma. Ada apa, Alma?" tanyaku pada anaknya Bu Raya."Ini, Mama ngasih ini buat Tante. Trus kata Mama mau beli beras," sahutnya dengan ekspresi menggemaskan. Anaknya Bu Raya berusia sekitar 8 tahun."Ya Allah, berasnya Tante aja yang anterin ke sana. Biar kamu nggak capek. Apa ini, makasih ya! Masuk yuk!" uc
Bab 8Pagi-pagi, Mas Arman sudah minta makan. Sedangkan aku belum menghangatkan ayam kecap yang diberikan Bu Raya kemarin.Aku harus berjuang mengatasi rasa mual ini."Kamu kenapa sih? Sakit?" Mas Arman memasang tangannya di jidatku."Nggak, Mas. Cuma mual-mual aja dari kemarin," jawabku."Kamu masuk angin kali. Pakai minyak kayu putih aja! Nanti juga hilang," katanya.Ia langsung memakan nasi dan ayam kecap tanpa dihangatkan."Angetin dulu, Mas!" saranku."Nggak usah, aku bekel satu lagi buat makan siangku di toko ya!" katanya."Ya udah bawa aja, Mas!" "Alhamdulillah, biasanya aku cuma makan nasi sama tempe. Kali ini makan ayam. Tabunganmu sudah banyak ya, Dek? Sampe udah bisa beli ayam. Kecapnya jangan banyak-banyak, nanti habis lagi," imbuh Mas Arman.Aku tersenyum kecut. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Belum sempat kujawab, aku sudah mual-mual lagi."Ya udah, Dek. Istirahat aja kamu, ya!" saran Mas Arman."Iya, Mas. Aku nggak mau ngerjain kerjaan rumah mulai sekarang! Aku
"Ini ikan goreng, mangga muda dan vitamin buatmu!" Aku langsung berkaca-kaca, yang kuinginkan ternyata terkabul melalui Bu Raya."Kenapa?" tanyanya."Tadi saat masih di rumah, aku memikirkan mangga muda ini, Bu Raya." Bu Raya tersenyum."Alhamdulillah, berarti itu rezekimu.""Terima kasih, ya, Bu!" ucapku pada Bu Raya.Saat ini, kami sudah dekat, tapi aku belum bisa membicarakan masalah keluargaku padanya. Aku takut malah membuka aib suamiku.Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mencarinya di saku baju. Lalu mengangkatnya."Lita, kamu tega bikin aku sakit perut gini!" Mas Arman marah-marah."Sakit perut kenapa, Mas?" tanyaku."Gara-gara ayam kecap kamu. Sepertinya udah basi. Kamu meracuniku, Lita!" katanya.Ketika akan menjawab lagi, teleponnya sudah diputus. Tapi dalam hati aku senang Mas Arman sepertinya keracunan akibat perbuatannya. 'Salah sendiri nggak dihangatkan dulu tadi pagi,' gumamku."Kenapa Lita? Suamimu marah?""Enggak, Bu. Cuma salah paham saja," jawabku."Ya sudah, disel
Lita ingat perkataan Bu Raya, kalau garisnya dua berarti ia sedang hamil. Ternyata benar, garisnya dua. Lita sedang hamil sekarang.'Bagaimana ini?' Aku ragu memberitahukan Mas Arman.Belum juga rasa khawatir ini hilang, Mas Arman sudah datang."Dek, kamu ngeracunin aku!" Tiba-tiba saja ia marah."Racun apa? Salah kamu sendiri nggak mau dihangatkan ayamnya!" "Iya, mana nasinya juga bau. Kenapa jadi gitu sih?""Iya, Mas. Aku nggak selera makan. Sekarang aja masih lemas," jelasku pada Mas Arman."Kamu lemas kenapa sih Lita? Aku juga lemas, bolak-balik kamar mandi di pasar. Jadinya aku pulang cepat. Di sana nggak enak kamar mandinya!" cerita Mas Arman. "Kamu harus tanggung jawab, tadi aku beli air kelapa muda. Ini kubawa," katanya."Mau dong aku! Aku pengen yang segar-segar, Mas!" jawabku."Enak aja! Bayar dulu! Sini mana uangnya 13 ribu!" katanya sembari menengadahkan tangannya.Aku terbelalak. Lalu bangkit dari duduk, menuju ke kamar untuk rebahan."Nggak jadi, ah! Gitu doang bayar!"
Mas Arman langsung mendatangiku. Dia ingin memastikan yang kukatakan barusan."Coba jelaskan lagi?" katanya."I-itu, Mas. Aku ... aku hamil, Mas!" jawabku."Kenapa sekarang? Harusnya ditunda sampai kita sukses, Dek!""Allah yang berkehendak, Mas. Bukan aku atau kamu. Ingat itu," jawabku."Iya aku tau." Mas Arman duduk menyender di tembok."Mas, aku mohon pengertianmu. Kerjaan rumahku banyak. Jatah masakku tolong dinaikkan, agar aku bisa makan makanan bergizi. Alasannya itu, aku sedang hamil. Kalau kamu tak sanggup, aku menyerah saja jadi istrimu, Mas. Aku tak sanggup lagi," keluhku kali ini.Kukeluarkan semua resah di hari agar ia tau kalau aku benar-benar susah tak tahan.Mas Arman kali ini tak marah saat aku mengatakan ini. Apakah dia sadar? Dia hanya diam menyender di tembok.Tak lama ponsel Mas Arman berbunyi. Aku masih menyembunyikan ponsel baruku, takut dia marah dan curiga. Mas Arman kalau mengangkat telepon selalu menjauh dariku. Sesekali ia menengok ke belakang.Kudengarkan