Share

Petuah dari Suami Pelit

Bab 4

"Bukan kayak gini, Lita! Aku tuh jatahin kamu sehari seliter beras kan? Trus tiap hari sering kamu sisain setengah liter, kamu pake cuma setengah liter. Lah, aku bawa lagi ke toko. Kan sayang sama kamu nggak dipake. Aku cuma mau kamu mikir gimana caranya supaya beras itu jadi duit!" jelas Mas Arman.

Aku masih diam. Mencoba mencerna dulu kata-kata Mas Arman.

Aku tau tujuan dia dalam usianya 30 tahun sudah punya rumah, sawah, sukur-sukur punya kendaraan. Makanya kami hidup benar-benar berhemat. 

Mas Arman memintaku dimasakkan seadanya, walau kadang dia khilaf juga karena merasa bosan dengan masakan yang itu-itu saja.

"Maksud Mas Arman, aku harus menjual sisa beras yang Mas beri? Kalau aku ingin menabung?" tanyaku lagi untuk memastikan perkataannya.

"Betul, Lita. Coba kamu tawarkan ke tetangga dekat-dekat dulu. Mau nggak beli beras kita. Aku berikan yang paling bagus kualitasnya kenapa? Karena kalau berasnya bagus, makan sama apapun pasti enak!" ucapnya sembari tertawa.

"Ya sudah, tanpa lauk berarti kan tetap enak, Mas! Kamu makan aja yang ada!" gerutuku pada dia yang merasa tak bersalah.

"Ya udah. Tapi besok nggak boleh kamu hidangkan seperti ini lagi. Aku tuh ngasih uang dan beras untuk masak tok. Buat yang lainnya kan aku yang urus. Kayak air galon? Emang kamu yang bayar? Gas, aku juga yang urus. Kalau kamu kehabisan gas, aku nggak ada, apa kamu beli sendiri gasnya? Nggak! Kamu pasti nunggu aku pulang!" Mas Arman memarahiku.

"Iya sih, Mas. Tapi--," kataku.

"Tapi apa? Kalau sisa beras tak kamu pakai, aku kan bawa lagi berasnya! Ngerti kamu!" bentaknya.

"Mas, bahan lain yang kadang-kadang kuperlu tak pernah kau beri. Padahal di tokomu pasti ada!" protesku padanya yang sedang meyuap nasi.

"Alah! Udah deh nggak usah neko-neko! Aku ingin targetku tercapai, jadi kita harus kerjasama, Dek! Jangan cuma aku aja yang ngirit, tapi kamu boros!" ucapannya bagai sembilu di ulu hatiku.

"Nggak, Mas. Cuma pengen minyak, kecap, terigu. Itu saja, karena kalau mengandalkan uang lima ribumu takkan cukup, Mas!"

"Ya sudah, nanti aku bawakan biar bisa kamu pakai selama sebulan! Ingat, jangan minta lagi sebelum sebulan! Kamu tak tau ya kehidupanku dan orang tuaku itu sudah perih sejak aku kecil. Aku terbiasa makan dengan apapun yang ada di rumah," katanya.

Aku terkesiap, ternyata memang pengalaman hidupnya yang membuat Mas Arman ingin sukses di umur 30. Pantas saja dia sampai over seperti ini.

Saat awal menikah, aku tak tau latar belakang keluarga Mas Arman. Hanya kenal sekilas karena beda kampung.

***

Mulai hari ini aku akan berusaha menjual sisa berasku. Kalau tak dijual, Mas Arman akan mengambilnya lagi.

Setelah Mas Arman berangkat, aku juga berangkat karena hari ini jadwalku nyetrika di rumah tetangga.

Kubawa sisa beras yang belum kumasak. Akan kutawarkan pada Bu Raya. Mudah-mudahan dia mau beli.

Saat di rumah Bu Raya, seperti biasa sang ibu memberikan suguhan teh manis dan cemilan enak banget.

Aku memakan sesekali. Setelah selesai nyetrika, ia memberiku makan siang. Aku seperti bernostalgia memakan ikan bakar, karena ibuku di kampung sering masakin ini. 

"Terima kasih, Bu. Makanan dan masakan ibu enak banget!" kataku.

"Sama-sama, Lita. Eh, tadi kamu bawa apa di kresek hitam?" tanya Bu Raya ramah.

"Mmm ... Itu Bu, saya mau jual beras, apa ibu mau beli? Tiap hari, suami menjatahkan beras seliter, ia bawa dari tokonya. Ia bilang ini beras paling bagus. Kami cuma makan setengahnya saja tiap hari. Apa Bu Raya mau beli beras saya, tiap hari, Bu?" tanyaku tanpa malu-malu.

Ia mengambil bungkusan itu. Lalu melihat berasnya, ia cium beras itu.

"Wangi ya berasnya!" katanya.

"Iya, Bu."

"Baiklah, saya beli, ya! Saya beli 10 ribu saja tiap hari," katanya.

"Tapi, Bu. Itu kan cuma setengah liter, itu kemahalan," sanggahku.

"Nggak kok, memang mahal beras ini. Paling lebihnya sedikit, Lit. Aku nggak apa-apa, itung-itung sedekah buat kamu!" katanya. "Tapi kamu jangan marah, ya!" 

'Jleb.' Rasanya terpanggil saat Bu Raya bilang sedekah. Selama ini suaminya mana ingat sedekah. Ia taunya mengumpulkan uang yang banyak.

Setelah itu, aku izin pulang. Bu Raya memberiku uang beras dan buruh setrikaku. Lalu ia berikan bungkusan. Pas aku lihat isinya ikan bakar dua buah.

"Ya Allah, Bu. Sampai dibekali segala. Terima kasih, ya, Bu!" ucapku pada Bu Raya.

Setelah itu aku pulang. Saat tiba di rumah, tiba-tiba Mas Arman pulang. Mau apa dia tiba-tiba pulang? Biasanya tak pernah pulang siang.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status