Bab 5
Aku menghampiri Mas Arman yang ada di luar, ia tak bisa masuk karena pintunya kukunci.
"Mas." Aku menyapa Mas Arman, lalu mencium tangannya.
Mas Arman membulatkan matanya. Sepertinya dia bertanya-tanya kalau aku dari mana. Tanpa ditanya pun, aku langsung bicara padanya.
"Maaf, Mas. Aku ... habis jual beras, terus ada yang kasih ini," kataku seraya memperlihatkan plastik kecil yang kupegang. "Masuk yuk, Mas!" Aku mengajaknya masuk karena panas jika di luar terus.
Mas Arman mengikutiku dari belakang. Saat pintu di tutup, mulailah ia memarahiku.
"Kamu ini suami pulang malah kelayaban. Apa emang itu?" Mas Arman menyimpan kantong plastik ditangannya, lalu mengambil kantong plastik yang kupegang.
"Itu ikan bakar, Mas!"
"Siapa yang mau ngasih ini ke kamu? Jangan sampai kamu ngemis, ya!" katanya.
"Ngemis? Nggak mungkin lah, Mas! Aku ini dapat dari Bu Raya. Kebetulan dia masak banyak dan aku menjual sisa beras kita hari ini. Bu Raya memberiku ikan bakar itu. Mungkin ia kasihan karena melihatku kurus kering seperti ini. Tidak seperti yang kau sangkakan, Mas!" Aku kesal dituduh pengemis oleh Mas Arman.
"Ya sudah, kalau memang ada yang berbaik hati ngasih ikan bakar, berarti itu rezeki kita. Tuh, aku bawakan pesanan kamu. Ada minyak goreng, terigu dan kecap," katanya.
Mataku berbinar melihatnya. Segera kuambil kantong kresek itu, lalu kubawa ke dapur, di sana langsung kubuka kantongnya.
"Huft." Aku memelas.
Isinya ternyata kemasan kecil semua. Mana harus cukup buat sebulan lagi!
"Litaa ... Mana piringnya?" Mas Arman sudah berteriak.
"Sebentar, Mas!" jawabku.
Aku membawakan piring untuknya makan.
"Enak banget ini ikan bakarnya. Kapan-kapan kamu buat yang kayak gini, bakalan kuhabiskan, Dek!" katanya dengan bersemangat.
"Nggak bakalan!" celotehku lirih.
"Eh ... kok pesimis. Tadi kan udah kamu jual tuh beras kita. Laku berapa?" tanyanya.
"Sepuluh ribu, Mas!"
"Wah, gede itu! Berarti kamu bisa masak kayak gini nanti. Nabung juga bisa. Aku senang punya istri kreatif dan pintar kayak kamu, Lita!" imbuh Mas Arman.
Sekarang piringnya sudah kosong. Ia kekenyangan dan harus kembali ke toko.
"Dek, aku berangkat lagi, ya! Hari ini uang lima ribumu utuh, ada ikan bakar tuh. Atur aja ya, Sayang!" tukasnya sambil beranjak ke luar.
Aku mengantarnya ke depan. Lalu buru-buru ke kamar. Akan kusimpan semua uangku.
Akupun punya keinginan seperti Mas Arman. Jika dia punya ponsel canggih, akupun ingin memilikinya.
Mas Arman pulang setelah magrib, dia sangat ingin makan.
"Dek, ikan bakarnya buat aku lagi, ya!" katanya.
"Iya, Mas. Ambil saja!" jawabku.
"Asyik! Makan enak lagi deh! Minta kecap dong yang tadi siang kubawa untukmu!"
Aku mengambilkan kecap yang dimintanya. Kecap kemasan yang berharga 3.000 ini, Mas Arman juga yang makan duluan.
Mas Arman makan dengan lahap dihadapanku. Untung saja aku masih ada simpanan mie rebus yang diberikan dari tujuh harinya tetangga yang meninggal. Akan kumakan selepas Mas Arman makan.
***
"Mas, pas nikahan Anggi nanti kita pulang nggak?" tanyaku penasaran.
"Nggak. Aku kan udah kirim uangnya. Lebih baik kita fokus cari uang aja di sini," ucap Mas Arman yang selalu memandangi ponselnya.
"Oh ... jadi kita nggak ikutan di hari bahagianya Anggi dong. Padahal aku pengen banget pulang, sekalian ketemu ibuku," ungkapku pada Mas Arman.
Aku memang ingin pulang kampung. Bertemu orang tuaku yang selalu baik. Mereka tak pernah menjatah makananku dulu. Aku rindu mereka.
"Halah ... Nanti saja! Kita pulang kalau sudah sukses. Makanya tiap hari tuh kamu doain suamimu ini!" ucap Mas Arman seolah-olah aku tak pernah mendoakan kebaikan untuknya.
"Memangnya aku harus bilang-bilang ya, kalau aku mendoakan kebaikanmu? Nggak usah! Cukup Allah dan aku yang tau, Mas!" jawabku. Gedeg banget kalau dibilang nggak pernah doain suami.
"Bagus dong kalau kamu sadar. Suami itu harus disokong doa. Kalau kamu bisanya cuma nerima-nerima aja, tapi nggak mau doakan kebaikanku, itu namanya istri tak tau diri, Dek!"
Aku tau tentang ini, nggak usah diajarin Mas Arman pun, aku dah tau. Semoga Allah bukakan kebaikan untuk Mas Arman.
"Jawab dong kalau suami sedang ajak bicara!" katanya.
"Iya, Mas. Siap."
Saat pikiranku terbang ke kampung halaman, telepon kunoku berdering. Siapa yang mau menelepon ke ponsel kuno ini kecuali saudaraku di kampung.
Bersambung
Bab 6"Halo, ya, Zul?" Aku menyapa orang yang ada di sebrang sana. Di kontak yang tertera adalah Zul. Dia adalah adikku.Sengaja aku menerima telepon di dekat Mas Arman. Tidak sepertinya yang sembunyi-sembunyi dariku saat menerima telepon."Mbak Lita, sebentar lagi ada pesta di rumah Mas Arman. Mbak dan Mas pulang kan?" tanya Zul."Maaf, Zul. Kami nggak bisa pulang. Mas Arman sudah memutuskan itu," jawabku memelas."Yaaah ... Padahal, Ibu pengen ketemu kamu, Mbak! Katanya kangen sama Mbak Lita," sahut Zul di sana."Ya Allah, Zul. Sama Zul, akupun pengen ketemu ibu. Tapi mau gimana lagi, Mas Arman sudah ambil keputusan kami nggak pulang, Zul. Tolong sampaikan salam sama ibu, ya, Zul!" jelasku panjang lebar. Semoga saja mereka mengerti."Mbak, ibu sakit. Dia terus menerus manggil Mbak Lita. Katanya Lita kok nggak dateng-dateng? Apa Lita bahagia?" ungkap Zul.Dalam keadaan sakit saja, ibu masih memikirkan kebahagiaanku. Sungguh, sebenarnya aku ingin pulang, ingin bertemu mereka semua. Ta
Bab 7Kukeluarkan kertas di saku celana Mas Arman. Ternyata isinya dua lembar uang duapuluh ribuan."Yah, cuma dikit. Segini mah kayak penghasilanku kemarin," gerutuku sembari memasukkan celana ke ember yang sudah diberi sabun colek.Mas Arman melarangku menggunakan detergen. Sudah ia sediakan sabun colek untuk mencuci.Tiba-tiba aku merasa mual. Perutku tak enak, aku pun mengeluarkan isi perutku di kamar mandi. Sekarang kepala pusing. Kucoba oleskan minyak kayu putih di dekat pelipis. Tapi pusing ini tak kunjung hilang.Lalu, kucoba merebahkan diri diatas kasur. Rasanya nyaman, tapi aku tak bisa banyak bergerak.Saat aku sedang rebahan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu."Eh, ada Alma. Ada apa, Alma?" tanyaku pada anaknya Bu Raya."Ini, Mama ngasih ini buat Tante. Trus kata Mama mau beli beras," sahutnya dengan ekspresi menggemaskan. Anaknya Bu Raya berusia sekitar 8 tahun."Ya Allah, berasnya Tante aja yang anterin ke sana. Biar kamu nggak capek. Apa ini, makasih ya! Masuk yuk!" uc
Bab 8Pagi-pagi, Mas Arman sudah minta makan. Sedangkan aku belum menghangatkan ayam kecap yang diberikan Bu Raya kemarin.Aku harus berjuang mengatasi rasa mual ini."Kamu kenapa sih? Sakit?" Mas Arman memasang tangannya di jidatku."Nggak, Mas. Cuma mual-mual aja dari kemarin," jawabku."Kamu masuk angin kali. Pakai minyak kayu putih aja! Nanti juga hilang," katanya.Ia langsung memakan nasi dan ayam kecap tanpa dihangatkan."Angetin dulu, Mas!" saranku."Nggak usah, aku bekel satu lagi buat makan siangku di toko ya!" katanya."Ya udah bawa aja, Mas!" "Alhamdulillah, biasanya aku cuma makan nasi sama tempe. Kali ini makan ayam. Tabunganmu sudah banyak ya, Dek? Sampe udah bisa beli ayam. Kecapnya jangan banyak-banyak, nanti habis lagi," imbuh Mas Arman.Aku tersenyum kecut. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Belum sempat kujawab, aku sudah mual-mual lagi."Ya udah, Dek. Istirahat aja kamu, ya!" saran Mas Arman."Iya, Mas. Aku nggak mau ngerjain kerjaan rumah mulai sekarang! Aku
"Ini ikan goreng, mangga muda dan vitamin buatmu!" Aku langsung berkaca-kaca, yang kuinginkan ternyata terkabul melalui Bu Raya."Kenapa?" tanyanya."Tadi saat masih di rumah, aku memikirkan mangga muda ini, Bu Raya." Bu Raya tersenyum."Alhamdulillah, berarti itu rezekimu.""Terima kasih, ya, Bu!" ucapku pada Bu Raya.Saat ini, kami sudah dekat, tapi aku belum bisa membicarakan masalah keluargaku padanya. Aku takut malah membuka aib suamiku.Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mencarinya di saku baju. Lalu mengangkatnya."Lita, kamu tega bikin aku sakit perut gini!" Mas Arman marah-marah."Sakit perut kenapa, Mas?" tanyaku."Gara-gara ayam kecap kamu. Sepertinya udah basi. Kamu meracuniku, Lita!" katanya.Ketika akan menjawab lagi, teleponnya sudah diputus. Tapi dalam hati aku senang Mas Arman sepertinya keracunan akibat perbuatannya. 'Salah sendiri nggak dihangatkan dulu tadi pagi,' gumamku."Kenapa Lita? Suamimu marah?""Enggak, Bu. Cuma salah paham saja," jawabku."Ya sudah, disel
Lita ingat perkataan Bu Raya, kalau garisnya dua berarti ia sedang hamil. Ternyata benar, garisnya dua. Lita sedang hamil sekarang.'Bagaimana ini?' Aku ragu memberitahukan Mas Arman.Belum juga rasa khawatir ini hilang, Mas Arman sudah datang."Dek, kamu ngeracunin aku!" Tiba-tiba saja ia marah."Racun apa? Salah kamu sendiri nggak mau dihangatkan ayamnya!" "Iya, mana nasinya juga bau. Kenapa jadi gitu sih?""Iya, Mas. Aku nggak selera makan. Sekarang aja masih lemas," jelasku pada Mas Arman."Kamu lemas kenapa sih Lita? Aku juga lemas, bolak-balik kamar mandi di pasar. Jadinya aku pulang cepat. Di sana nggak enak kamar mandinya!" cerita Mas Arman. "Kamu harus tanggung jawab, tadi aku beli air kelapa muda. Ini kubawa," katanya."Mau dong aku! Aku pengen yang segar-segar, Mas!" jawabku."Enak aja! Bayar dulu! Sini mana uangnya 13 ribu!" katanya sembari menengadahkan tangannya.Aku terbelalak. Lalu bangkit dari duduk, menuju ke kamar untuk rebahan."Nggak jadi, ah! Gitu doang bayar!"
Mas Arman langsung mendatangiku. Dia ingin memastikan yang kukatakan barusan."Coba jelaskan lagi?" katanya."I-itu, Mas. Aku ... aku hamil, Mas!" jawabku."Kenapa sekarang? Harusnya ditunda sampai kita sukses, Dek!""Allah yang berkehendak, Mas. Bukan aku atau kamu. Ingat itu," jawabku."Iya aku tau." Mas Arman duduk menyender di tembok."Mas, aku mohon pengertianmu. Kerjaan rumahku banyak. Jatah masakku tolong dinaikkan, agar aku bisa makan makanan bergizi. Alasannya itu, aku sedang hamil. Kalau kamu tak sanggup, aku menyerah saja jadi istrimu, Mas. Aku tak sanggup lagi," keluhku kali ini.Kukeluarkan semua resah di hari agar ia tau kalau aku benar-benar susah tak tahan.Mas Arman kali ini tak marah saat aku mengatakan ini. Apakah dia sadar? Dia hanya diam menyender di tembok.Tak lama ponsel Mas Arman berbunyi. Aku masih menyembunyikan ponsel baruku, takut dia marah dan curiga. Mas Arman kalau mengangkat telepon selalu menjauh dariku. Sesekali ia menengok ke belakang.Kudengarkan
Iya Anggi, aku akan usahakan ya! Tapi nggak janji, karena istriku hamil," kata Mas Arman saat menjawab telepon.Entah apa jawaban Anggi. Mas Arman hanya menjawab iya iya saja. "Sudah kukirim kekurangan kemarin," tambahnya.Pasti itu masalah uang. Anggi dan Ibu minta tambahan uang dari Mas Arman.Aku yang menemani dari nol, belum dapat apa-apa."Mas, sawah yang kau beli atas nama siapa? Aku kan turut andil dalam proses mengirit ini, jadi, aku kepengen sawah itu atas namaku," usulku."Mmm ... buat apa sih? Lagian kan dimana-mana juga atas nama suami. Kalo kamu ingin punya sawah atas namamu, silahkan buka usaha sepertiku, Lita!" ucapnya enteng."Berarti kalau gitu, aku mundur saja jadi istrimu, Mas. Biar aku hidup sendiri, cari uang sendiri, insya Allah lebih berkah dan punya penghasilan lebih besar daripada diberi olehmu, Mas!" jelasku. Aku ingin agar ia tau aja, kalau aku tak mau lagi diperdaya olehnya, yang mengatakan kalau semua penghasilan untuk beli sawah atau rumah. Tapi semua a
"Mas, perceraianku dengan suami sudah beres. Aku sangat senang, Mas. Terima kasih sudah mau menampung uneg-unegku selama ini," katanya.Aku bisa mendengarnya karena berada diantara makanan yang ada di sana. Segera aku menjalankan aksi dengan merekam semuanya. Bukti ini harus ada."Sama-sama, Bu Via. Aku ikut senang mendengarnya.""Mas ... bolehkan aku tetap dekat denganmu setelah ini?" katanya."Boleh. Ibu boleh datang kapan saja ke toko saya. Silahkan ungkapan perasaan ibu, bebas kok! Saya siap mendengarkan."Aku jadi panas mendengar obrolan mereka. Bisa-bisanya Mas Arman curhat-curhatan dengan wanita lain.Lalu, aku muncul di depan mereka."Wah, asyik ya curhat-curhatan. Mana berdua lagi, yang ketiga itu pasti sy*tan. Ups, itu aku ya?" Mas Arman dan Bu Via terperanjat. Posisi duduk mereka pun dibuat berjauhan."Kenapa mundur, Bu? Takut atau malu?" tanyaku langsung tepat sasaran."Eh, enggak, kok. Saya pulang dulu, ya, Mas. Silahkan mbak!" katanya."Eits, tunggu dulu, ibu siapanya s