Bab 6
"Halo, ya, Zul?" Aku menyapa orang yang ada di sebrang sana. Di kontak yang tertera adalah Zul. Dia adalah adikku.
Sengaja aku menerima telepon di dekat Mas Arman. Tidak sepertinya yang sembunyi-sembunyi dariku saat menerima telepon.
"Mbak Lita, sebentar lagi ada pesta di rumah Mas Arman. Mbak dan Mas pulang kan?" tanya Zul.
"Maaf, Zul. Kami nggak bisa pulang. Mas Arman sudah memutuskan itu," jawabku memelas.
"Yaaah ... Padahal, Ibu pengen ketemu kamu, Mbak! Katanya kangen sama Mbak Lita," sahut Zul di sana.
"Ya Allah, Zul. Sama Zul, akupun pengen ketemu ibu. Tapi mau gimana lagi, Mas Arman sudah ambil keputusan kami nggak pulang, Zul. Tolong sampaikan salam sama ibu, ya, Zul!" jelasku panjang lebar. Semoga saja mereka mengerti.
"Mbak, ibu sakit. Dia terus menerus manggil Mbak Lita. Katanya Lita kok nggak dateng-dateng? Apa Lita bahagia?" ungkap Zul.
Dalam keadaan sakit saja, ibu masih memikirkan kebahagiaanku. Sungguh, sebenarnya aku ingin pulang, ingin bertemu mereka semua. Tapi aku harus manut dengan keputusan Mas Arman. Meski dalam hati kecilku mengatakan kalau keputusan ini tidak adil untukku.
"Mbak? Kamu masih di situ? Jawab Mbak."
"Maaf, Zul. Aku benar-benar tak bisa pulang. Titip salam buat ibu, ya, Zul!" Aku mengatakannya lagi.
Berharap Mas Arman mendengar dan menuruti mauku untuk membawaku pulang kampung.
"Ya sudah, Mbak. Nanti aku sampaikan. Besok aku ke rumah ibu lagi, kok. Tapi, sampeyan bahagia kan?" tanya Zul lagi.
Aku merasa sedang diterima oleh polisi. Zul menanyaiku hingga aku tak berpikir untuk bersilat lidah. Tapi logikaku mengalahkan segalanya.
"Alhamdulillah aku baik, Zul. Aku bahagia hidup bersama Mas Arman," imbuhku.
Walau pada saat itu, mata ini mulai mengembun. Ingin rasanya menumpahkan semuanya. Tapi, tetap tak boleh. Aku tak boleh terdengar sedih, aku harus tegar.
"Alhamdulillah. Ya sudah, Mbak. Udah dulu, ya! Oya kapan ponselmu gantim masih model lama aja. Aku aja yang di kampung udah pake ram yang besar loh, Mbak!" Zul memanas-manasi aku.
"Iya lah, kerajaanmu memang membutuhkan ponsel yang canggih. Kalo aku kan, cuma ibu rumah tangga, jadi nggak terlalu penting yang seperti itu," timpalku pada Zul.
"Ya, tetep aja Mbak, butuh. Istriku aja udah pake android, kamu yang di kota malah ketinggalan jaman," katanya.
Benar juga yang dikatakan adikku. Aku merasa kalau aku sudah ketinggalan jaman. Mas Arman yang membuatku seperti ini.
Aku menatap suamiku yang duduk berhadapan denganku saat ini. Dia tak berani balas tatapan ini. Ia berusaha mengalihkan pada ponselnya.
"Ya sudah, Mbak. Udah dulu, malah jadi ngobrol lagi. Nanti pulsaku habis, deh! Yuk, Assalamualaikum," tutupnya.
"Iya, Zul bener. Waalaikumsalam."
Setelah menerima telepon dari Zul, aku langsung bersiap tidur. Aku hanya ingin menumpahkan emosiku di atas kasur.
Kami tak punya ranjang, hanya ada kasur lantai. Ya, sesederhana itulah kehidupan kami.
Baju-baju yang diberikan Mas Arman padaku juga sudah pada koyak. Harus kutambal di beberapa sisinya.
Aku ingat kata-katanya, "Kalau masih bisa ditambal, berarti masih bisa dipakai."
Kami hidup sederhana, dan amat sederhana sehingga aku tak bisa menikmati hidup.
***
"Dek, sarapan apa pagi ini?" tanyanya.
"Oh, aku bikin bubur, Mas."
Aku sajikan bubur nasi di karpet sederhana kami. Lalu, disiapkan pula kecap di dekatnya.
"Lita! Aku tuh nggak bakal kenyang kalau cuma makan bubur encer gini! Lebih baik makan nasi. Trus kamu masak bubur pasti butuh waktu lama untuk mengaduknya, sayang dong kompornya! Mesti gimana lagi ngajarin kamu tuh. Masak aja yang simpel-simpel tapi enak. Boleh ribet, tapi enak juga. Nggak ngabisin gas! Ngerti kamu!" omelnya.
Aku menghela napas pendek. Kubiarkan saja dulu Mas Arman marah. Aku sangat ingin membalas kemarahannya saat ini. Tapi bakal percuma.
"Aku tuh masak bubur justru biar lebih irit. Tapi, kalau menurutmu justru boros, ya sudah! Aku ikuti aja kata-katamu, Mas! Maaf, kalau aku selalu salah di matamu. Maaf juga kalau aku memang bukan istri yang baik buatmu, Mas!" ucapku pada Mas Arman yang masih mencebik karena bubur nasi yang kubuat.
"Tapi ... untuk kali ini, aku kan memakan dan menghabiskan semua. Kamu jangan pernah buat beginian lagi!" bentaknya. Tapi ia menyendok buburnya dan memasukkannya dalam mulut.
"Baiklah, Bang. Terima kasih atas pengertianmu!"
Setelah itu Mas Arman pergi ke tokonya.
Aku mulai beraktivitas, mulai dari menyapu, mengepel, lalu belanja kebutuhan dapur.
Saat belanja, aku membeli tahu dan sayur kangkung seiket. Salah seorang tetangga berbicara dengan tetangga yang lain.
"Duuuh kasian amat ya gue, tiap hari harus makan tahu tempe doang!"
"Iya ih kamu tuh irit atau medit?" tanya tetangga yang lain.
Aku tau maksud mereka padaku. Buru-buru saja aku membayar semua.
"Berapa, Bu?"
"Enam ribu," jawab ibu warung.
"Ini, Bu, uangnya!"
Mereka melongo saat aku pergi. Tak ada lagi bahan Bulian selain aku.
Sampai di rumah, aku akan merendam baju-baju Mas Arman. Aku merogoh semua kantong bajunya, berharap menemukan sesuatu.
Biasanya aku pernah menemukan uang receh di sana. Kali ini aku berharap lebih. Ingin punya uang lebih untuk simpananku.
Ternyata, aku memegang kertas seperti uang di saku celana Mas Arman. Berapa uang yang kudapat?
Bersambung
Bab 7Kukeluarkan kertas di saku celana Mas Arman. Ternyata isinya dua lembar uang duapuluh ribuan."Yah, cuma dikit. Segini mah kayak penghasilanku kemarin," gerutuku sembari memasukkan celana ke ember yang sudah diberi sabun colek.Mas Arman melarangku menggunakan detergen. Sudah ia sediakan sabun colek untuk mencuci.Tiba-tiba aku merasa mual. Perutku tak enak, aku pun mengeluarkan isi perutku di kamar mandi. Sekarang kepala pusing. Kucoba oleskan minyak kayu putih di dekat pelipis. Tapi pusing ini tak kunjung hilang.Lalu, kucoba merebahkan diri diatas kasur. Rasanya nyaman, tapi aku tak bisa banyak bergerak.Saat aku sedang rebahan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu."Eh, ada Alma. Ada apa, Alma?" tanyaku pada anaknya Bu Raya."Ini, Mama ngasih ini buat Tante. Trus kata Mama mau beli beras," sahutnya dengan ekspresi menggemaskan. Anaknya Bu Raya berusia sekitar 8 tahun."Ya Allah, berasnya Tante aja yang anterin ke sana. Biar kamu nggak capek. Apa ini, makasih ya! Masuk yuk!" uc
Bab 8Pagi-pagi, Mas Arman sudah minta makan. Sedangkan aku belum menghangatkan ayam kecap yang diberikan Bu Raya kemarin.Aku harus berjuang mengatasi rasa mual ini."Kamu kenapa sih? Sakit?" Mas Arman memasang tangannya di jidatku."Nggak, Mas. Cuma mual-mual aja dari kemarin," jawabku."Kamu masuk angin kali. Pakai minyak kayu putih aja! Nanti juga hilang," katanya.Ia langsung memakan nasi dan ayam kecap tanpa dihangatkan."Angetin dulu, Mas!" saranku."Nggak usah, aku bekel satu lagi buat makan siangku di toko ya!" katanya."Ya udah bawa aja, Mas!" "Alhamdulillah, biasanya aku cuma makan nasi sama tempe. Kali ini makan ayam. Tabunganmu sudah banyak ya, Dek? Sampe udah bisa beli ayam. Kecapnya jangan banyak-banyak, nanti habis lagi," imbuh Mas Arman.Aku tersenyum kecut. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Belum sempat kujawab, aku sudah mual-mual lagi."Ya udah, Dek. Istirahat aja kamu, ya!" saran Mas Arman."Iya, Mas. Aku nggak mau ngerjain kerjaan rumah mulai sekarang! Aku
"Ini ikan goreng, mangga muda dan vitamin buatmu!" Aku langsung berkaca-kaca, yang kuinginkan ternyata terkabul melalui Bu Raya."Kenapa?" tanyanya."Tadi saat masih di rumah, aku memikirkan mangga muda ini, Bu Raya." Bu Raya tersenyum."Alhamdulillah, berarti itu rezekimu.""Terima kasih, ya, Bu!" ucapku pada Bu Raya.Saat ini, kami sudah dekat, tapi aku belum bisa membicarakan masalah keluargaku padanya. Aku takut malah membuka aib suamiku.Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mencarinya di saku baju. Lalu mengangkatnya."Lita, kamu tega bikin aku sakit perut gini!" Mas Arman marah-marah."Sakit perut kenapa, Mas?" tanyaku."Gara-gara ayam kecap kamu. Sepertinya udah basi. Kamu meracuniku, Lita!" katanya.Ketika akan menjawab lagi, teleponnya sudah diputus. Tapi dalam hati aku senang Mas Arman sepertinya keracunan akibat perbuatannya. 'Salah sendiri nggak dihangatkan dulu tadi pagi,' gumamku."Kenapa Lita? Suamimu marah?""Enggak, Bu. Cuma salah paham saja," jawabku."Ya sudah, disel
Lita ingat perkataan Bu Raya, kalau garisnya dua berarti ia sedang hamil. Ternyata benar, garisnya dua. Lita sedang hamil sekarang.'Bagaimana ini?' Aku ragu memberitahukan Mas Arman.Belum juga rasa khawatir ini hilang, Mas Arman sudah datang."Dek, kamu ngeracunin aku!" Tiba-tiba saja ia marah."Racun apa? Salah kamu sendiri nggak mau dihangatkan ayamnya!" "Iya, mana nasinya juga bau. Kenapa jadi gitu sih?""Iya, Mas. Aku nggak selera makan. Sekarang aja masih lemas," jelasku pada Mas Arman."Kamu lemas kenapa sih Lita? Aku juga lemas, bolak-balik kamar mandi di pasar. Jadinya aku pulang cepat. Di sana nggak enak kamar mandinya!" cerita Mas Arman. "Kamu harus tanggung jawab, tadi aku beli air kelapa muda. Ini kubawa," katanya."Mau dong aku! Aku pengen yang segar-segar, Mas!" jawabku."Enak aja! Bayar dulu! Sini mana uangnya 13 ribu!" katanya sembari menengadahkan tangannya.Aku terbelalak. Lalu bangkit dari duduk, menuju ke kamar untuk rebahan."Nggak jadi, ah! Gitu doang bayar!"
Mas Arman langsung mendatangiku. Dia ingin memastikan yang kukatakan barusan."Coba jelaskan lagi?" katanya."I-itu, Mas. Aku ... aku hamil, Mas!" jawabku."Kenapa sekarang? Harusnya ditunda sampai kita sukses, Dek!""Allah yang berkehendak, Mas. Bukan aku atau kamu. Ingat itu," jawabku."Iya aku tau." Mas Arman duduk menyender di tembok."Mas, aku mohon pengertianmu. Kerjaan rumahku banyak. Jatah masakku tolong dinaikkan, agar aku bisa makan makanan bergizi. Alasannya itu, aku sedang hamil. Kalau kamu tak sanggup, aku menyerah saja jadi istrimu, Mas. Aku tak sanggup lagi," keluhku kali ini.Kukeluarkan semua resah di hari agar ia tau kalau aku benar-benar susah tak tahan.Mas Arman kali ini tak marah saat aku mengatakan ini. Apakah dia sadar? Dia hanya diam menyender di tembok.Tak lama ponsel Mas Arman berbunyi. Aku masih menyembunyikan ponsel baruku, takut dia marah dan curiga. Mas Arman kalau mengangkat telepon selalu menjauh dariku. Sesekali ia menengok ke belakang.Kudengarkan
Iya Anggi, aku akan usahakan ya! Tapi nggak janji, karena istriku hamil," kata Mas Arman saat menjawab telepon.Entah apa jawaban Anggi. Mas Arman hanya menjawab iya iya saja. "Sudah kukirim kekurangan kemarin," tambahnya.Pasti itu masalah uang. Anggi dan Ibu minta tambahan uang dari Mas Arman.Aku yang menemani dari nol, belum dapat apa-apa."Mas, sawah yang kau beli atas nama siapa? Aku kan turut andil dalam proses mengirit ini, jadi, aku kepengen sawah itu atas namaku," usulku."Mmm ... buat apa sih? Lagian kan dimana-mana juga atas nama suami. Kalo kamu ingin punya sawah atas namamu, silahkan buka usaha sepertiku, Lita!" ucapnya enteng."Berarti kalau gitu, aku mundur saja jadi istrimu, Mas. Biar aku hidup sendiri, cari uang sendiri, insya Allah lebih berkah dan punya penghasilan lebih besar daripada diberi olehmu, Mas!" jelasku. Aku ingin agar ia tau aja, kalau aku tak mau lagi diperdaya olehnya, yang mengatakan kalau semua penghasilan untuk beli sawah atau rumah. Tapi semua a
"Mas, perceraianku dengan suami sudah beres. Aku sangat senang, Mas. Terima kasih sudah mau menampung uneg-unegku selama ini," katanya.Aku bisa mendengarnya karena berada diantara makanan yang ada di sana. Segera aku menjalankan aksi dengan merekam semuanya. Bukti ini harus ada."Sama-sama, Bu Via. Aku ikut senang mendengarnya.""Mas ... bolehkan aku tetap dekat denganmu setelah ini?" katanya."Boleh. Ibu boleh datang kapan saja ke toko saya. Silahkan ungkapan perasaan ibu, bebas kok! Saya siap mendengarkan."Aku jadi panas mendengar obrolan mereka. Bisa-bisanya Mas Arman curhat-curhatan dengan wanita lain.Lalu, aku muncul di depan mereka."Wah, asyik ya curhat-curhatan. Mana berdua lagi, yang ketiga itu pasti sy*tan. Ups, itu aku ya?" Mas Arman dan Bu Via terperanjat. Posisi duduk mereka pun dibuat berjauhan."Kenapa mundur, Bu? Takut atau malu?" tanyaku langsung tepat sasaran."Eh, enggak, kok. Saya pulang dulu, ya, Mas. Silahkan mbak!" katanya."Eits, tunggu dulu, ibu siapanya s
Aku belum memberikan nomor baruku ke siapapun. Takkan kuangkat karena nomor asing yang menghubungiku.Tak terdengar suara Mas Arman di depan. Mungkin benar, ia sedang mencariku di luaran sana. Atau mungkin dia tak mencariku, malah bertemu dengan Bu Via mungkin.Ah, pikiranku jadi dipenuhi oleh pikiran kotor tentangnya.Dari tadi siang, aku belum memasak ayam yang telah dibeli. Jadilah sekarang ku masak sebelum nantinya bau.Tak lama ada yang mengetuk pintu lagi, tak kubuka lagi, karena hatiku sudah terlalu sakit. Biar dia rasakan dinginnya udara malam di luar.Tapi yang mengetuk Mengeluarkan suaranya."Assalamualaikum. Dek Lita!" panggilan dari seseorang yang kukenal. Dia adalah Bu Raya.Ada apa Bu Raya datang malam-malam?Segera kubuka pintu, karena tak mau membuatnya lama menunggu."Bu Raya ada apa? Silahkan masuk!" ajakku. Ia mengekorku sampai ruang tamu. Aku dan Bu Raya sama-sama duduk di tikar yang sudah disediakan."Saya khawatir sama kamu, Lita. Kamu sudah makan? Hasilnya giman