Mas Arman langsung mendatangiku. Dia ingin memastikan yang kukatakan barusan."Coba jelaskan lagi?" katanya."I-itu, Mas. Aku ... aku hamil, Mas!" jawabku."Kenapa sekarang? Harusnya ditunda sampai kita sukses, Dek!""Allah yang berkehendak, Mas. Bukan aku atau kamu. Ingat itu," jawabku."Iya aku tau." Mas Arman duduk menyender di tembok."Mas, aku mohon pengertianmu. Kerjaan rumahku banyak. Jatah masakku tolong dinaikkan, agar aku bisa makan makanan bergizi. Alasannya itu, aku sedang hamil. Kalau kamu tak sanggup, aku menyerah saja jadi istrimu, Mas. Aku tak sanggup lagi," keluhku kali ini.Kukeluarkan semua resah di hari agar ia tau kalau aku benar-benar susah tak tahan.Mas Arman kali ini tak marah saat aku mengatakan ini. Apakah dia sadar? Dia hanya diam menyender di tembok.Tak lama ponsel Mas Arman berbunyi. Aku masih menyembunyikan ponsel baruku, takut dia marah dan curiga. Mas Arman kalau mengangkat telepon selalu menjauh dariku. Sesekali ia menengok ke belakang.Kudengarkan
Iya Anggi, aku akan usahakan ya! Tapi nggak janji, karena istriku hamil," kata Mas Arman saat menjawab telepon.Entah apa jawaban Anggi. Mas Arman hanya menjawab iya iya saja. "Sudah kukirim kekurangan kemarin," tambahnya.Pasti itu masalah uang. Anggi dan Ibu minta tambahan uang dari Mas Arman.Aku yang menemani dari nol, belum dapat apa-apa."Mas, sawah yang kau beli atas nama siapa? Aku kan turut andil dalam proses mengirit ini, jadi, aku kepengen sawah itu atas namaku," usulku."Mmm ... buat apa sih? Lagian kan dimana-mana juga atas nama suami. Kalo kamu ingin punya sawah atas namamu, silahkan buka usaha sepertiku, Lita!" ucapnya enteng."Berarti kalau gitu, aku mundur saja jadi istrimu, Mas. Biar aku hidup sendiri, cari uang sendiri, insya Allah lebih berkah dan punya penghasilan lebih besar daripada diberi olehmu, Mas!" jelasku. Aku ingin agar ia tau aja, kalau aku tak mau lagi diperdaya olehnya, yang mengatakan kalau semua penghasilan untuk beli sawah atau rumah. Tapi semua a
"Mas, perceraianku dengan suami sudah beres. Aku sangat senang, Mas. Terima kasih sudah mau menampung uneg-unegku selama ini," katanya.Aku bisa mendengarnya karena berada diantara makanan yang ada di sana. Segera aku menjalankan aksi dengan merekam semuanya. Bukti ini harus ada."Sama-sama, Bu Via. Aku ikut senang mendengarnya.""Mas ... bolehkan aku tetap dekat denganmu setelah ini?" katanya."Boleh. Ibu boleh datang kapan saja ke toko saya. Silahkan ungkapan perasaan ibu, bebas kok! Saya siap mendengarkan."Aku jadi panas mendengar obrolan mereka. Bisa-bisanya Mas Arman curhat-curhatan dengan wanita lain.Lalu, aku muncul di depan mereka."Wah, asyik ya curhat-curhatan. Mana berdua lagi, yang ketiga itu pasti sy*tan. Ups, itu aku ya?" Mas Arman dan Bu Via terperanjat. Posisi duduk mereka pun dibuat berjauhan."Kenapa mundur, Bu? Takut atau malu?" tanyaku langsung tepat sasaran."Eh, enggak, kok. Saya pulang dulu, ya, Mas. Silahkan mbak!" katanya."Eits, tunggu dulu, ibu siapanya s
Aku belum memberikan nomor baruku ke siapapun. Takkan kuangkat karena nomor asing yang menghubungiku.Tak terdengar suara Mas Arman di depan. Mungkin benar, ia sedang mencariku di luaran sana. Atau mungkin dia tak mencariku, malah bertemu dengan Bu Via mungkin.Ah, pikiranku jadi dipenuhi oleh pikiran kotor tentangnya.Dari tadi siang, aku belum memasak ayam yang telah dibeli. Jadilah sekarang ku masak sebelum nantinya bau.Tak lama ada yang mengetuk pintu lagi, tak kubuka lagi, karena hatiku sudah terlalu sakit. Biar dia rasakan dinginnya udara malam di luar.Tapi yang mengetuk Mengeluarkan suaranya."Assalamualaikum. Dek Lita!" panggilan dari seseorang yang kukenal. Dia adalah Bu Raya.Ada apa Bu Raya datang malam-malam?Segera kubuka pintu, karena tak mau membuatnya lama menunggu."Bu Raya ada apa? Silahkan masuk!" ajakku. Ia mengekorku sampai ruang tamu. Aku dan Bu Raya sama-sama duduk di tikar yang sudah disediakan."Saya khawatir sama kamu, Lita. Kamu sudah makan? Hasilnya giman
Aku senang Bu Raya mengajakku berbisnis, walau aku sangat awam tentang bisnis ini."Beneran, Bu?""Iya. Kamu juga bisa punya toko seperti suamimu nanti, dengan online, semua lebih mudah," katanya. "Enaknya, kita bisa menjualkan barang yang ada di pusat tanpa menyetok barang di rumah. Keuntungannya pun banyak, ada keuntungan langsung, ada keuntungan dari sistemnya." ucap Bu Raya."Nanti ibu tolong ajarkan saya, ya, Bu!" sahutku."Siap, Lita. Aku akan jadikan kamu pengusaha muda yang sukses agar tak diremehkan suamimu," timpal Bu Raya."Lalu, saat ini saya harus bagaimana?""Bertahan dulu saja, tapi tetap minta hakmu agar mendapat uang belanja yang layak. Kalau tidak diberi, ancam kamu akan memberitahukan keluarga besar kalian. Kalau tidak bisa juga, perpisahan mungkin jalan terbaik. Memang perceraian itu jalan yang dibenci Allah, tapi apabila sudah tidak ada kebaikan dalam suatu pernikahan, bercerai akan lebih baik," terang Bu Raya."Mmm ... Benar juga. Baiklah, Bu. Semoga aku bisa mel
"Nanti ... Mbak diskusikan dulu dengan Mas Arman, ya, Zul!" "Oh ya sudah. Ditunggu, Mbak," katanya.Keluargaku di kampung sudah kangen padaku. Akupun demikian, mereka selalu ada di hatiku.Akupun mulai bekerja di rumah Bu Raya. Benar saja, di sudut lain, banyak barang herbal. Ada banyak admin yang mengecek pesanan yang masuk, ada yang bagian pengemasan, ada yang bagian input data.Khusus aku, Bu Raya memberikan aku kesempatan melihat dulu semua bagian. Aku dijadikan resellernya yang bisa menduplikasi bisnis yang Bu Raya jalankan.Hari pertama aku belajar sebagai pengecek pesanan yang masuk. Sehari bisa puluhan, bahkan katanya sampai ratusan alamat kirim.Aku baru tau ada bisnis seperti ini dari rumah. Tapi mungkin aku pelajari aplikasi jual beli yang digunakan Bu Raya."Lita, untuk pemula, kamu bisa gunakan aplikasi jual beli juga. Untuk barang bisa ambil di saya, karena saya termasuk distributor," katanya.Betapa beruntungnya aku, bertemu dengan perempuan baik seperti Bu Raya. Darin
"Lit, kulihat kemarin ada buah, ya! Kamu taruh dimana? Aku mau dong!" Enak aja, kebiasaan. Maunya yang enak-enak, ngasih nggak."Nggak ada, Mas. Sudah aku habiskan. Kan kata Bu Raya harus dihabiskan oleh ibu hamil," sergahku."Oh jadi selama ini yang ngasih Bu Raya? Besok-besok mintalah yang banyak, pasti dia nggak bakal keberatan," katanya ngelunjak."Ah, Mas. Bikin malu aja! Oya, Mas. Kamu lihat uangku yang di dalam kaleng ini?""Lihat, aku ambil buat ganti bayar gas dan galon," katanya."Apa? Itu kan biasanya kamu yang bayar, Mas?" Aku kecewa Mas Arman mengambil uangku tanpa izin."Sesekali kamu yang bayar, Lit. Lagian uangmu banyak banget sekarang!" "Itu nggak banyak dibandingkan uang Mas Arman. Awas ya kalau berani-berani lagi ngambil uangku," ancamku."Ya sudah kalau gitu," tukasnya.Padahal aku nggak berani ngambil uangnya kemarin, walau halal diambil seperlunya. Mas Arman malah seenaknya mengambil uangku.Keesokan harinya, Mas Arman memberi uang 20 ribu. Katanya masak yang e
"Eh, suara ponsel emang? Bukan kayaknya deh!" ucapku.Mas Arman mencari asal suara. Ia melihat tasku, ia mendekatinya tapi suara sudah hilang.Ketika ia akan membuka tasku, yang berada di gantungan pakaian, aku memanggilnya."Mas, sini deh! Tolongin aku dong, bahuku terasa pegal. Mungkin efek kehamilan sepertinya," kataku.Dia mendekat, aku bersyukur dia tak menyentuh tas itu. Jangan sampai dia tau aku punya android. Bisa-bisa dia tak percaya kalau itu diberi Bu Raya. Atau bisa saja dia menyuruhku menjualnya lagi."Yang mana yang pegal?" katanya sembari membawakan minyak kayu putih."Disini, Mas." Aku menunjukkan kepadanya.Setelah ia memijat pundakku, ia langsung berbaring karena katanya besok mau berangkat bada subuh.***Pagi-pagi sekali Mas Arman sudah siap untuk berangkat setelah sarapan dengan nasi dan kecap. Janjinya ia tunaikan, diberinya uang sebesar 100 ribu untuk dua hari ini. "Jangan lupa ya, Mas. Belikan oleh-oleh untuk orang tuaku, ya!" ucapku."Iya, nanti kubelikan di