Bu RayaAku sangat senang dengan pernikahan Feri dan Lita. Mereka berdua sangat cocok. Aku tak sembarangan memilihkan Feri calon istri.Sebelumnya aku sudah memperdalam perkenalanku dengan Lita. Ia wanita yang baik, tulus dan ikhlas menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga berpengetahuan luas walau dari kampung serta mau belajar. Buktinya bisnisnya berkembang dengan cepat. Aku terpesona dengan kegigihannya berusaha.Sementara adikku Feri seorang laki-laki yang mencintai istrinya. Ia sempat terpikir untuk tak menikah lagi dengan wanita selain Istrinya. Namun menurutku ia harus mencari pendamping lagi karena masih muda dan untuk mendapatkan keturunan.Setelah merayu, memberikan dalil serta bukti kata-kata dari mendiang istrinya--Rani untuknya, ia pun mau menuruti perkataanku.Aku bilang wanita ini mungkin pendidikannya tak setinggi kamu, tapi ada poin penting lain dari dia yaitu attitude atau sikapnya."Jika benar demikian, aku akan ikuti, Kak," katanya saat itu.Sekaran
"Iya, Dek. Terima kasih, ya!" jawabnya.Pada akhirnya Mas Fadhil sembuh setelah pengobatan selama setahun. Dari sana, ia mulai semangat mencari pekerjaan lagi. Aku memotivasinya terus, sehingga ia mendapat pekerjaan lagi."Terima kasih, Dek, atas semangatmu selama ini," ucapnya sembari tersenyum bahagia."Sama-sama, Mas. Itu udah kewajibanku sebagai istri," jawabku pelan.***Hari ini, Lita dan Feri berencana mengunjugi pesantren tahfidz. Mereka akan mendonasikan rezeki berupa Al Qur'an dan makanan untuk anak-anak.Mereka sangat senang atas kedatangan donatur. Biasanya kami memang membuka peluang untuk para donatur yang mau berdonasi.Anak-anak bersyukur atas nikmat Allah karena mereka bisa mendapatkan berbagai nikmat, salah satunya bisa membaca Al Qur'an dan makan enak. Memang kalau sesehari, menunya makanan rumah biasa. Namun mereka senang ketika ada donatur yang membawakan makanan favorit anak-anak."Lita, Feri terima kasih atas dukungan kalian. Tau nggak Lit, Feri ini donatur tet
Bab 1"Makan sama apa sekarang, Dek?" tanya Mas Arman dengan setengah membentak."Sama tempe goreng, Mas!" jawabku."Masa menunya ini lagi? Kemarin juga tempe. Kamu bilang tempe bacem, eh bumbunya nggak kerasa,"protes Mas Arman. Kali ini Mas Arman menatapku sambil berkacak pinggang."Lah iya, Mas, aku nggak kebeli kalau pake bumbu lengkap. Hari ini aku beli tempe sama minyak goreng kemasan kecil yang seribu, sama bawang seribu. Itu pun aku malu Mas, belinya," kataku protes."Malu kenapa, kamu kan nggak minta mereka, kamu beli pake uang!" Ia masih saja protes dan berkacak pinggang."Malu, diomongin ibu-ibu. Katanya masa istri bos sembako belanjanya gini-gini aja!" Mas Arman murka, wajahnya merah. Dia tak suka harga dirinya diusik."Siapa yang bilang? Biar besok dia kubungkam mulutnya!" ancam Mas Arman. Kali ini wajahnya merah padam, benar-benar menakutkan. Aku jadi takut. Biasanya kalau begini, Mas Arman akan melabrak orang yang bicara buruk tentangnya.Rumah ini adalah kontrakan kami
Bab 2Mas Arman tiba-tiba sudah didepanku. Ia langsung menoyor kepalaku."Sedang apa kamu disini? Nguping ya?" tanya Mas Arman yang langsung berkacak pinggang."Iya. Emang nggak boleh?" Aku menjawab bentakannya."Dosa tau, nguping-nguping segala!" katanya yang langsung menghempaskan bokongnya di kursi plastik yang kami miliki."Mas, ngapain segala ngirim uang lima juta. Gede banget itu, Mas! Sementara aku? Selalu Mas minta untuk hemat!" protesku padanya.Mas Arman menggelengkan kepalanya."Kamu ini, janga sok tau, Lita! Kamu tau siapa yang minjemin modal aku buat jualan?" tanyanya dengan mata melebar."Tau, Mas. Ibu yang ngasih pinjeman. Tapi ... kan udah lunas dua bulan lalu!" jawabku pelan."Ya, memang udah lunas. Tapi asal kamu tau, kita nggak akan bisa kayak sekarang tanpa pinjaman itu. Makanya Mas mau berterima kasih pada Ibu. Mumpung adikku mau nikah, aku nambahin buat pernikahannya, Lita!" jelasnya."Oh ... begitu! Tapi ... kudengar ibu minta uang lagi, apa nggak malu? Kan anak
Bab 3'Ah, kenapa harus dikunci?' gumamku.Kucoba menuliskan tanggal ulang tahunnya. Ternyata salah. Kucoba lagi menuliskan tanggal ulang tahunku, ternyata salah juga.Udah ah, sepertinya aku nggak usah coba lagi. Bisa-bisa berabe kalau angka yang dimasukkan ketiga kalinya salah juga. Nanti diblokir, aku yang kena semprot. Kumatikan ponsel Mas Arman.Ketika akan kusimpan, bagian belakang ponsel tersingkap. Di dalam penutup bagian belakang ponsel, ada kertas. Kubuka kertas itu.Kertas itu isinya beberapa tulisan seperti nomor rekening listrik orang tuanya dan rumah kami, lalu ada pin ATM, ada pin ponsel.Sepertinya aku butuh keduanya. Kucari buku untuk menuliskannya, kalau di kertas, pasti bakal hilang.Setelah itu, kubuka ponselnya kembali dan dimasukkanlah pin tadi. Dan ... ponsel pun bisa dibuka.Yeaaay ... aku kegirangan!Dengan cepat kubuka aplikasi hijau di ponsel pintar ini. Wah, isinya ternyata benar. Pesan dari kakaknya kalau sawahnya sudah menjadi milik suamiku.Lalu ada pesa
Bab 4"Bukan kayak gini, Lita! Aku tuh jatahin kamu sehari seliter beras kan? Trus tiap hari sering kamu sisain setengah liter, kamu pake cuma setengah liter. Lah, aku bawa lagi ke toko. Kan sayang sama kamu nggak dipake. Aku cuma mau kamu mikir gimana caranya supaya beras itu jadi duit!" jelas Mas Arman.Aku masih diam. Mencoba mencerna dulu kata-kata Mas Arman.Aku tau tujuan dia dalam usianya 30 tahun sudah punya rumah, sawah, sukur-sukur punya kendaraan. Makanya kami hidup benar-benar berhemat. Mas Arman memintaku dimasakkan seadanya, walau kadang dia khilaf juga karena merasa bosan dengan masakan yang itu-itu saja."Maksud Mas Arman, aku harus menjual sisa beras yang Mas beri? Kalau aku ingin menabung?" tanyaku lagi untuk memastikan perkataannya."Betul, Lita. Coba kamu tawarkan ke tetangga dekat-dekat dulu. Mau nggak beli beras kita. Aku berikan yang paling bagus kualitasnya kenapa? Karena kalau berasnya bagus, makan sama apapun pasti enak!" ucapnya sembari tertawa."Ya sudah,
Bab 5Aku menghampiri Mas Arman yang ada di luar, ia tak bisa masuk karena pintunya kukunci."Mas." Aku menyapa Mas Arman, lalu mencium tangannya.Mas Arman membulatkan matanya. Sepertinya dia bertanya-tanya kalau aku dari mana. Tanpa ditanya pun, aku langsung bicara padanya."Maaf, Mas. Aku ... habis jual beras, terus ada yang kasih ini," kataku seraya memperlihatkan plastik kecil yang kupegang. "Masuk yuk, Mas!" Aku mengajaknya masuk karena panas jika di luar terus.Mas Arman mengikutiku dari belakang. Saat pintu di tutup, mulailah ia memarahiku."Kamu ini suami pulang malah kelayaban. Apa emang itu?" Mas Arman menyimpan kantong plastik ditangannya, lalu mengambil kantong plastik yang kupegang."Itu ikan bakar, Mas!""Siapa yang mau ngasih ini ke kamu? Jangan sampai kamu ngemis, ya!" katanya. "Ngemis? Nggak mungkin lah, Mas! Aku ini dapat dari Bu Raya. Kebetulan dia masak banyak dan aku menjual sisa beras kita hari ini. Bu Raya memberiku ikan bakar itu. Mungkin ia kasihan karena me
Bab 6"Halo, ya, Zul?" Aku menyapa orang yang ada di sebrang sana. Di kontak yang tertera adalah Zul. Dia adalah adikku.Sengaja aku menerima telepon di dekat Mas Arman. Tidak sepertinya yang sembunyi-sembunyi dariku saat menerima telepon."Mbak Lita, sebentar lagi ada pesta di rumah Mas Arman. Mbak dan Mas pulang kan?" tanya Zul."Maaf, Zul. Kami nggak bisa pulang. Mas Arman sudah memutuskan itu," jawabku memelas."Yaaah ... Padahal, Ibu pengen ketemu kamu, Mbak! Katanya kangen sama Mbak Lita," sahut Zul di sana."Ya Allah, Zul. Sama Zul, akupun pengen ketemu ibu. Tapi mau gimana lagi, Mas Arman sudah ambil keputusan kami nggak pulang, Zul. Tolong sampaikan salam sama ibu, ya, Zul!" jelasku panjang lebar. Semoga saja mereka mengerti."Mbak, ibu sakit. Dia terus menerus manggil Mbak Lita. Katanya Lita kok nggak dateng-dateng? Apa Lita bahagia?" ungkap Zul.Dalam keadaan sakit saja, ibu masih memikirkan kebahagiaanku. Sungguh, sebenarnya aku ingin pulang, ingin bertemu mereka semua. Ta