Bab 1
"Makan sama apa sekarang, Dek?" tanya Mas Arman dengan setengah membentak.
"Sama tempe goreng, Mas!" jawabku.
"Masa menunya ini lagi? Kemarin juga tempe. Kamu bilang tempe bacem, eh bumbunya nggak kerasa,"protes Mas Arman. Kali ini Mas Arman menatapku sambil berkacak pinggang.
"Lah iya, Mas, aku nggak kebeli kalau pake bumbu lengkap. Hari ini aku beli tempe sama minyak goreng kemasan kecil yang seribu, sama bawang seribu. Itu pun aku malu Mas, belinya," kataku protes.
"Malu kenapa, kamu kan nggak minta mereka, kamu beli pake uang!" Ia masih saja protes dan berkacak pinggang.
"Malu, diomongin ibu-ibu. Katanya masa istri bos sembako belanjanya gini-gini aja!"
Mas Arman murka, wajahnya merah. Dia tak suka harga dirinya diusik.
"Siapa yang bilang? Biar besok dia kubungkam mulutnya!" ancam Mas Arman. Kali ini wajahnya merah padam, benar-benar menakutkan. Aku jadi takut. Biasanya kalau begini, Mas Arman akan melabrak orang yang bicara buruk tentangnya.
Rumah ini adalah kontrakan kami yang kelima. Selama merantau ke Bogor, kami sering pindah kontrakan, karena ulah Mas Arman yang gampang tersulut emosi.
"Nggak, Mas. Nggak usah, nanti juga reda sendiri kok. Aku nggak mau kali ini kita ada masalah dengan tetangga," sanggahku menenangkannya agar ia tak melabrak tetangga.
"Ya sudah, kalau ada masalah lagi, aku tak segan menegurnya hingga mulutnya tak dapat berkata-kata lagi!" ancamnya.
"Iya, Mas. Kamu mending makan dulu." Aku jadi ketakutan.
Kulayani suamiku dengan mengambilkannya nasi. Biar tempe dia yang ambil sendiri.
Suamiku adalah pemilik toko sembako di pasar. Tapi untuk istrinya hanya dijatah beras seliter dan uang lima ribu rupiah setiap hari.
Ia tak mau aku hidup foya-foya. Katanya tak baik seorang istri memegang uang banyak. Ia yang menyimpan uang kami.
Kami biasa makan seadanya, kalau nggak tahu, kami makan tempe. Atau kadang makan telur, itu pun cukup untuk 2 butir telur.
Selesai makan, biasanya dia minum teh manis. Untuk beli teh dan gulanya saja aku harus menyimpan sisa uang lima ribu yang dia beri. Namun, memang kebutuhan lainnya ia sering bawakan dari warungnya.
Mas Arman mana mau tau kesusahanku. Taunya semua serba ada kalau di rumah. Tidak sebanding dengan yang ia berikan padaku.
***
Aku mencari cara agar punya uang tambahan. Akhirnya aku menawarkan diri ke tetanggaku untuk menyetrika baju di rumahnya.
Ada satu rumah yang menerimaku bekerja. Kerjanya nggak tiap hari. Tapi seminggu dua kali
Aku tak minta izin Mas Arman untuk bekerja. Biarlah, dia kan biasanya pergi pagi, pulang petang. Takkan bisa memergokiku bekerja.
Saat pekerjaan selesai, aku langsung dapat uang. Sekali menyetrika, aku dapat 30 ribu. Uang pertama yang kudapat ini sangat membantuku untuk membeli bahan-bahan makanan tambahan masak seperti bawang, cabe, tomat, garam, minyak goreng.
Aku tak membeli makanan aneh-aneh, takut Mas Arman curiga.
"Dek, masakanmu hari ini enak. Kerasa sekali bumbunya!" ucap Mas Arman saat selesai makan.
Ia makan dengan tempe bacem. Wajar saja enak, karena aku membeli bumbu pendukungnya dengan lengkap. Biasanya nggak kebeli, jadi aku gunakan yang lebih penting saja.
"Alhamdulillah kalau gitu, Mas!" jawabku.
"Kok bisa? Berarti uang yang kuberi lebih dari cukup, ya, Dek? Itulah hikmah berhemat. Kamu jadi mikir, gimana supaya bisa makan enak, tapi budget terbatas!" timpal Mas Arman.
Aku tersenyum dalam hati.
'Ya, Mas. Jadi membuatku berpikir untuk mencari uang sendiri!' batinku.
"Kenapa Lita? Kamu kok malah senyum-senyum sendiri?" tanya Mas Arman khawatir.
"Nggak, Mas. Aku sedang memikirkan masa depan kita," jawabku.
"Tenang aja, Lita. Masa depan kita cerah! Aku sudah membeli sawah kakakku di kampung. Kita sekarang sudah punya sawah, Lita!" Mas Arman memperlihatkan gambar sebidang sawah yang katanya sekarang menjadi milik kami.
'Makan tuh sawah, Mas! Buat apa punya sawah tapi tak bisa menikmatinya! Sekarang pun kamu punya toko sembako, aku tak bisa menikmati yang kamu jual, Mas! Aku harus membeli sendiri kebutuhan sembako yang layak ada di rumah. Lihat saja nanti, Mas, aku bertekad lebih banyak uang dari kamu. Biar kamu tau, aku tak bisa seperti ini terus, Mas!' batinku meronta ingin segera bahagia.
Lalu, ponsel suamiku berbunyi. Ia lalu mengangkatnya dan berjalan ke kamar. Aku mengikutinya dan menguping dari luar. Kudekatkan telingaku ke pintu yang tak ditutup sempurna olehnya.
"Ada apa, Bu? Apa? Bukannya kemarin baru kukirim 5 juta untuk biaya tambahan pernikahan Anggi? Sekarang ibu minta berapa lagi?"
Saat itu juga, hatiku merasa sakit. Yaa ... ternyata suamiku sangat loyal pada keluarganya. Sedangkan aku?
Bersambung
Bab 2Mas Arman tiba-tiba sudah didepanku. Ia langsung menoyor kepalaku."Sedang apa kamu disini? Nguping ya?" tanya Mas Arman yang langsung berkacak pinggang."Iya. Emang nggak boleh?" Aku menjawab bentakannya."Dosa tau, nguping-nguping segala!" katanya yang langsung menghempaskan bokongnya di kursi plastik yang kami miliki."Mas, ngapain segala ngirim uang lima juta. Gede banget itu, Mas! Sementara aku? Selalu Mas minta untuk hemat!" protesku padanya.Mas Arman menggelengkan kepalanya."Kamu ini, janga sok tau, Lita! Kamu tau siapa yang minjemin modal aku buat jualan?" tanyanya dengan mata melebar."Tau, Mas. Ibu yang ngasih pinjeman. Tapi ... kan udah lunas dua bulan lalu!" jawabku pelan."Ya, memang udah lunas. Tapi asal kamu tau, kita nggak akan bisa kayak sekarang tanpa pinjaman itu. Makanya Mas mau berterima kasih pada Ibu. Mumpung adikku mau nikah, aku nambahin buat pernikahannya, Lita!" jelasnya."Oh ... begitu! Tapi ... kudengar ibu minta uang lagi, apa nggak malu? Kan anak
Bab 3'Ah, kenapa harus dikunci?' gumamku.Kucoba menuliskan tanggal ulang tahunnya. Ternyata salah. Kucoba lagi menuliskan tanggal ulang tahunku, ternyata salah juga.Udah ah, sepertinya aku nggak usah coba lagi. Bisa-bisa berabe kalau angka yang dimasukkan ketiga kalinya salah juga. Nanti diblokir, aku yang kena semprot. Kumatikan ponsel Mas Arman.Ketika akan kusimpan, bagian belakang ponsel tersingkap. Di dalam penutup bagian belakang ponsel, ada kertas. Kubuka kertas itu.Kertas itu isinya beberapa tulisan seperti nomor rekening listrik orang tuanya dan rumah kami, lalu ada pin ATM, ada pin ponsel.Sepertinya aku butuh keduanya. Kucari buku untuk menuliskannya, kalau di kertas, pasti bakal hilang.Setelah itu, kubuka ponselnya kembali dan dimasukkanlah pin tadi. Dan ... ponsel pun bisa dibuka.Yeaaay ... aku kegirangan!Dengan cepat kubuka aplikasi hijau di ponsel pintar ini. Wah, isinya ternyata benar. Pesan dari kakaknya kalau sawahnya sudah menjadi milik suamiku.Lalu ada pesa
Bab 4"Bukan kayak gini, Lita! Aku tuh jatahin kamu sehari seliter beras kan? Trus tiap hari sering kamu sisain setengah liter, kamu pake cuma setengah liter. Lah, aku bawa lagi ke toko. Kan sayang sama kamu nggak dipake. Aku cuma mau kamu mikir gimana caranya supaya beras itu jadi duit!" jelas Mas Arman.Aku masih diam. Mencoba mencerna dulu kata-kata Mas Arman.Aku tau tujuan dia dalam usianya 30 tahun sudah punya rumah, sawah, sukur-sukur punya kendaraan. Makanya kami hidup benar-benar berhemat. Mas Arman memintaku dimasakkan seadanya, walau kadang dia khilaf juga karena merasa bosan dengan masakan yang itu-itu saja."Maksud Mas Arman, aku harus menjual sisa beras yang Mas beri? Kalau aku ingin menabung?" tanyaku lagi untuk memastikan perkataannya."Betul, Lita. Coba kamu tawarkan ke tetangga dekat-dekat dulu. Mau nggak beli beras kita. Aku berikan yang paling bagus kualitasnya kenapa? Karena kalau berasnya bagus, makan sama apapun pasti enak!" ucapnya sembari tertawa."Ya sudah,
Bab 5Aku menghampiri Mas Arman yang ada di luar, ia tak bisa masuk karena pintunya kukunci."Mas." Aku menyapa Mas Arman, lalu mencium tangannya.Mas Arman membulatkan matanya. Sepertinya dia bertanya-tanya kalau aku dari mana. Tanpa ditanya pun, aku langsung bicara padanya."Maaf, Mas. Aku ... habis jual beras, terus ada yang kasih ini," kataku seraya memperlihatkan plastik kecil yang kupegang. "Masuk yuk, Mas!" Aku mengajaknya masuk karena panas jika di luar terus.Mas Arman mengikutiku dari belakang. Saat pintu di tutup, mulailah ia memarahiku."Kamu ini suami pulang malah kelayaban. Apa emang itu?" Mas Arman menyimpan kantong plastik ditangannya, lalu mengambil kantong plastik yang kupegang."Itu ikan bakar, Mas!""Siapa yang mau ngasih ini ke kamu? Jangan sampai kamu ngemis, ya!" katanya. "Ngemis? Nggak mungkin lah, Mas! Aku ini dapat dari Bu Raya. Kebetulan dia masak banyak dan aku menjual sisa beras kita hari ini. Bu Raya memberiku ikan bakar itu. Mungkin ia kasihan karena me
Bab 6"Halo, ya, Zul?" Aku menyapa orang yang ada di sebrang sana. Di kontak yang tertera adalah Zul. Dia adalah adikku.Sengaja aku menerima telepon di dekat Mas Arman. Tidak sepertinya yang sembunyi-sembunyi dariku saat menerima telepon."Mbak Lita, sebentar lagi ada pesta di rumah Mas Arman. Mbak dan Mas pulang kan?" tanya Zul."Maaf, Zul. Kami nggak bisa pulang. Mas Arman sudah memutuskan itu," jawabku memelas."Yaaah ... Padahal, Ibu pengen ketemu kamu, Mbak! Katanya kangen sama Mbak Lita," sahut Zul di sana."Ya Allah, Zul. Sama Zul, akupun pengen ketemu ibu. Tapi mau gimana lagi, Mas Arman sudah ambil keputusan kami nggak pulang, Zul. Tolong sampaikan salam sama ibu, ya, Zul!" jelasku panjang lebar. Semoga saja mereka mengerti."Mbak, ibu sakit. Dia terus menerus manggil Mbak Lita. Katanya Lita kok nggak dateng-dateng? Apa Lita bahagia?" ungkap Zul.Dalam keadaan sakit saja, ibu masih memikirkan kebahagiaanku. Sungguh, sebenarnya aku ingin pulang, ingin bertemu mereka semua. Ta
Bab 7Kukeluarkan kertas di saku celana Mas Arman. Ternyata isinya dua lembar uang duapuluh ribuan."Yah, cuma dikit. Segini mah kayak penghasilanku kemarin," gerutuku sembari memasukkan celana ke ember yang sudah diberi sabun colek.Mas Arman melarangku menggunakan detergen. Sudah ia sediakan sabun colek untuk mencuci.Tiba-tiba aku merasa mual. Perutku tak enak, aku pun mengeluarkan isi perutku di kamar mandi. Sekarang kepala pusing. Kucoba oleskan minyak kayu putih di dekat pelipis. Tapi pusing ini tak kunjung hilang.Lalu, kucoba merebahkan diri diatas kasur. Rasanya nyaman, tapi aku tak bisa banyak bergerak.Saat aku sedang rebahan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu."Eh, ada Alma. Ada apa, Alma?" tanyaku pada anaknya Bu Raya."Ini, Mama ngasih ini buat Tante. Trus kata Mama mau beli beras," sahutnya dengan ekspresi menggemaskan. Anaknya Bu Raya berusia sekitar 8 tahun."Ya Allah, berasnya Tante aja yang anterin ke sana. Biar kamu nggak capek. Apa ini, makasih ya! Masuk yuk!" uc
Bab 8Pagi-pagi, Mas Arman sudah minta makan. Sedangkan aku belum menghangatkan ayam kecap yang diberikan Bu Raya kemarin.Aku harus berjuang mengatasi rasa mual ini."Kamu kenapa sih? Sakit?" Mas Arman memasang tangannya di jidatku."Nggak, Mas. Cuma mual-mual aja dari kemarin," jawabku."Kamu masuk angin kali. Pakai minyak kayu putih aja! Nanti juga hilang," katanya.Ia langsung memakan nasi dan ayam kecap tanpa dihangatkan."Angetin dulu, Mas!" saranku."Nggak usah, aku bekel satu lagi buat makan siangku di toko ya!" katanya."Ya udah bawa aja, Mas!" "Alhamdulillah, biasanya aku cuma makan nasi sama tempe. Kali ini makan ayam. Tabunganmu sudah banyak ya, Dek? Sampe udah bisa beli ayam. Kecapnya jangan banyak-banyak, nanti habis lagi," imbuh Mas Arman.Aku tersenyum kecut. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Belum sempat kujawab, aku sudah mual-mual lagi."Ya udah, Dek. Istirahat aja kamu, ya!" saran Mas Arman."Iya, Mas. Aku nggak mau ngerjain kerjaan rumah mulai sekarang! Aku
"Ini ikan goreng, mangga muda dan vitamin buatmu!" Aku langsung berkaca-kaca, yang kuinginkan ternyata terkabul melalui Bu Raya."Kenapa?" tanyanya."Tadi saat masih di rumah, aku memikirkan mangga muda ini, Bu Raya." Bu Raya tersenyum."Alhamdulillah, berarti itu rezekimu.""Terima kasih, ya, Bu!" ucapku pada Bu Raya.Saat ini, kami sudah dekat, tapi aku belum bisa membicarakan masalah keluargaku padanya. Aku takut malah membuka aib suamiku.Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mencarinya di saku baju. Lalu mengangkatnya."Lita, kamu tega bikin aku sakit perut gini!" Mas Arman marah-marah."Sakit perut kenapa, Mas?" tanyaku."Gara-gara ayam kecap kamu. Sepertinya udah basi. Kamu meracuniku, Lita!" katanya.Ketika akan menjawab lagi, teleponnya sudah diputus. Tapi dalam hati aku senang Mas Arman sepertinya keracunan akibat perbuatannya. 'Salah sendiri nggak dihangatkan dulu tadi pagi,' gumamku."Kenapa Lita? Suamimu marah?""Enggak, Bu. Cuma salah paham saja," jawabku."Ya sudah, disel