แชร์

Menguping Pembicaraan Mas Arman

Bab 2

Mas Arman tiba-tiba sudah didepanku. Ia langsung menoyor kepalaku.

"Sedang apa kamu disini? Nguping ya?" tanya Mas Arman yang langsung berkacak pinggang.

"Iya. Emang nggak boleh?" Aku menjawab bentakannya.

"Dosa tau, nguping-nguping segala!" katanya yang langsung menghempaskan bokongnya di kursi plastik yang kami miliki.

"Mas, ngapain segala ngirim uang lima juta. Gede banget itu, Mas! Sementara aku? Selalu Mas minta untuk hemat!" protesku padanya.

Mas Arman menggelengkan kepalanya.

"Kamu ini, janga sok tau, Lita! Kamu tau siapa yang minjemin modal aku buat jualan?" tanyanya dengan mata melebar.

"Tau, Mas. Ibu yang ngasih pinjeman. Tapi ... kan udah lunas dua bulan lalu!" jawabku pelan.

"Ya, memang udah lunas. Tapi asal kamu tau, kita nggak akan bisa kayak sekarang tanpa pinjaman itu. Makanya Mas mau berterima kasih pada Ibu. Mumpung adikku mau nikah, aku nambahin buat pernikahannya, Lita!" jelasnya.

"Oh ... begitu! Tapi ... kudengar ibu minta uang lagi, apa nggak malu? Kan anaknya masih banyak yang lain! Kita juga masih belum punya rumah gini, Mas. Aku udah rela diberi uang belanja semaumu, tapi kamu malah royal pada keluargamu," ucapku kecewa pada Mas Arman.

"Dek, kamu jangan protes seperti itu. Kita udah punya sawah. Okey, kalau kamu mau rumah, berarti kita harus mengencangkan ikat pinggang lagi!" katanya dengan nada meninggi.

"Maksudmu?"

"Apakah kamu siap kalau jatah harianmu aku kurangi lagi?" tanyanya enteng. "Atau kalau perlu kita puasa Daud biar bisa lebih mengirit lagi." katanya.

"Mas, aku mau kalau diajak puasa Daud. Tapi ... tujuannya bukan untuk penghematan, tapi karena Allah," sanggahku. Aku tak mau memiliki niat lain selain itu.

"Kamu sok alim sih, Lita. Sama aja, toh kita laper-laper juga seharian nggak makan."

Aku mendelik pada suamiku. Walau ku bukan santri, tapi aku ngerti lah soal ibadah. Sebaiknya memang tujuan hanya untuk Allah, nggak ada yang lainnya.

"Mas, aku malah mau minta tambahan uang belanja. Nggak mau aku semakin mengencangkan ikat pinggang seperti kata Mas Arman tadi. Sedangkan keluargamu nggak usah melakukan itu, udah dapet uang banyak. Itung deh, Mas. Biar nyampe lima juta, aku harus nunggu 1.000 hari, tapi itu pun keburu abis buat sehari-hari." Tak kuasa air mata ini berjatuhan.

"Eh, kamu malah nangis, memelas seperti itu! Aku nggak suka perempuan lemah. Udah! Mending aku tidur aja, mempersiapkan diri nyari rezeki tuk esok hari. Daripada ngelayanin kamu yang makin ngaco!"

Mas Arman langsung masuk ke kamar, ia membanting pintu. 

Kalau sudah seperti ini, aku hanya bisa menangis.

'Sakit hatiku, Mas!' Hanya batin yang terasa sakit, suamiku mana tau kalau Istrinya tersiksa.

Kubasuh wajahku untuk menghadap Allah. Akan kuadukan semua kelakuanmu pada-Nya, Mas!

Selepas salat, perasaanku semakin baik. Rasanya plong setelah bercerita pada-Nya. 

Aku yang tak pernah punya teman curhat. Di Bogor ini, karena kamu sering pindah, belum ada teman yang cocok tuk berbagi kesedihan.

Walaupun ada teman beberapa, aku tak bisa mengeluarkan uneg-uneg tentang Mas Arman pada sembarang orang. Karakterku yang tertutup yang membuatnya seperti itu.

Saat ini Mas Arman, tak memberikan fasilitas ponsel pintar padaku. Aku hanya difasilitasi ponsel yang bisa mengirim pesan dan telepon saja. Sedangkan Mas Arman pakai ponsel pintar itu. Kadang dia buka macam-macam aplikasi seperti tik tok yang menurutku aplikasi yang nggak penting.

Disaat para tetangga berkumpul dengan ponsel pintarnya, aku harus menyimpan ponsel milikku agar tak terlihat oleh mereka.

Pernah di tempat tinggalku sebelumnya, mereka mengejekku karena masih pakai ponsel kuno katanya.

Aku hanya bisa diam dan kembali ke kontrakanku, sejak itu aku tak mau bergaul lagi dengan para tetangga.

"Lita, kamu masih belum tidur?" Mas Arman terbangun.

"Belum, Mas. Aku sedang merenungi nasibku."

"Mulai deh kamu! Awas, jangan diam disitu! Aku mau mengisi daya ponsel dulu!" usirnya.

Aku berpindah tempat, ia masukkan pengisi daya ke saklar yang ada di dekatku tadi.

Ternyata Mas Arman terbangun hanya karena terlupa belum mengisi daya. Setelah itu, bunyi dengkurnya kembali terdengar.

Aku tak bisa tidur. Kembali kutatap benda pipih yang selalu Mas Arman pegang tiap saat.

Terpikir ide kalau aku harus memeriksa ponselnya. Dengan hati yang bergemuruh, aku mengendap-endap menuju ponsel yang sedang mengisi daya itu.

Ponselnya mati, kunyalakan ponsel itu. Lalu layarnya terlihat jelas. Namun, ketika akan membukanya, ponsel itu terkunci.

'Ah, kenapa harus dikunci?' gumamku.

Bersambung

ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
Anggriani Suma
Bagus tidak membosankan untuk di baca
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด

DMCA.com Protection Status