"Oh, iya, sudah, Bu. Tadi Pagi!" jawabku. "Alhamdulillah, terima kasih, Bu Raya. Semoga Allah membalas kebaikan ibu," ucapku terharu.Tak terasa mata ini terasa panas, air mata menetes. Bu Raya membuatku terharu."Jangan menangis, Lita. Aku tau tentangmu dari beberapa tetangga di sini. Katanya suamimu punya toko sembako, tapi kamu malah belanja seadanya. Mereka sering membicarakanmu. Katanya kalau mereka jadi kamu bakalan kabur karena tersiksa. Tapi kamu berbeda Lita, aku melihat ketulusan dari dirimu. Menurutku, kamu bukan bodoh, tapi justru kamu mau menjalankan takdirmu sebagai istri dengan berbuat baik pada suamimu. Kalau urusan suamimu yang pelit, anggap saja itu urusannya dengan Allah langsung," terang Bu Raya. Bu Raya sebegitu dalamnya tau tentang diriku. Ia perempuan yang baik juga pintar."Iya, Bu. Tapi saya pun tak diam saja. Saya akhir-akhir ini sering protes padanya. Lalu saya ikuti saran ibu dengan dia yang belanja, ternyata tetap yang diutamakan sifat pelitnya. Dia bawa
Pagi-pagi aku masih menghubungi ponselnya. Tapi nggak nyambung juga. Kemana perginya laki-laki itu?Ya sudah, biarlah. Kalau dia mengkhianatiku, aku fokus dengan keberhasilanku. 'Lihat saja nanti, Mas. Aku akan lepas dari laki-laki pelit dan pengkhianat sepertimu!' gumamku lirih.Jika ternyata kamu selingkuh, aku akan langsung pergi dari rumah ini. Enak saja kamu, sudah bakhil, kamu menduakanku.Pagi ini rencana akan ke bank untuk mengurus rekening. Kalau kata Bu Raya sekalian m-banking, untuk memudahkan transaksi dari rumah.Sebelumnya, aku sarapan dulu. Memakan makanan pemberian Bu Raya yang sangat nikmat. Rasanya tak membuatku mual.Lalu aku persiapkan keperluan untuk membuka rekening dan M-banking. Uang tabungan, aku tabungkan semua uangku saja. Lalu KTP dan materai.Setelah semua siap, segera kumasukkan dalam dompet, lalu dalam tas kecilku. Aku memilih menggunakan bank rakyat milik pemerintah, karena biasanya di tiap daerah sudah ada bank rakyat.Aku pergi sendiri, perjalanan me
Dengan uang, semua yang haram terlihat halal. Kadang segala cara digunakan untuk mendapatkannya.Aku akan mendapatkan uang dengan cara yang baik dan halal agar berkah. Kata Bu Raya, tak apa-apa merangkak terus, sehingga kita bisa mencapai penghasilan yang tinggi suatu saat.Sesampainya di rumah, aku langsung salat dan makan siang, karena setelah makan siang, aku harus menginput produk-produk yang belum kumasukkan di galeri penjualan aplikasi jual beli yang kupunya.Sekaligus memberikan testimoni dariku sendiri yang meminum minyak ikan yang katanya bagus untuk ibu hamil.Setelah beberapa saat, ada dua orderan beriringan, yaitu kacamata anti radiasi dan minuman kesehatan ditambah minyak ikan.Aku harus menghubungi admin yang bekerja di rumah Bu Raya hari ini, agar langsung di kirim. Tapi setelah ganti nomor rekeningku, uangnya tak langsung masuk rekening. Ternyata nanti ketika barang sudah diterima konsumen.Aku harus bilang dulu ke Bu Raya, agar ia menyetujui kalau aku mengirimkan bara
Aku bersikap biasa saja saat Mas Arman keluar dari kamar mandi. Ia menghampiriku, lalu tersenyum. Biasanya dia tak pernah sesemringah ini."Kenapa, Mas?" tanyaku."Aku cuma kangen aja sama kamu, Lita. Gimana kehamilanmu?" tanya Mas Arman."Alhamdulillah baik. Tumben, Mas nanya-nanya?" Aku berekspresi heran saat bicara."Kan aku Ayahnya. Masa nggak boleh nanya?" ucap Mas Arman.Aku langsung tidur kembali."Lita, kamu nggak mau makan bawaanku?" tanyanya."Nggak ah, udah kenyang!" jawabku sembari merebahkan diri ke arah tembok.'Mas Arman, kamu takkan menyangka kalau aku sudah tau semua perbuatanmu. Akan kubalas perlakuanmu ini, Mas!' batinku sebelum tidur.Ia kembali ke meja makan dan memainkan ponselnya. ***"Dek, hari ini aku harus memberimu uang belanja berapa? Karena aku sepertinya akan nginep di toko. Akhir-akhir ini sering terjadi pencurian, aku khawatir. Jadi mau ronda di sana." Mas Arman bercerita."Ya Allah, Mas. Kamu tau dari mana kalau di sekitar toko terjadi pencurian? Kan
"Ada, Bu. Masih banyak kok," jawabku, dan memang masih banyak."Ya, bagus. Kamu makan yang banyak dan bergizi ya, Lita. Agar kandunganmu juga sehat," katanya."Baik, Bu. Terima kasih, ya!" ucapku pada Bu Raya. "Saya yang terima kasih, kamu udah berbaik hati berikan ini. Semoga rezekimu semakin berkah ya, Lita. Tetap semangat!" Bu Raya berterima kasih."Sama-sama, Bu. Saya meneruskan kerjaan saya, ya, Bu!""Baik, Lita. Semangat, ya!" Bu Raya mengepalkan tangan, dan menghentakkannya.Baik, Bu. Terima kasih."Aku kembali bekerja dengan karyawan yang lain. Mereka adalah para karyawan yang telaten, kerjaannya cepat selesai.***Saat jam istirahat, biasanya kami diberi makan siang oleh Bu Raya. Kami mengambil sendiri di dapur Bu Raya."Lita, makan yang banyak ya!" pinta Bu Raya."Iya, Bu. Terima kasih. Ini juga udah ngambil banyak," kataku sembari memperlihatkan isi piringku."Oke. Saya ke dalam dulu, ya!" "Baik, Bu."Aku makan bersama karyawan yang lain. Senang sekali bekerja di sini, se
Di dalam mobil, aku tak mau berkata-kata. Aku merasa canggung berada diantara keluarga ini. Keluarga bahagia, ada suaminya Bu Raya--Pak Fadhil, Alma dan Bu Raya. Mereka hanya punya satu anak semata wayang saja, yaitu Alma."Tante Lita habis dari mana? Kok tadi kayak ketakutan?" tanya Alma saat di tengah perjalanan."Habis dari rumah teman. Kebetulan takut kemaleman ini," ucapku."Tenang saja Lita, di restoran yang kita tuju nanti, ada tempat salatnya. Kita tunaikan salat magrib dulu di sana." Bu Raya memenangkan."Iya, Bu. Terima kasih sudah membantuku terus. Ibu dan keluarga benar-benar orang baik." Aku terharu mendengarnya."Nggak Lita, kamulah orang baik itu. Aku sangat iri denganmu. Kamu benar-benar wanita calon penghuni syurga, kalau menurut saya," katanya yang membuatku bertanya-tanya tentang perkataan Bu Raya."Ah, nggak Bu. Memang tujuan saya masuk syurga. Tapi saya tak sepede itu, kesalahan saya sangat banyak sama Allah," ucapku sembari berkaca-kaca."Orang lai yang menilai,
Kami memulai makan bersama. Aku benar-benar merasakan makanan nikmat kali ini. Di dalam hati aku bersyukur bisa mencobanya. Semua tak lain atas kehendak Allah melalui Bu Raya, aku bisa menyantapnya.Aku sangat terharu dengan kehidupanku, walau menghadapi suami yang menguji kesabaranku, aku bertemu orang baik seperti mereka. Sungguh nikmat Allah tak ada habisnya."Lit, jangan lupa minum!" titah Bu Raya yang melihat minumanku masih penuh.Aku mengangguk, lalu meminumnya. Rasanya sangat menyenangkan bisa makan di restoran mewah seperti ini.Setelah habis semua, Pak Fadhil membayarnya. Ku lihat total yang harus dibayar merupakan angka yang fantastis buatku. Uang lima ribu sehari bagi aku dan Mas Arman, di sini tak ada harganya. Rata-rata harga makanan puluhan sampai ratusan ribu.Tiba-tiba tangan Bu Raya memberikan kantong berisi makanan."Apa ini, Bu?""Stik sapi. Buat kamu sarapan besok. Hangatkan saja, dipisah semua kok, insya Allah tahan sampai pagi," ucap Bu Raya."Ya Allah, Bu. Suda
"Lita, bangun kamu! Jangan pura-pura tidur!" bentaknya.Ia menggoyangkan badanku yang pura-pura tertidur ke arah tembok. Aku tak tahan, lalu aku terbangun."Apa, Mas?" tanyaku saat aku bangun."Kamu nggak masak?""Enggak! Kan Mas Arman sudah makan di rumah istri barumu, Mas!"Mas Arman terbelalak, dia terkejut aku bisa tau rahasianya."Maksudmu apa?""Mas nggak usah mengelak, aku sudah tau semuanya. Aku sudah punya buktinya kalau kamu sudah menikah dengan janda itu," jelasku. Aku mengambil kerudung, lalu mencoba mencari bahan makanan yang bisa dimasak.Mas Arman diam. Ia lalu mendekatiku, mencoba menc*kik leherku."Apa yang kamu tau, Lita! Jangan ikut campur!" Aku semakin kesakitan, leherku ditekannya. Aku tak kuat, kucoba menggunakan kakiku untuk menendang kemal*annya.Dia terhempas, kesakitan di bagian itu. Aku buru-buru kabur. Beruntung pintu belum dikunci, jadi aku bisa langsung keluar. Mas Arman mengejarku, aku buru-buru lari ke rumah Bu Raya. Kuketuk pintu rumahnya, lalu kupe