"Biasanya kalau sedang marah, suami saya kadang suka kasar. Tapi baru kali ini saya dicek*k seperti itu, Bu.""Ya Allah ... kalau menurut saya itu sudah keterlaluan, Lita. Kamu mending di sini dulu.""Ya, Bu. Saya akan mengajukan gugatan saja, Bu. Karena aku sangat tersiksa dan sudah tak tahan, Bu," ucapku."Ya sudah, mudah-mudahan itu keputusan terbaik. Saya akan selalu mendukungmu, Lita!""Baiklah Mbak Lita silahkan ikut dengan Bu Raya. Mas Arman silahkan pulang ke rumah. Tolong Mas Arman resapi lagi tugas seorang suami. Seorang suami harus bertanggungjawab dan melindungi istrinya," ucap Pak RW.Mas Arman hanya diam. Aku pergi ke rumah Bu Raya.Aku diajak ke kamar tamu oleh Bu Raya. Rumah bagian utama sangat luas. Aku baru pertama masuk ke rumah utamanya. "Kamu tidur di sini ya, malam ini!" Ruang tidur yang luas ini, akan menjadi kamar tidurku malam ini."Ya Allah, Bu. Terima kasih, ya! Aku sangat berhutang budi padamu," sahutku pada Bu Raya."Nggak kok. Sudah tugas saya sebagai t
Sore ini aku tak berniat pulang. Aku kesal dengan Lita. Tapi sudah kuancam dia. Wanita itu sekarang banyak tingkah. Banyak menuntut, yang katanya mau diajak susah agar keinginanku tercapai. Rencananya aku ingin punya rumah, sawah, kendaraan sebelum usiaku 30 tahun.Nyatanya? Dia menuntut banyak. Minta uang belanjanya dinaikin lah, nuntut masalah baju yang banyak tambalan, serta sudah berani mendatangi tokoku, lalu sok tau memarahi Via--janda kembang pujaanku.Selain cantik, Via adalah wanita kaya. Memang umurnya di atasku, tapi dia tak terlihat tua. Mungkin karena belum punya anak juga.Baru beberapa hari ini aku menikahi Via. Dia adalah supliyer beras tokoku. Tadinya aku kenal suaminya, lama-lama kenal istrinya. Tak lama, ia berpisah dengan suaminya. Via jadi dekat denganku. Aku bagaikan siraman air hujan di tanah yang tandus baginya. Kehadiranku sangat tepat, aku selalu menghiburnya. Ia pun berterima kasih karena aku mau di dekatnya.Via memang lebih menarik dari Lita. Tapi menur
"Mmm ... Gimana ya? Ya udah nggak apa-apa kalau gitu. Tapi ... kasian kamu ya, sayang. Kontrakan itu tak layak untukmu, suamiku," ucap Via. Ia sepertinya masuk perangkapku. 'Ayolah, Via. Kau tawarkan saja rumahmu yang satu lagi,' harapku."Iya. Tak apalah. Yang penting ketika jadwalmu, aku ada di sisimu, Sayang!" balasku."Begini deh. Mending kamu ajak Lita tinggal di rumahku yang satunya. Di sana nggak terlalu jauh dari rumahku juga. Dan kamu lebih dekat ke pasar," katanya.'Kamu masuk juga dalam perangkapku, Sayang,' batinku."Jangan deh, nanti gimana anggepan keluarga suamimu. Eh, semua punya mantan suamimu, kan?" tanyaku penasaran."Nggak, Sayang. Semua sudah atas namaku. Mas Surya tiap punya aset menamainya atas namaku," katanya. Itu membuatku sangat bahagia.'Yeaaaay aku jadi orang kaya!' batinku tertawa gembira."Oh begitu. Syukurlah kalau gitu. Nggak bakal ada yang komplain nanti, ya!" ujarku."Iya, lah, Mas. Siapa yang mau komplain? Mantan suamiku sudah tak ada urusan lagi d
Aku masih takut keluar kontrakan. Takutnya Mas Arman mencariku, aku harus bersembunyi dulu, agar semua aman.[Bu, saya tak ke rumah ibu lagi yaa hari ini. Kalau ada pesanan dari saya, nanti tolong dikemas seperti biasa ya Bu. Saya bayarnya seperti biasa, belakangan.]Tak lama Bu Raya malah menelepon."Halo, Lita, kamu dimana? Saya khawatir padamu, Lit!" seru Bu Raya."Saya di kontrakan baru, Bu. Saya sudah ke pengadilan kemarin. Saya pun sudah meninggalkan rumah itu," jawabku berusaha tenang."Ya Allah, Lita. Kamu berjuang sendirian. Nanti kamu kirim alamat barumu, biar saya kirim makanan ke sana," kata Bu Raya."Lumayan jauh, Bu. Saya nggak tega nanti Bu Raya harus ke sini," jawabku padanya."Tenang aja, Lita. Bukan saya yang akan mengirimkan, paling nanti saya nyuruh ART untuk ke sana," ucap Bu Raya."Baiklah, Bu. Nanti saya kirim lokasinya di WhatsApp," jawabku."Oke , secepatnya ya! Karenasaya mau kirim makanan buatmu, saya tau kamu pasti ketakutan kalau keluar rumah, iya kan?" ta
Tak lama ada pesan lagi.[Dasar wanita tak bersyukur. Aku sudah cari cara mudah biar kita cepat kaya, kamu malah pergi.]Tak kubalas pesannya. Ia pasti mengirimkan SMS lagi nanti.[Lita, kamu kalau nggak balas keterlaluan. Aku masih suamimu.][Tau! Tapi aku tak butuh kamu, Mas. Aku sudah tak mau hidup bersamamu. Sejak menikah denganmu, aku tak punya apapun. Uang sepeserpun tak ada. Aset semua atas namamu, Mas! Apa aku harus tetap percaya padamu? Rasanya tidak deh.] Itu jawabanku atas SMS-nya .***Kutengok rekeningku. Isinya lumayan banyak, tapi aku harus transfer ke rekening Bu Raya untuk sejumlah barang yang telah kuorder.[Bu, sudah kutransfer untuk barang seminggu yang lalu, ya!][Iya, Lita. Terima kasih, ya!][Sama-sama, Bu.]Aku hampir lupa kalau hari ini jadwal sidangku. Dalam sidang perdana ini aku merasa deg-degan. Mas Arman datang bersama Bu Via. Kami duduk bersebelahan. Bu Via tidak ikut masuk, ia menunggu di luar.Mas Arman menatapku tajam dari samping, aku tau dari ekor
Sepulang dari rumah Bu Raya, aku menyusuri jalan menuju kontrakan. Tak lama ada sebuah tangan yang menarikku."Lita, ikutlah denganku! Kamu lihat dulu rumah baru kita. Aku sudah mengajukan banding, aku tak setuju dengan perceraian ini!" bentaknya seraya memegangi sebelah tanganku.Aku mencoba melepaskan genggaman tangan ini. Kurasa Mas Arman sudah keterlaluan, putusan cerai sudah keluar. Namun, memang untuk pengajuan banding masih bisa.Tak bisa kubayangkan jika banding dari Mas Arman diterima oleh hakim, dan kami tak jadi bercerai."Nggak mau, Mas. Aku lebih baik di sini saja. Aku tak mau bersamamu lagi. Sudah cukup pengalaman dulu. Semua sudah jadi kenangan, Mas!" tolakku.Aku berusaha melepaskan tangannya, tapi tetap tak bisa. Ia memasukkanku ke dalam mobil."Mas, mau kemana kita? Kamu nggak jualan? Kok malah kelayaban gini, Mas?" tanyaku yang khawatir dengan perilakunya saat ini.Mas Arman duduk di kursi belakang bersamaku. Ia terus memegangi sebelah tanganku."Lihat saja nanti. A
"Suami ibu sudah menculik mantan istrinya barusan."Bu Via melihat ke arahku. Lalu ia menemuiku."Apa benar, Mas Arman menculikmu? Tolong bilang kalau semua tidak benar! Aku akan memberimu imbalan uang yang banyak!" bisiknya padaku.Aku bingung. Aku pun tak ingin melihat Mas Arman di penjara. Walau bagaimanapun dia ayah dari anakku.Dua orang laki-laki itu akan membawanya. Lalu, Bu Via mengkodekan agar aku mencegahnya."Tunggu, Pak! Jangan bawa laki-laki itu!" sergahku.Mereka diam, aku menghampiri mereka yang akan memasuki mobil."Aku yang sengaja datang ke sini, aku tak diculik, Pak. Akulah yang ingin ikut dengannya!"Kedua polisi itu memandangku. Mereka pun saling pandang."Jadi, kami salah telah menangkapnya?" tanya salah satu polisi."Iya, Pak. Dia tak melakukan apapun padaku!""Orang yang melaporkan kasus ini berarti nanti yang akan menjadi tersangka karena mencemarkan nama baik tersangka ini," ucap salah satu Polisi.Aku jadi bingung, karena pasti Bu Raya yang melaporkannya tad
Aku menengok ke belakang, ternyata memang dia lagi--Bu Via."Eh, Raya, kenapa kamu jalan sama perempuan ini?" tanya Bu Via pada Bu Raya yang sedang makan bersamaku."Dia temanku, Via!" jawab Bu Raya."Apa? Masa temanmu tak selevel gini, Ya? Carilah teman selevel denganmu kan banyak!" ucap Bu Via. "Dia itu cuma seorang yang baru menggugat cerai suaminya karena suaminya berpaling. Lihatlah, dia tak pantas pula makan di sini!" Bu Via tetap bicara tak ada hentinya.Bu Raya yang sedang makan dengan tenang kemudian menghela napas. Ia tersenyum ke arah Bu Via."Maaf, di mata Allah semua orang memiliki level yang sama, yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Jadi, walau menurutmu status sosial adalah level, tapi menurut Tuhanmu itu enggak seperti itu," jawab Bu Raya tenang. Lalu ia meminum air putihnya.Bu Via menelan ludahnya. Ia melebarkan matanya padaku. Aku mengalihkan pandangan, berharap tak bersitatap dengannya lagi."Tak usahlah kamu menjadi jahat karena seorang laki-laki jahat itu." Bu