Sepulang dari rumah Bu Raya, aku menyusuri jalan menuju kontrakan. Tak lama ada sebuah tangan yang menarikku."Lita, ikutlah denganku! Kamu lihat dulu rumah baru kita. Aku sudah mengajukan banding, aku tak setuju dengan perceraian ini!" bentaknya seraya memegangi sebelah tanganku.Aku mencoba melepaskan genggaman tangan ini. Kurasa Mas Arman sudah keterlaluan, putusan cerai sudah keluar. Namun, memang untuk pengajuan banding masih bisa.Tak bisa kubayangkan jika banding dari Mas Arman diterima oleh hakim, dan kami tak jadi bercerai."Nggak mau, Mas. Aku lebih baik di sini saja. Aku tak mau bersamamu lagi. Sudah cukup pengalaman dulu. Semua sudah jadi kenangan, Mas!" tolakku.Aku berusaha melepaskan tangannya, tapi tetap tak bisa. Ia memasukkanku ke dalam mobil."Mas, mau kemana kita? Kamu nggak jualan? Kok malah kelayaban gini, Mas?" tanyaku yang khawatir dengan perilakunya saat ini.Mas Arman duduk di kursi belakang bersamaku. Ia terus memegangi sebelah tanganku."Lihat saja nanti. A
"Suami ibu sudah menculik mantan istrinya barusan."Bu Via melihat ke arahku. Lalu ia menemuiku."Apa benar, Mas Arman menculikmu? Tolong bilang kalau semua tidak benar! Aku akan memberimu imbalan uang yang banyak!" bisiknya padaku.Aku bingung. Aku pun tak ingin melihat Mas Arman di penjara. Walau bagaimanapun dia ayah dari anakku.Dua orang laki-laki itu akan membawanya. Lalu, Bu Via mengkodekan agar aku mencegahnya."Tunggu, Pak! Jangan bawa laki-laki itu!" sergahku.Mereka diam, aku menghampiri mereka yang akan memasuki mobil."Aku yang sengaja datang ke sini, aku tak diculik, Pak. Akulah yang ingin ikut dengannya!"Kedua polisi itu memandangku. Mereka pun saling pandang."Jadi, kami salah telah menangkapnya?" tanya salah satu polisi."Iya, Pak. Dia tak melakukan apapun padaku!""Orang yang melaporkan kasus ini berarti nanti yang akan menjadi tersangka karena mencemarkan nama baik tersangka ini," ucap salah satu Polisi.Aku jadi bingung, karena pasti Bu Raya yang melaporkannya tad
Aku menengok ke belakang, ternyata memang dia lagi--Bu Via."Eh, Raya, kenapa kamu jalan sama perempuan ini?" tanya Bu Via pada Bu Raya yang sedang makan bersamaku."Dia temanku, Via!" jawab Bu Raya."Apa? Masa temanmu tak selevel gini, Ya? Carilah teman selevel denganmu kan banyak!" ucap Bu Via. "Dia itu cuma seorang yang baru menggugat cerai suaminya karena suaminya berpaling. Lihatlah, dia tak pantas pula makan di sini!" Bu Via tetap bicara tak ada hentinya.Bu Raya yang sedang makan dengan tenang kemudian menghela napas. Ia tersenyum ke arah Bu Via."Maaf, di mata Allah semua orang memiliki level yang sama, yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Jadi, walau menurutmu status sosial adalah level, tapi menurut Tuhanmu itu enggak seperti itu," jawab Bu Raya tenang. Lalu ia meminum air putihnya.Bu Via menelan ludahnya. Ia melebarkan matanya padaku. Aku mengalihkan pandangan, berharap tak bersitatap dengannya lagi."Tak usahlah kamu menjadi jahat karena seorang laki-laki jahat itu." Bu
"Ibu sudah kangen banget sama kamu, Mbak!" katanya."Kenapa emang?" "Ibu memaksa ingin ke Bogor. Katanya nanti kepengen sambil jalan-jalan juga," katanya.Aku bingung. Mereka belum tau mengenai perceraian ini. Apa aku harus memberitahu sekarang, atau nanti ketika mereka datang?"Mbak, jawab dong! Jangan diem aja!" ucap Zul."Oh ... iya Zul. Ya sudah kalian ke sini saja. Aku tunggu ya!" Aku mengizinkan. Biarlah nanti aku katakan yang sebenarnya ketika mereka datang."Baiklah, Mbak. Akhirnya Mbakku ngomong. Ya udah, nanti mbak siapkan suguhan spesial buat kami, ya!" katanya."Baiklah, insya Allah," jawabku.Lalu aku berencana belanja hari ini. Di kontrakanku masih minim barang juga. Aku harus berbelanja, agar mereka melihatku hidup senang dan sehat sehingga nanti Ibu tidak menyuruhku pulang.Aku khawatir jika aku masih terlihat susah, mereka sedih dan khawatir. Padahal wajah sudah lebih cantik dan badanku sudah lebih berisi.Aku bersiap-siap untuk ke pasar. Lalu, Bu Raya sudah mengirim
'Siapa lagi yang mengetuk pintu?' batinku.Segera kubuka pintu, ternyata tukang ojek langganan Bu Raya."Tadi pagi kan udah, Pak. Bapak kirim makanan," ujarku."Tapi saya disuruh kirim lagi ini." Abang ojeg membawakan aneka cemilan dan makanan serta sebungkus bakso."Wah ada bakso segala. Terima kasih, ya, Pak!" ucapku dari depan pintu masuk.Irma dan Rika masih ngobrol di kontrakan Irma. Mereka pura-pura mengobrol sambil melirik ke arahku seolah ingin tau apa yang dibawakan tukang ojeg itu."Sama-sama, Mbak. Saya permisi dulu."Setelah tukang ojeg pergi, terdengar lagi sindiran dari tetangga julid."Baru juga tadi pagi dikirim, udah ada lagi. Seneng banget ih, jadi nggak usah masak. Eh, ngomong-ngomong laki-laki mana ya yang doyan janda muda yang kismin?""Banyaaak ... yang penting bisa melayani sepenuh hati," jawab Rika."Ih, mudah-mudahan aja bukan laki-laki beristri. Bisa-bisa nanti kontrakan kita rame, banyak wartawan yang datang ke sini," balas Irma.Mereka tak jera juga. Entah
"Tuh kan Bu? Benar kataku kemarin, tetanggaan sama janda bakal rame terus. Ini baru awal loh, lihat saja nanti. Pasti mantan suaminya datang lagi," ucap Irma merasa benar."Iya, Mbak Irma, kamu bener. Duh, aku jadi takut nih, nanti bakal ada keributan lagi di sini," balas Rika.Bu Ani langsung menatap kedua tetangga julid itu. Mereka diam dan mingkem."Sudah jangan bergosip! Kalian harusnya menghibur dan membesarkan hati teh Lita. Bukan malah membuatnya semakin takut," ucap Bu Ani.Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan kasar. Setelah itu aku tersenyum ke arah Bu Ani dan kedua manusia julid itu."Nggak apa-apa, Bu. Saya minta maaf jika memang kejadian tadi mengganggu semua. Tapi memang semua bukan mau saya, dan di luar dugaan saya pastinya. Lain kali saya akan lebih hati-hati, mengintip dulu siapa yang datang," jawabku.Bu Ani mengangguk, sedang Rika dan Irma saling pandang, mereka menatapku sinis. Kubalas dengan melebarkan kedua mataku."Hati-hati, Teh Lita. Ibu takut kalau
Dewi sudah menungguku di luar. Ia mengajakku menjauhi rumah Bu Raya.Saat berjalan bersama Dewi, tanganku masuk ke dalam tas. Aku menyiapkan ponselku untuk merekam percakapan kami nanti.Kami duduk di pinggir jalan, atau bisa dikatakan sebagai Halte. Karena arah pulang kami sama-sama keluar dari gang rumah Bu Raya. Tak jauh dari gang, ada halte pemberhentian angkutan umum dan minibus dari Baranangsiang menuju Parung."Kamu ngadu apa sama Bu Raya?" tanyanya dengan melebarkan kedua matanya. Ia berani menanyaiku setelah jauh dari rumah Bu Raya."Aku hanya mengatakan sesuatu yang tidak wajar. Kamu telah memasukkan semua poin pada akun dan para downlinemu, iya kan? Kamu sengaja melakukan kecurangan untuk keuntungan sendiri," jelasku. Aku tak takut padanya, makanya aku berani mengatakan yang sebenarnya. Jika ia terus-menerus melakukannya, bisa menimbulkan kerugian pada karyawan lain, bahkan pada Bu Raya juga. "Tapi aku nggak mencuri uang. Hanya poin. Paling bonusnya nggak seberapa buat Bu
Aku membuka mata. Lalu Dewi bangkit dari duduknya, ia akan meninggalkanku."Aku hanya bisa berterima kasih padamu, Dewi. Semakin kamu bicara yang tidak-tidak, semakin aku berdoa untuk kebaikanku ke depan," jawabku dengan tak ada beban di pundak ini."Udah, aku pergi dulu. Terserahlah kamu mau bicara apa," katanya sambil berlalu.Aku ditinggalkan Dewi. Ia pulang duluan, yang pasti aku sudah mengingatkannya. Dia lah yang menentukan nanti akan ikuti perkataanku, atau tetap pada perilakunya selama ini.Sambil memandangi mobil, angkutan dan motor yang berlalu lalang, aku rasakan betapa hidup sangat berharga. Allah memberikan kita berbagai kenikmatan, namun kita sendiri yang sering lalai atas nikmat itu.Mulai saat ini, aku akan selalu mensyukuri setiap hal apapun yang terjadi dalam hidup ini. Mencoba ikhlas akan segala ketentuan yang Allah berikan.Lalu kembali ke kontrakan, rencana membersihkannya karena besok Ibu, adik dan Iparku akan datang berkunjung.***Mereka datang. Setelah diberik