"Tuh kan Bu? Benar kataku kemarin, tetanggaan sama janda bakal rame terus. Ini baru awal loh, lihat saja nanti. Pasti mantan suaminya datang lagi," ucap Irma merasa benar."Iya, Mbak Irma, kamu bener. Duh, aku jadi takut nih, nanti bakal ada keributan lagi di sini," balas Rika.Bu Ani langsung menatap kedua tetangga julid itu. Mereka diam dan mingkem."Sudah jangan bergosip! Kalian harusnya menghibur dan membesarkan hati teh Lita. Bukan malah membuatnya semakin takut," ucap Bu Ani.Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan kasar. Setelah itu aku tersenyum ke arah Bu Ani dan kedua manusia julid itu."Nggak apa-apa, Bu. Saya minta maaf jika memang kejadian tadi mengganggu semua. Tapi memang semua bukan mau saya, dan di luar dugaan saya pastinya. Lain kali saya akan lebih hati-hati, mengintip dulu siapa yang datang," jawabku.Bu Ani mengangguk, sedang Rika dan Irma saling pandang, mereka menatapku sinis. Kubalas dengan melebarkan kedua mataku."Hati-hati, Teh Lita. Ibu takut kalau
Dewi sudah menungguku di luar. Ia mengajakku menjauhi rumah Bu Raya.Saat berjalan bersama Dewi, tanganku masuk ke dalam tas. Aku menyiapkan ponselku untuk merekam percakapan kami nanti.Kami duduk di pinggir jalan, atau bisa dikatakan sebagai Halte. Karena arah pulang kami sama-sama keluar dari gang rumah Bu Raya. Tak jauh dari gang, ada halte pemberhentian angkutan umum dan minibus dari Baranangsiang menuju Parung."Kamu ngadu apa sama Bu Raya?" tanyanya dengan melebarkan kedua matanya. Ia berani menanyaiku setelah jauh dari rumah Bu Raya."Aku hanya mengatakan sesuatu yang tidak wajar. Kamu telah memasukkan semua poin pada akun dan para downlinemu, iya kan? Kamu sengaja melakukan kecurangan untuk keuntungan sendiri," jelasku. Aku tak takut padanya, makanya aku berani mengatakan yang sebenarnya. Jika ia terus-menerus melakukannya, bisa menimbulkan kerugian pada karyawan lain, bahkan pada Bu Raya juga. "Tapi aku nggak mencuri uang. Hanya poin. Paling bonusnya nggak seberapa buat Bu
Aku membuka mata. Lalu Dewi bangkit dari duduknya, ia akan meninggalkanku."Aku hanya bisa berterima kasih padamu, Dewi. Semakin kamu bicara yang tidak-tidak, semakin aku berdoa untuk kebaikanku ke depan," jawabku dengan tak ada beban di pundak ini."Udah, aku pergi dulu. Terserahlah kamu mau bicara apa," katanya sambil berlalu.Aku ditinggalkan Dewi. Ia pulang duluan, yang pasti aku sudah mengingatkannya. Dia lah yang menentukan nanti akan ikuti perkataanku, atau tetap pada perilakunya selama ini.Sambil memandangi mobil, angkutan dan motor yang berlalu lalang, aku rasakan betapa hidup sangat berharga. Allah memberikan kita berbagai kenikmatan, namun kita sendiri yang sering lalai atas nikmat itu.Mulai saat ini, aku akan selalu mensyukuri setiap hal apapun yang terjadi dalam hidup ini. Mencoba ikhlas akan segala ketentuan yang Allah berikan.Lalu kembali ke kontrakan, rencana membersihkannya karena besok Ibu, adik dan Iparku akan datang berkunjung.***Mereka datang. Setelah diberik
"Ibu, Zul, dan Gendis. Sebelumnya aku mohon maaf tak pernah menceritakan keadaan keluarga kecilku pada kalian. Saat ini, aku sedang hamil masuk usia lima bulan. Akupun sudah bercerai dengan Mas Arman. Ada alasan yang tak dapat kuceritakan pada kalian. Aku memohon doa dari kalian untuk kebaikanku ke depan."Kutahan agar tidak menangis. Namun, air mata ini tak kuasa keluar. Menganak pinak, sehingga semua melihat keadaanku yang sebenarnya.Keadaanku yang pura-pura tegar, padahal rapuh. Pura-pura bahagia, padahal menderita. Tapi takkan kuungkapkan aib mantan suamiku itu, biar menjadi urusan kami saja.Kulihat reaksi ibu yang langsung memelukku. Memeluk erat anaknya."Nduk, kalau memang kamu menderita, ibu setuju kau lepaskan saja semua. Pernikahan dibangun untuk bahagia bersama. Untuk apa diteruskan jika salah satunya menderita?" Ibu mengatakannya sambil terus memelukku erat."Iya, Bu. Terima kasih, dukungannya. Aku sangat bahagia dengan perceraian ini," ucapku yang memang merasakan kebah
"Maaf, Bu. Aku masih kerasan tinggal di sini," ucapku pada ibu."Ya sudah, kalau itu maumu. Mudah-mudahan kamu baik-baik saja. Nanti ibu bakal datang pas kamu lahiran ya, Nduk!" "Baik, Bu."Setelah makan, kami keliling lagi. Mampir ke sebuah taman di Kota Bogor. Kalau malam banyak sekali yang berkunjung, apalagi kalau malam Minggu.Di sini aneka jajanan pedagang kaki lima sangat banyak. Kami memilih untuk berfoto sama-sama. Selain itu jajan kacang Bogor hangat untuk dinikmati dengan secangkir kopi.Setelah puas jalan-jalan, kami pulang ke kontrakan. Aku lumayan capek. Kusiapkan terlebih dahulu kebutuhan mereka untuk tidur.Ibu, aku dan Gendis tidur di kamar, sedangkan Zul tidur di ruang tamu pakai karpet."Maaf ya, Zul kamu harus tidur di karpet," ucapku. "Kami tidur duluan, ya! Kamu silahkan kalau mau bikin kopi lagi. Tersedia kopi, susu, gula. Tinggal bikin, ya, Zul!" imbuhku sebelum tidur.Tak lama ada yang mengetuk pintu, aku mendengarnya. Ketika aku mengambil kerudung, memakainy
Kami mengobrol di tempat minum es di depan lapangan bola. Sambil memandangi lapangan bola, kami duduk berdampingan. Bu Raya memberikan kesempatan untukku berbicara setelah meminum es yang dipesan."Begini, Bu Raya, Mas Arman sudah dua kali mengganggu saya di kontrakan. Pertama, waktu saya sendiri di kontrakan. Ia hampir mendekati saya lagi, Bu. Lalu saya bisa kabur, akhirnya dia pergi. Yang kedua semalam, Mas Arman datang, yang membuka adik saya Zul. Ketika dibuka, Zul langsung memukul Mas Arman. Mereka berkelahi, akhirnya ia bisa diusir. Keduanya sampai membuat keributan. Bu Ani--pemilik kontrakan datang, ia khawatir padaku," ceritaku pada Bu Raya.Bu Raya mendengarkan dengan seksama. "Menurut saya, Arman bakal datang lagi. Kamu sudah tak aman berada di situ, Lita!" "Ya, Bu. Ibu saya berpikir demikian. Ia mengajak untuk pulang kampung saja. Tapi, saya belum sukses dan belum beres perceraian kemarin. Mas Arman mengajukan banding.""Ya sudah, kamu di Bogor saja dulu. Setidaknya seben
Bu Raya tersenyum, lalu tangannya mengibas seolah ia tak ingin melanjutkan perkataannya. Aku pun tak bertanya lagi padanya.Kami menuju kontrakan lagi."Kalau Bu Raya mau pulang, silahkan, Bu. Takutnya anak ibu butuh ibu.""Nggak, Lita. Saya mau bicara pada ibumu dulu. Agar ia yakin.""Baiklah, Bu."Setibanya di kontrakan, aku dan Bu Raya bergabung dengan ibu dan adik-adikku. Kami mengobrol lagi. Kusiapkan minum untuk Bu Raya."Bu, diminum, ya!" pintaku."Terima kasih, Lita.""Ayo Bu Raya. Dimakan oleh-oleh dari kampung kami. Biasalah makanan sederhana kalau dari kampung," sahut Ibu."Sederhana tapi enak pastinya." Bu Raya menimpali sembari memakan cantel buatan Ibu."Iya, buatan ibu memang enak." Aku menambahkan.Kami melanjutkan berbincang-bincang. "Bu, Lita sudah memutuskan untuk tetap di sini. Lita akan tinggal di rumah Bu Raya nanti biar Bang Arman segan kalau mendatangiku." Aku membuka suara saat semua sudah tenang.Ibu memandang Bu Raya. Ia pun memandangku lagi."Kamu yakin?"
Beberapa tetangga berbisik saat aku menuruni mobil bak. Disambut oleh Bu Raya. Lokasi rumah Bu Raya bukan perumahan, rumah besarnya berada di antara rumah penduduk biasa. Banyak kontrakan juga di sana, termasuk kontrakanku dulu. "Wah, Mbak Lita balik lagi ke sini. Tapi, malah ke rumah Bu Raya. Beruntung sekali ya!" ucap tetangga yang aku tak tau namanya. Aku hanya kenal muka saja, karena aku tak pernah berkomunikasi langsung dengan mereka selama ini."Bu Raya harus hati-hati, ada janda kembang di rumahnya. Kasian kalau nanti suaminya tergoda," ucap ibu yang lainnya.Aku menoleh ke arah mereka. Kupandangi wajah mereka satu-persatu tanpa bicara. Setelah itu, aku masuk dan membantu Pak Tono membawa barang bawaanku ke dalam.Bu Raya sudah menanti bersama Alma dan Pak Fadhil. Suami Bu Raya sudah ada di rumah, biasanya beliau sibuk, kalau pulang larut malam.Mereka membantu membawakan barangku."Bu Raya, Pak Fadhil, nggak usah bantuin. Biar sama saya saja." Aku berusaha mengambil bawaan y