Aku membuka mata. Lalu Dewi bangkit dari duduknya, ia akan meninggalkanku."Aku hanya bisa berterima kasih padamu, Dewi. Semakin kamu bicara yang tidak-tidak, semakin aku berdoa untuk kebaikanku ke depan," jawabku dengan tak ada beban di pundak ini."Udah, aku pergi dulu. Terserahlah kamu mau bicara apa," katanya sambil berlalu.Aku ditinggalkan Dewi. Ia pulang duluan, yang pasti aku sudah mengingatkannya. Dia lah yang menentukan nanti akan ikuti perkataanku, atau tetap pada perilakunya selama ini.Sambil memandangi mobil, angkutan dan motor yang berlalu lalang, aku rasakan betapa hidup sangat berharga. Allah memberikan kita berbagai kenikmatan, namun kita sendiri yang sering lalai atas nikmat itu.Mulai saat ini, aku akan selalu mensyukuri setiap hal apapun yang terjadi dalam hidup ini. Mencoba ikhlas akan segala ketentuan yang Allah berikan.Lalu kembali ke kontrakan, rencana membersihkannya karena besok Ibu, adik dan Iparku akan datang berkunjung.***Mereka datang. Setelah diberik
"Ibu, Zul, dan Gendis. Sebelumnya aku mohon maaf tak pernah menceritakan keadaan keluarga kecilku pada kalian. Saat ini, aku sedang hamil masuk usia lima bulan. Akupun sudah bercerai dengan Mas Arman. Ada alasan yang tak dapat kuceritakan pada kalian. Aku memohon doa dari kalian untuk kebaikanku ke depan."Kutahan agar tidak menangis. Namun, air mata ini tak kuasa keluar. Menganak pinak, sehingga semua melihat keadaanku yang sebenarnya.Keadaanku yang pura-pura tegar, padahal rapuh. Pura-pura bahagia, padahal menderita. Tapi takkan kuungkapkan aib mantan suamiku itu, biar menjadi urusan kami saja.Kulihat reaksi ibu yang langsung memelukku. Memeluk erat anaknya."Nduk, kalau memang kamu menderita, ibu setuju kau lepaskan saja semua. Pernikahan dibangun untuk bahagia bersama. Untuk apa diteruskan jika salah satunya menderita?" Ibu mengatakannya sambil terus memelukku erat."Iya, Bu. Terima kasih, dukungannya. Aku sangat bahagia dengan perceraian ini," ucapku yang memang merasakan kebah
"Maaf, Bu. Aku masih kerasan tinggal di sini," ucapku pada ibu."Ya sudah, kalau itu maumu. Mudah-mudahan kamu baik-baik saja. Nanti ibu bakal datang pas kamu lahiran ya, Nduk!" "Baik, Bu."Setelah makan, kami keliling lagi. Mampir ke sebuah taman di Kota Bogor. Kalau malam banyak sekali yang berkunjung, apalagi kalau malam Minggu.Di sini aneka jajanan pedagang kaki lima sangat banyak. Kami memilih untuk berfoto sama-sama. Selain itu jajan kacang Bogor hangat untuk dinikmati dengan secangkir kopi.Setelah puas jalan-jalan, kami pulang ke kontrakan. Aku lumayan capek. Kusiapkan terlebih dahulu kebutuhan mereka untuk tidur.Ibu, aku dan Gendis tidur di kamar, sedangkan Zul tidur di ruang tamu pakai karpet."Maaf ya, Zul kamu harus tidur di karpet," ucapku. "Kami tidur duluan, ya! Kamu silahkan kalau mau bikin kopi lagi. Tersedia kopi, susu, gula. Tinggal bikin, ya, Zul!" imbuhku sebelum tidur.Tak lama ada yang mengetuk pintu, aku mendengarnya. Ketika aku mengambil kerudung, memakainy
Kami mengobrol di tempat minum es di depan lapangan bola. Sambil memandangi lapangan bola, kami duduk berdampingan. Bu Raya memberikan kesempatan untukku berbicara setelah meminum es yang dipesan."Begini, Bu Raya, Mas Arman sudah dua kali mengganggu saya di kontrakan. Pertama, waktu saya sendiri di kontrakan. Ia hampir mendekati saya lagi, Bu. Lalu saya bisa kabur, akhirnya dia pergi. Yang kedua semalam, Mas Arman datang, yang membuka adik saya Zul. Ketika dibuka, Zul langsung memukul Mas Arman. Mereka berkelahi, akhirnya ia bisa diusir. Keduanya sampai membuat keributan. Bu Ani--pemilik kontrakan datang, ia khawatir padaku," ceritaku pada Bu Raya.Bu Raya mendengarkan dengan seksama. "Menurut saya, Arman bakal datang lagi. Kamu sudah tak aman berada di situ, Lita!" "Ya, Bu. Ibu saya berpikir demikian. Ia mengajak untuk pulang kampung saja. Tapi, saya belum sukses dan belum beres perceraian kemarin. Mas Arman mengajukan banding.""Ya sudah, kamu di Bogor saja dulu. Setidaknya seben
Bu Raya tersenyum, lalu tangannya mengibas seolah ia tak ingin melanjutkan perkataannya. Aku pun tak bertanya lagi padanya.Kami menuju kontrakan lagi."Kalau Bu Raya mau pulang, silahkan, Bu. Takutnya anak ibu butuh ibu.""Nggak, Lita. Saya mau bicara pada ibumu dulu. Agar ia yakin.""Baiklah, Bu."Setibanya di kontrakan, aku dan Bu Raya bergabung dengan ibu dan adik-adikku. Kami mengobrol lagi. Kusiapkan minum untuk Bu Raya."Bu, diminum, ya!" pintaku."Terima kasih, Lita.""Ayo Bu Raya. Dimakan oleh-oleh dari kampung kami. Biasalah makanan sederhana kalau dari kampung," sahut Ibu."Sederhana tapi enak pastinya." Bu Raya menimpali sembari memakan cantel buatan Ibu."Iya, buatan ibu memang enak." Aku menambahkan.Kami melanjutkan berbincang-bincang. "Bu, Lita sudah memutuskan untuk tetap di sini. Lita akan tinggal di rumah Bu Raya nanti biar Bang Arman segan kalau mendatangiku." Aku membuka suara saat semua sudah tenang.Ibu memandang Bu Raya. Ia pun memandangku lagi."Kamu yakin?"
Beberapa tetangga berbisik saat aku menuruni mobil bak. Disambut oleh Bu Raya. Lokasi rumah Bu Raya bukan perumahan, rumah besarnya berada di antara rumah penduduk biasa. Banyak kontrakan juga di sana, termasuk kontrakanku dulu. "Wah, Mbak Lita balik lagi ke sini. Tapi, malah ke rumah Bu Raya. Beruntung sekali ya!" ucap tetangga yang aku tak tau namanya. Aku hanya kenal muka saja, karena aku tak pernah berkomunikasi langsung dengan mereka selama ini."Bu Raya harus hati-hati, ada janda kembang di rumahnya. Kasian kalau nanti suaminya tergoda," ucap ibu yang lainnya.Aku menoleh ke arah mereka. Kupandangi wajah mereka satu-persatu tanpa bicara. Setelah itu, aku masuk dan membantu Pak Tono membawa barang bawaanku ke dalam.Bu Raya sudah menanti bersama Alma dan Pak Fadhil. Suami Bu Raya sudah ada di rumah, biasanya beliau sibuk, kalau pulang larut malam.Mereka membantu membawakan barangku."Bu Raya, Pak Fadhil, nggak usah bantuin. Biar sama saya saja." Aku berusaha mengambil bawaan y
Dewi diam. Ia menunduk."Ya sudah, silahkan berdoa dulu, baru dimulai. Untuk yang belum salat Dhuha, silahkan salat dulu," usul Bu Raya."Baik, Bu.""Oya, untuk hari ini, bagian input data Lita, ya! Kita giliran, ya! Dewi kamu bagian pengemasan saja.""Baiklah, Bu," jawabku.Dewi diam saja, tapi ia manut. Ia bagian pengemasan.Kami bekerja dengan baik. Alhamdulillah pesananku juga semakin banyak. Downline di seluruh Indonesia, mereka bisa berbelanja langsung di toko terdekat setelah mendapatkan nomor agen.Saat jam istirahat, Dewi menghadap Bu Raya. Mbak Nur dan Eka heran ada kulkas di ruang karyawan. Lalu, mereka yang biasa salat di kamarku, sekarang tak bisa dibuka. Mereka harus salat di ruang sebelahnya, yang sering dipakai Bu Raya untuk mengontrol pekerjaan."Apa yang sebenarnya terjadi, Lita? Apa kamu tau?" tanya Mbak Nur."Aku sekarang tinggal di sini, di rumah ini. Tapi tenang, aku sewa kok, nggak gratis," terangku."Apa? Jadi yang menggunakan ruangan yang dikunci itu? Ruangan
Aku tak mau kelihatan olehnya. Ia terlihat sendiri, tapi ternyata ia menunggu Bu Via istrinya. Namun, kenapa orang kaya malah periksa ke sini? Oh iya, mungkin karena jadwal dokter kandungan ada di sini.Aku tau sifat pelitnya Mas Arman. Dia nggak mau rugi bayar mahal di rumah sakit. Jadi dia bawa istrinya ke bidan. Harusnya Bu Via bisa protes sebagai istri. Uangnya kan uang dia, bukan uang Mas Arman.Mereka tadinya berjalan ke arahku, beruntung istrinya mencolek suaminya. Jadinya mereka berbalik arah, tak sempat melihatku.Aku buru-buru lari keluar klinik bidan Ayu ini. Setelah dirasa sudah tak terlihat, aku langsung naik angkutan umum untuk pulang.Setelah turun dari angkutan umum, di trotoar, ada penjual buah. Aku membeli 2 kilogram jeruk. Rencananya akan kuberikan pada Bu Raya sekilo, untuk aku dan teman-teman kerja sekilo.Saat beli buah, bertemu dengan Bu Ani."Eh, Teh Lita dari mana? Sendirian aja?" tanyanya. Bu Ani membawa anaknya yang berumur sekitar tujuh tahun."Dari klinik
"Iya, Dek. Terima kasih, ya!" jawabnya.Pada akhirnya Mas Fadhil sembuh setelah pengobatan selama setahun. Dari sana, ia mulai semangat mencari pekerjaan lagi. Aku memotivasinya terus, sehingga ia mendapat pekerjaan lagi."Terima kasih, Dek, atas semangatmu selama ini," ucapnya sembari tersenyum bahagia."Sama-sama, Mas. Itu udah kewajibanku sebagai istri," jawabku pelan.***Hari ini, Lita dan Feri berencana mengunjugi pesantren tahfidz. Mereka akan mendonasikan rezeki berupa Al Qur'an dan makanan untuk anak-anak.Mereka sangat senang atas kedatangan donatur. Biasanya kami memang membuka peluang untuk para donatur yang mau berdonasi.Anak-anak bersyukur atas nikmat Allah karena mereka bisa mendapatkan berbagai nikmat, salah satunya bisa membaca Al Qur'an dan makan enak. Memang kalau sesehari, menunya makanan rumah biasa. Namun mereka senang ketika ada donatur yang membawakan makanan favorit anak-anak."Lita, Feri terima kasih atas dukungan kalian. Tau nggak Lit, Feri ini donatur tet
Bu RayaAku sangat senang dengan pernikahan Feri dan Lita. Mereka berdua sangat cocok. Aku tak sembarangan memilihkan Feri calon istri.Sebelumnya aku sudah memperdalam perkenalanku dengan Lita. Ia wanita yang baik, tulus dan ikhlas menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga berpengetahuan luas walau dari kampung serta mau belajar. Buktinya bisnisnya berkembang dengan cepat. Aku terpesona dengan kegigihannya berusaha.Sementara adikku Feri seorang laki-laki yang mencintai istrinya. Ia sempat terpikir untuk tak menikah lagi dengan wanita selain Istrinya. Namun menurutku ia harus mencari pendamping lagi karena masih muda dan untuk mendapatkan keturunan.Setelah merayu, memberikan dalil serta bukti kata-kata dari mendiang istrinya--Rani untuknya, ia pun mau menuruti perkataanku.Aku bilang wanita ini mungkin pendidikannya tak setinggi kamu, tapi ada poin penting lain dari dia yaitu attitude atau sikapnya."Jika benar demikian, aku akan ikuti, Kak," katanya saat itu.Sekaran
Hari ini kami mengunjungi pesantren tahfidz milik Kak Raya. Mas Feri dan aku rencananya akan mewakafkan sejumlah Al Qur'an untuk pesantren ini. Karena pahala dari wakaf ini akan terus mengalir.Apalagi jika Al Qur'an ini dibaca terus oleh para penghafalnya. Luar biasa pahalanya mengalir bagi kami.Selain itu, kami bawakan juga bahan makanan untuk menambah energi mereka dalam menghafal. Anak-anak harus didukung juga oleh makanan yang bergizi agar hafalan mereka terjaga dan meningkat.Saat di sana, kami berdiskusi bersama anak-anak yang sudah berada di sana selama beberapa bulan ini."Kami sangat terbantu dengan pesantren ini. Terima kasih pada Pak Fadhil dan Bu Raya sebagai pemilik pondok pesantren ini serta para donatur seperti Pak Feri dan Bu Lita. Doakan kami semoga Istiqomah dalam menghafal," ucap Yudi. Ia merupakan penghuni pesantren paling besar diantara yang lain. "Sama-sama, Yudi. Semoga Yudi segera menjadi seorang hafidz. Sudah tinggal berapa juz lagi yang belum dihafal?" ta
'Benarkah Mas Feri paham dengan isi hatiku?'Semoga saja ia paham dan selalu berbuat baik padaku.***Tak terasa pernikahan kami sudah berjalan satu tahun. Farhan pun sudah berumur setahun lebih.Mas Feri laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Alhamdulillah Allah berikan suami yang baik setelah ujian yang menimpaku.Aku dan Mas Feri sengaja menunda dulu keinginan kami untuk punya anak. Kami membesarkan Yusuf terlebih dahulu. Ia juga sungguh menggemaskan."Dek, kamu makan dulu sana. Biar aku yang jagain Yusuf, ya!" Saat Mas Feri pulang kerja, lalu sudah mandi, ia menyuruhku makan duluan."Kita makan barengan aja, Mas. Biar Yusuf aku yang gendong," ucapku."Nggak, Dek. Yusuf biar aku saya yang pegang dulu. Aku tau kamu seharian sudah berjibaku dengan pekerjaan rumah. Aku hanya membantu mengasuh Yusuf saja," katanya.Memang awalnya kami memakai asisten rumah tangga. Tapi, ternyata ia tidak jujur. Hingga aku memutuskan mengerjakan semua sendiri. Alhamdulillah aku bisa melakukannya. Mu
"Betul. Aku mengapresiasi kejujuranmu kemarin. Kamu sudah berani bercerita padaku. Terima kasih ya, Dek!""Sama-sama, Mas. Aku pun masih belajar. Tolong ingatkan aku jika salah ya, Mas!" ucapku."Iya, Dek. Aku pun, tolong ingatkan aku. Karena pernikahan tak hanya hal yang manis, yang pahit pun pasti kan hadir. Komitmen yang kuatlah yang akan membuatnya bertahan.""Semoga aku bisa memegang komitmen itu ya, Mas!""Insya Allah, Dek. Kita sama-sama belajar ya!"Saat kami sudah saling berjanji, tak lama Mas Andi meneleponku. "Mas, ini Mas Andi meneleponku.""Kamu belum ganti nomor, Dek?""Belum, Mas. Kan kita di rumah terus, Mas," ucapku."Ya sudah, aku yang mengangkat saja."Aku takut Mas Feri marah-marah pada Mas Andi."Halo Andi, ada apa ya?" Aku tak mendengar jawaban Mas Andi. Hanya perkataan Mas Feri yang kudengar."Aku sudah tau mengenai masa lalu kamu dan istriku. Jadi, kumohon kamu tak usah menghubunginya lagi. Dia istriku, takkan kubiarkan bila diganggu oleh laki-laki lain." Per
Aku melihat siapa yang memanggilku, Alhamdulillah aman. Ternyata dari Zul. Ada apa ya? Segera kuangkat teleponnya.Mas Feri beranjak ke luar kamar, mungkin ia tau aku harus mengangkat telepon ini."Assalamualaikum. Mbak, gimana kabarnya?""Baik, Zul. Alhamdulillah. Ada apa Zul? Mbak kaget tiba-tiba kamu menelepon gini," jawabku."Aku cuma mau mengabarkan sesuatu padamu, Mbak.""Ada apa, Zul?""Aku mendengar, kalau seluruh aset Mas Arman habis," ucap Zul."Tau dari mana kamu, Zul?""Semua orang membicarakan Arman dan keluarganya di sini. Trus, sekarang Mas Arman mendekam di jeruji besi, karena banyak yang melaporkan atas kasus penipuan dan penggelapan uang.""Astaghfirullah. Mas Arman tak pernah puas mengumpulkan harta. Padahal hartanya sudah banyak kemarin.""Ya Mbak, yang melaporkan termasuk mantan istrinya juga, Bu Via," katanya."Ya Allah, aku turut prihatin juga dengan keadaan Mas Arman. Mudah-mudahan dia diberi hidayah Allah ya Zul.""Nggak tau deh. Aku sih seneng aja liatnya. Be
"Mau, boleh!" Mas Feri membuka mulutnya, kusuapkan makananku."Emmm ... enak juga yang ini," katanya. "Gurih banget ya, Dek! Cocok buat ibu menyusui," katanya ."Iya." Lalu aku menyuapinya kembali tak mau kalah."Cie kalian romantis banget." Kak Raya menanggapi.Lalu, Kak Fadhil pun menyuapi istrinya. Kak Fadhil tak segan mengadaptasi apa yang dilakukan adiknya. Kak Raya semringah. Alma juga terbahak melihat orang tua yang saling menyuapi."Aku disuapi juga dong, Pa!" pinta Alma."Boleh, sebentar." Kak Fadhil mengambilkan makanan untuk Alma. Alma senang ia disuapi papanya.Acara makan kami sangat menyenangkan. Lalu ada laki-laki menyapa Mas Feri. Ketika aku menoleh ke sumber suara, orang itu adalah Andi."Eh, Andi lagi ngapain di sini?" tanya Mas Feri pada Andi yang sedang berdua dengan seorang wanita."Habis makan, Pak," jawabnya sambil melirik kearahku. "Maaf Pak saya nggak bisa ikut ke nikahan bapak kemarin."Aku bingung kenapa mereka saling kenal? Tapi aku diam saja untuk menutu
Ternyata Bu Raya dan Keluarga sedang jalan-jalan juga. Dari situ kami memutuskan makan bersama di salah satu restoran."Alma mau makan di restoran korea aja," usulnya."Gimana yang lain? Mau?" tanya Bu Raya."Boleh," jawabku. Aku tak pernah makan ala Korea sebenarnya, tapi tak apalah kucoba untuk memakannya."Kamu nggak apa-apa, beneran?" tanya Mas Feri. Mungkin ia melihat gelagatku yang tak nyaman saat mendengar masakan Korea tadi."Nggak apa-apa, Mas. Aku memang belum pernah coba, makanya aku penasaran. Boleh, ya?" "Oke kalau gitu. Yuk, Kak!"Kami semua menuju salah satu restoran Korea.Aku memilih menu yang sama dengan Mas Feri saja yaitu Bibimbowl. Tapi kata Mas Feri, mending beda saja, jadi bisa merasakan satu sama lain.Kalau suka bisa pesan lagi nantinya. Aku pun dipilihkan jenis makanan yaitu Korean BBQ. Aku manut saja, yang penting bisa makan.Saat menyapa Bu Raya sekarang, aku harus menggunakan kata Kak Raya, atau kakak saja. Mas Feri yang menyarankan itu."Tunggu saja pesa
Kutelusuri rumah Mas Feri. Aku sampai di ruang makan, ia sedang mempersiapkan makan siang untuk kami."Mas, sedang apa?" tanyaku karena bingung mau bertanya apa lagi."Sedang menunggumu, Dek. Hehe." Dia bercanda padaku."Gombal ih." Suka sih digombalin."Sudah kusiapkan makan siang buat kita berdua, Dek. Cuma menghangatkan makanan yang ibumu bawakan saja sih. Nggak apa-apa kan, Dek?" tanyanya."Nggak apa-apa, Mas. Aku oke saja kok, Mas," jawabku.Aku menuju dapur, mau mencari piring untuk kami makan."Dek, mau kemana?""Ke dapur, ngambil piring, Mas.""Nggak usah, Sayang. Sudah aku siapkan untukmu. Itu loh di meja," katanya."Eh, iya. Hehe."Setelah itu, Mas Feri mempersilahkanku duduk. Ia menyiapkan segelas air putih juga untukku. Katanya lebih baik minum air putih dibandingkan minuman yang lain."Yuk, kita berdoa dulu sebelum mulai makan!" ajaknya."Ayo, Mas."Mas Feri memimpin doa, lalu kami makan bersama.Aku mengambilkan tambahan lauk untuknya. Kutaruh di piringnya."Terima kasih