"Inginnya di Bogor saja, agar tak bolak- balik. Aku malu dengan keadaanku, rasanya insecure melahirkan tanpa suami. Ini saja saat kontrol kehamilan, melihat yang lain dengan suaminya, aku merasa tak enak hati. Tapi aku menguatkan diriku agar aku tetap bahagia walau sendiri.""Sabar, ya, Lita. Saya sudah ada calon untukmu, insya Allah setelah kamu lahiran nanti, kamu pasti punya suami. Oya sudah di USG belum jenis kelaminnya apa?""Dari hasil USG, insya Allah laki-laki, Bu. Siapa Bu, calonnya?" tanyaku penasaran."Alhamdulillah. Berarti rencana ini mantap aku laksanakan. Ada seorang calon untukmu. Dia laki-laki yang baik, taat beribadah, insya Allah bakal sayang sama kamu, Lit!"Aku terkejut Bu Raya sudah mempersiapkan calon suami untukku. Kalau Bu Raya yang bilang, insya Allah pasti orangnya memang seperti itu."Siapa, Bu? Boleh saya kenalan dulu?""Nanti, ya. Orangnya belum bisa bertemu kamu. Saya akan minta izin pada orang tuamu langsung, boleh?" tanya Bu Raya yang membuatku penasar
Sebaiknya tak kubalas pesan dari Mas Arman. Jika kubalas khawatir makin panjang dan runyam. Biarlah dia dengan kehidupan barunya, yang mungkin istri barunya terperdaya sehingga mau memberikan apapun untuk Mas Arman.Sebenarnya aku kasihan sama Bu Via yang seperti itu. Nasibnya sama denganku. Jika aku dieksploitasi tenaga dan pikiran, kalau Bu Via mungkin hanya hartanya saja. Perempuan itu tak tau saja tujuan utama Mas Arman adalah yang penting dia sukses.Aku memikirkan siapa yang akan dijodohkan denganku? Bu Raya sepertinya sudah punya orang yang tepat untukku. Semoga memang dia pemimpin yang baik seperti yang Bu Raya katakan kemarin.Alhamdulillah, sampai saat ini menjalankan bisnis, mengikuti langkah Bu Raya, sudah bertambah banyak penghasilan ini. Baik keuntungan langsung dari produk, serta dari perusahaan dengan keuntungan jaringan. Sudah mencapai delapan digit angka, ketika aku mengecek saldo.Sudah malam, aku memilih untuk tidur dengan pikiran positif. Semoga ada masa depan yan
[Boleh, ini dengan siapa?][Aku Rima, temanmu. Sekarang aku di Jakarta. Kalau pake ini bisa untuk yang berumur nggak?][Bisa. Ini contohnya.] Aku lampirkan foto-foto yang sebelum pakai dan sesudah pakai.[Oke deh. Aku mau coba satu dulu. Nanti kalau terasa dan ada perubahan, aku akan beli dalam jumlah banyak.] katanya.Aku sangat senang mendengar kabar seperti ini. Harapan itu selalu ada. Allah buka pintu rezekinya melalui kedua bisnis ini.[Baik. Kamu isi form order dulu, nanti aku total ya, Rima.][Ok]Tak lama aku berikan totalannya dan nomor rekening. [Silahkan transfer, ya, Rima.]Selang 10 menit, Rima mengirimkan bukti transfer.[Sudah, ya, Rima! Semoga bermanfaat dan hasilnya memuaskan nanti.][Ok, terima kasih, Lita!]Bu Raya terlihat di rumah sore hari. Aku bertemu dengannya saat Bu Raya baru pulang. Wajahnya pucat, walau begitu ia tetap tersenyum pada kami."Sudah bereskah pekerjaan hari ini?" tanya Bu Raya."Sudah, Bu," jawab kami."Baiklah kalau begitu. Silahkan pulang,
Setelah mendapat kabar kalau Mas Arman dirawat, aku jadi tak bisa tidur. Mas Arman walau begitu, ia ayah dari anakku. Mudah-mudahan Allah berikan keselamatan padanya.Aku tau sifat pelitnya itu terbawa pada saat kebakaran tersebut. Dan aku yakin ia akan menyelamatkan uang dan barang dagangannya. Tapi, karena sifat itu, bisa membinasakan dirinya sendiri.***Malam hari, menjelang tidur, ada yang meneleponku."Halo, Mbak Lita, kamu tau kabar Mas Arman sekarang?" tanyanya di telepon."Tau sedikit, ini siapa, ya?" tanyaku."Ini Anggi. Aku tau nomor barumu dari Mas Arman beberapa hari lalu. Dan aku tau juga tentang perceraian kalian. Katanya semua terjadi karena Mbak Lita mau dijadikan istri kedua seseorang yang lebih kaya dari Mas Arman. Mbak Lita sungguh picik," ucap Anggi di sebrang sana.Astaghfirullah ... Sungguh tega Mas Arman memfitnahku ke adiknya. Aku tak pernah kepikiran untuk hal seperti itu. Dia tak tau sebenarnya siapa yang bersalah? "Sudah bicaranya?" tanyaku."Iya. Kenapa?
Ah, sudahlah. Lebih baik aku sekarang bersiap untuk bekerja. Seperti biasa aku bertemu dengan kedua rekanku, Mbak Nur dan Eka. Hari ini mereka lebih pendiam. Aku menyapa pun mereka tak terlalu menanggapi."Mbak Nur, gimana orang tuamu yang sakit kemarin? Apa sudah sembuh?" Aku bertanya saat ia datang. Tak biasanya, saat datang tadi, ia diam tak menyapaku."Baikan, Alhamdulillah," jawabnya singkat. Ia langsung mendekati Eka. Mereka saling melihat ponselnya. Entah sedang membicarakan apa.Lalu aku memberanikan diri mendekati mereka lagi. Tapi mereka langsung fokus ke pekerjaan masing-masing.Ada apa dengan mereka? Hal ini membuatku bertanya-tanya. Aku takut ada hal yang salah denganku. Ku coba lihat hasil pekerjaanku menginput poin, ternyata biasa saja. Semua baik-baik saja."Mbak Nur, gimana sudah selesai?" tanyaku.Mbak Nur bukannya menjawab, tapi malah melengos, ia menjauhiku.Kudekati Eka. Ia kutanya, sikapnya sama dengan Mbak Nur."Eka, kamu mau langsung pulang? Anter aku beli mak
Ada apa dengan Bu Raya?Sampai-sampai gadis kecilnya tak muncul lagi di hadapan kami."Kamu kenapa Lita, kok malah diem aja?" tanya Mbak Nur."Maaf, Mbak. Aku kepikiran Bu Raya. Masa beliau tiba-tiba menghilang?" Aku berlogika."Yeay ... Suka-suka dong. Bu Raya mah udah biasa makan ginian. Mungkin beliau kasih kesempatan buat yang jarang atau bahkan nggak pernah makan," ucap Eka."Aduh ... Ternyata kalian semua pikirannya ke makanan melulu. Kalau aku merasa ada yang beda dengannya."."Udah, ah. Kamu jangan kebanyakan ngehalu, Lita. Kita nikmati makanannya sampai habis. Kamu dari tadi nggak makan-makan. Tapi pasti dedek bayi dalam perutmu minta makan," sambung Mbak Nur."Iya. Cepatlah kamu ambil itu, nanti aku ambil kamu nangis lagi!" sahut Eka sembari menunjuk sepotong pizza yang tersisa.Aku mengambilnya. Ini memang kali pertama aku makan pizza. Makanan yang rada aneh di lidah. Tapi lumayan buatku, bisa mengganjal lapar dan seenggaknya aku bisa kekinian.Waktunya pulang buat mbak Nur
"Tidak. Insya Allah baik untuk semua, Lita. Aku akan katakan ketika kami akan melamarmu, nanti. Jadi siap-siap saja ya!" Pernyataan Bu Raya selalu membuatku bertanya-tanya.Aku menyerah juga. Tak mungkin mendesak terus. Aku jadi tak enak padanya."Baiklah, Bu. Kalau memang mau ibu seperti itu. Aku terima saja. Mudah-mudahan memang jodohku. Walau dulu juga aku dijodohkan oleh Ayah pada Mas Arman akibat hutangnya yang banyak.""Apa? Jadi, dulu kamu dijodohkan sama Arman?"Aku terpaksa harus menceritakan kisah ini pada Bu Raya."Ya, Bu. Orang tua terutama Ayah berhutang banyak pada keluarga Mas Arman. Ibunya Mas Arman bilang, kalau anakmu jadi istrinya anakku gimana? Nanti hutangmu lunas," katanya."Kenapa mereka sangat tertarik padamu, Lita?""Saya dulu salah satu murid SMA berprestasi di bidang matematika. Pernah ikut olimpiade se-kabupaten. Keluarga Mas Arman tau prestasiku, makanya mereka ingin menjodohkan kami dengan syarat tadi," jelasku."Kamu mau?""Mau bagaimana lagi, Bu. Saya n
Aku pura-pura tak mendengar pertanyaannya. Dia menanyakan soal suami. Lebih baik aku pura-pura tidur saja. Toh, bukan kewajibanku menjawab pertanyaannya."Lita ... Lit? Kamu tidur ya?" tanyanya.Aku tetap pura-pura tertidur, kepala kupalingkan ke arah jendela bus. Semoga Mas Andi ini nggak banyak bicara lagi. Capek juga meladeninya ngobrol.Tak terasa sudah sampai terminal. Aku langsung memesan ojeg."Nggak apa-apa ini, Mbak? Mbaknya lagi hamil besar kan?" kata tukang ojeg.Aku pun jadi ragu. Biasanya aku santai aja naik ojeg dari terminal ke rumah ibu. Tapi tiba-tiba, Mas Andi datang."Maaf, Pak. Dia bareng saya aja naik mobil." Mas Andi menunjuk ke mobil yang menjemputnya.Aku tadinya menolak, tapi tukang ojek pun mendukung. "Iya sih, daripada nanti jatuh kalau naik ojeg," ucapnya."Ya udah, yuk, Lita!" Ia membawakan tasku. Mau tak mau aku mengikutinya.Ternyata Mas Andi dijemput mobil mewah. Memang dulu dia anak kepala desa. Jadi lumayan terkenal. Tapi, kenapa dia malah naik bus,