Setelah mendapat kabar kalau Mas Arman dirawat, aku jadi tak bisa tidur. Mas Arman walau begitu, ia ayah dari anakku. Mudah-mudahan Allah berikan keselamatan padanya.Aku tau sifat pelitnya itu terbawa pada saat kebakaran tersebut. Dan aku yakin ia akan menyelamatkan uang dan barang dagangannya. Tapi, karena sifat itu, bisa membinasakan dirinya sendiri.***Malam hari, menjelang tidur, ada yang meneleponku."Halo, Mbak Lita, kamu tau kabar Mas Arman sekarang?" tanyanya di telepon."Tau sedikit, ini siapa, ya?" tanyaku."Ini Anggi. Aku tau nomor barumu dari Mas Arman beberapa hari lalu. Dan aku tau juga tentang perceraian kalian. Katanya semua terjadi karena Mbak Lita mau dijadikan istri kedua seseorang yang lebih kaya dari Mas Arman. Mbak Lita sungguh picik," ucap Anggi di sebrang sana.Astaghfirullah ... Sungguh tega Mas Arman memfitnahku ke adiknya. Aku tak pernah kepikiran untuk hal seperti itu. Dia tak tau sebenarnya siapa yang bersalah? "Sudah bicaranya?" tanyaku."Iya. Kenapa?
Ah, sudahlah. Lebih baik aku sekarang bersiap untuk bekerja. Seperti biasa aku bertemu dengan kedua rekanku, Mbak Nur dan Eka. Hari ini mereka lebih pendiam. Aku menyapa pun mereka tak terlalu menanggapi."Mbak Nur, gimana orang tuamu yang sakit kemarin? Apa sudah sembuh?" Aku bertanya saat ia datang. Tak biasanya, saat datang tadi, ia diam tak menyapaku."Baikan, Alhamdulillah," jawabnya singkat. Ia langsung mendekati Eka. Mereka saling melihat ponselnya. Entah sedang membicarakan apa.Lalu aku memberanikan diri mendekati mereka lagi. Tapi mereka langsung fokus ke pekerjaan masing-masing.Ada apa dengan mereka? Hal ini membuatku bertanya-tanya. Aku takut ada hal yang salah denganku. Ku coba lihat hasil pekerjaanku menginput poin, ternyata biasa saja. Semua baik-baik saja."Mbak Nur, gimana sudah selesai?" tanyaku.Mbak Nur bukannya menjawab, tapi malah melengos, ia menjauhiku.Kudekati Eka. Ia kutanya, sikapnya sama dengan Mbak Nur."Eka, kamu mau langsung pulang? Anter aku beli mak
Ada apa dengan Bu Raya?Sampai-sampai gadis kecilnya tak muncul lagi di hadapan kami."Kamu kenapa Lita, kok malah diem aja?" tanya Mbak Nur."Maaf, Mbak. Aku kepikiran Bu Raya. Masa beliau tiba-tiba menghilang?" Aku berlogika."Yeay ... Suka-suka dong. Bu Raya mah udah biasa makan ginian. Mungkin beliau kasih kesempatan buat yang jarang atau bahkan nggak pernah makan," ucap Eka."Aduh ... Ternyata kalian semua pikirannya ke makanan melulu. Kalau aku merasa ada yang beda dengannya."."Udah, ah. Kamu jangan kebanyakan ngehalu, Lita. Kita nikmati makanannya sampai habis. Kamu dari tadi nggak makan-makan. Tapi pasti dedek bayi dalam perutmu minta makan," sambung Mbak Nur."Iya. Cepatlah kamu ambil itu, nanti aku ambil kamu nangis lagi!" sahut Eka sembari menunjuk sepotong pizza yang tersisa.Aku mengambilnya. Ini memang kali pertama aku makan pizza. Makanan yang rada aneh di lidah. Tapi lumayan buatku, bisa mengganjal lapar dan seenggaknya aku bisa kekinian.Waktunya pulang buat mbak Nur
"Tidak. Insya Allah baik untuk semua, Lita. Aku akan katakan ketika kami akan melamarmu, nanti. Jadi siap-siap saja ya!" Pernyataan Bu Raya selalu membuatku bertanya-tanya.Aku menyerah juga. Tak mungkin mendesak terus. Aku jadi tak enak padanya."Baiklah, Bu. Kalau memang mau ibu seperti itu. Aku terima saja. Mudah-mudahan memang jodohku. Walau dulu juga aku dijodohkan oleh Ayah pada Mas Arman akibat hutangnya yang banyak.""Apa? Jadi, dulu kamu dijodohkan sama Arman?"Aku terpaksa harus menceritakan kisah ini pada Bu Raya."Ya, Bu. Orang tua terutama Ayah berhutang banyak pada keluarga Mas Arman. Ibunya Mas Arman bilang, kalau anakmu jadi istrinya anakku gimana? Nanti hutangmu lunas," katanya."Kenapa mereka sangat tertarik padamu, Lita?""Saya dulu salah satu murid SMA berprestasi di bidang matematika. Pernah ikut olimpiade se-kabupaten. Keluarga Mas Arman tau prestasiku, makanya mereka ingin menjodohkan kami dengan syarat tadi," jelasku."Kamu mau?""Mau bagaimana lagi, Bu. Saya n
Aku pura-pura tak mendengar pertanyaannya. Dia menanyakan soal suami. Lebih baik aku pura-pura tidur saja. Toh, bukan kewajibanku menjawab pertanyaannya."Lita ... Lit? Kamu tidur ya?" tanyanya.Aku tetap pura-pura tertidur, kepala kupalingkan ke arah jendela bus. Semoga Mas Andi ini nggak banyak bicara lagi. Capek juga meladeninya ngobrol.Tak terasa sudah sampai terminal. Aku langsung memesan ojeg."Nggak apa-apa ini, Mbak? Mbaknya lagi hamil besar kan?" kata tukang ojeg.Aku pun jadi ragu. Biasanya aku santai aja naik ojeg dari terminal ke rumah ibu. Tapi tiba-tiba, Mas Andi datang."Maaf, Pak. Dia bareng saya aja naik mobil." Mas Andi menunjuk ke mobil yang menjemputnya.Aku tadinya menolak, tapi tukang ojek pun mendukung. "Iya sih, daripada nanti jatuh kalau naik ojeg," ucapnya."Ya udah, yuk, Lita!" Ia membawakan tasku. Mau tak mau aku mengikutinya.Ternyata Mas Andi dijemput mobil mewah. Memang dulu dia anak kepala desa. Jadi lumayan terkenal. Tapi, kenapa dia malah naik bus,
Aku mengerjap, yang tadinya aku agak mengantuk. Berita yang disampaikan sama seperti yang kuterima dari Anggi kemarin. Ia memang menikahkanku agar utangnya lunas, tapi tak seperti itu juga. Menuding sebelum tau masalah sebenarnya."Udah, Ayah. Kasihan Lita, baru sampai. Ayah mau membuatnya sedih?""Nggak, Bu. Aku ingin ia sadar. Keluarga Arman keluarga terpandang di kampung ini. Untung saja orang tuanya tak menuntut apa-apa. Mereka hanya pedas mulutnya saja saat datang ke sini," cerita Ayah."Oh, jadi mereka ke sini?""Iya, Lita. Mereka mengadukan kelakuanmu pada Arman. Kamu bikin malu saja!"Ya Allah, Mas Arman bisa-bisanya memutarbalikkan fakta. Aku tak sempat menjelaskan, dia yang koar-koar lebih dulu. Ya sudah tak apa. Semua akan terbukti nanti, siapa yang benar dan siapa yang salah."Sebenarnya bukan begitu. Ayah harusnya jangan percaya langsung, karena Ayah tak mengalaminya. Ibu saja yang kemarin menjengukku, tau kelakuan Mas Arman," jelasku."Kalau itu terjadi akibat perbuatanm
Bu RayaAku mengenal perempuan itu dari para tetanggaku. Ia adalah seorang perempuan yang sering belanja dengan uang lima ribu di tangannya. Aku penasaran dengannya. Kebetulan ia menawarkan jasanya menyetrika baju. Dengan senang hati aku menerimanya.Aku melihat kesehariannya, cukup mengiris hati. Katanya ia mau jual berasnya setengah liter tiap hari. Jadinya kubayar sebesar sepuluh ribu tiap setengah liter. Ia sangat senang ketika aku melakukan itu.Dari wajahnya aku melihat kejujuran dan ketulusan. Aku sangat menyayangkan sikap suaminya yang tak bisa menangkap hati istrinya. Ku berpikir, Arman kan menyesal jika suatu saat Lita lelah menghadapinya.Namun aku tak pernah berhenti untuk menyemangatinya. Semangat untuk memperbaiki rumah tangganya. Berharap suaminya bisa berubah.Cobaan Lita tak hanya sifat pelit suaminya, ia juga harus menghadapi suaminya mendua. Arman sudah berani main api, ia menikahi salah satu temanku bernama Via. Menurut Lita, Arman menikahi Via karena harta. Arman
"Rani, Mas. Rani meninggal." Pertahananku runtuh, aku menangis dipundak Mas Fadhil.Aku lepaskan semua kegundahan dan rasa yang ada di dada ini. Segera ku menenangkan diri.Tak lama, Mas Fadhil telah bersiap-siap. Ia mengajakku segera ke rumah Feri. Pasti mereka membutuhkanku di sana. Feri dan Rani belum memiliki keturunan, mereka sudah menikah selama dua tahun.Lalu Alma datang."Mama kenapa sih?" "Tante Rani meninggal, Alma. Kamu siap-siap. Kita harus segera ke sana!" ajakku.Alma mengangguk, ia segera ke kamarnya untuk berganti pakaian.Kami pergi tanpa bilang pada Lita dan teman-temannya. Mungkin nanti saja, karena sekarang belum waktunya mereka tau.Mas Fadhil menjalankan mobilnya dengan kencang. Aku terkejut dan jantungku hampir copot. "Mas, hati-hati dong!""Maaf, Dek. Aku tadinya berharap kamu senang kalau aku cepat-cepat. Tapi, kamu malah tak senang. Aku pelankan saja!" katanya."Iya, Mas. Biar lambat asal selamat."Tak lama kami sampai di rumah duka.Aku dan Feri sudah tak
"Iya, Dek. Terima kasih, ya!" jawabnya.Pada akhirnya Mas Fadhil sembuh setelah pengobatan selama setahun. Dari sana, ia mulai semangat mencari pekerjaan lagi. Aku memotivasinya terus, sehingga ia mendapat pekerjaan lagi."Terima kasih, Dek, atas semangatmu selama ini," ucapnya sembari tersenyum bahagia."Sama-sama, Mas. Itu udah kewajibanku sebagai istri," jawabku pelan.***Hari ini, Lita dan Feri berencana mengunjugi pesantren tahfidz. Mereka akan mendonasikan rezeki berupa Al Qur'an dan makanan untuk anak-anak.Mereka sangat senang atas kedatangan donatur. Biasanya kami memang membuka peluang untuk para donatur yang mau berdonasi.Anak-anak bersyukur atas nikmat Allah karena mereka bisa mendapatkan berbagai nikmat, salah satunya bisa membaca Al Qur'an dan makan enak. Memang kalau sesehari, menunya makanan rumah biasa. Namun mereka senang ketika ada donatur yang membawakan makanan favorit anak-anak."Lita, Feri terima kasih atas dukungan kalian. Tau nggak Lit, Feri ini donatur tet
Bu RayaAku sangat senang dengan pernikahan Feri dan Lita. Mereka berdua sangat cocok. Aku tak sembarangan memilihkan Feri calon istri.Sebelumnya aku sudah memperdalam perkenalanku dengan Lita. Ia wanita yang baik, tulus dan ikhlas menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga berpengetahuan luas walau dari kampung serta mau belajar. Buktinya bisnisnya berkembang dengan cepat. Aku terpesona dengan kegigihannya berusaha.Sementara adikku Feri seorang laki-laki yang mencintai istrinya. Ia sempat terpikir untuk tak menikah lagi dengan wanita selain Istrinya. Namun menurutku ia harus mencari pendamping lagi karena masih muda dan untuk mendapatkan keturunan.Setelah merayu, memberikan dalil serta bukti kata-kata dari mendiang istrinya--Rani untuknya, ia pun mau menuruti perkataanku.Aku bilang wanita ini mungkin pendidikannya tak setinggi kamu, tapi ada poin penting lain dari dia yaitu attitude atau sikapnya."Jika benar demikian, aku akan ikuti, Kak," katanya saat itu.Sekaran
Hari ini kami mengunjungi pesantren tahfidz milik Kak Raya. Mas Feri dan aku rencananya akan mewakafkan sejumlah Al Qur'an untuk pesantren ini. Karena pahala dari wakaf ini akan terus mengalir.Apalagi jika Al Qur'an ini dibaca terus oleh para penghafalnya. Luar biasa pahalanya mengalir bagi kami.Selain itu, kami bawakan juga bahan makanan untuk menambah energi mereka dalam menghafal. Anak-anak harus didukung juga oleh makanan yang bergizi agar hafalan mereka terjaga dan meningkat.Saat di sana, kami berdiskusi bersama anak-anak yang sudah berada di sana selama beberapa bulan ini."Kami sangat terbantu dengan pesantren ini. Terima kasih pada Pak Fadhil dan Bu Raya sebagai pemilik pondok pesantren ini serta para donatur seperti Pak Feri dan Bu Lita. Doakan kami semoga Istiqomah dalam menghafal," ucap Yudi. Ia merupakan penghuni pesantren paling besar diantara yang lain. "Sama-sama, Yudi. Semoga Yudi segera menjadi seorang hafidz. Sudah tinggal berapa juz lagi yang belum dihafal?" ta
'Benarkah Mas Feri paham dengan isi hatiku?'Semoga saja ia paham dan selalu berbuat baik padaku.***Tak terasa pernikahan kami sudah berjalan satu tahun. Farhan pun sudah berumur setahun lebih.Mas Feri laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Alhamdulillah Allah berikan suami yang baik setelah ujian yang menimpaku.Aku dan Mas Feri sengaja menunda dulu keinginan kami untuk punya anak. Kami membesarkan Yusuf terlebih dahulu. Ia juga sungguh menggemaskan."Dek, kamu makan dulu sana. Biar aku yang jagain Yusuf, ya!" Saat Mas Feri pulang kerja, lalu sudah mandi, ia menyuruhku makan duluan."Kita makan barengan aja, Mas. Biar Yusuf aku yang gendong," ucapku."Nggak, Dek. Yusuf biar aku saya yang pegang dulu. Aku tau kamu seharian sudah berjibaku dengan pekerjaan rumah. Aku hanya membantu mengasuh Yusuf saja," katanya.Memang awalnya kami memakai asisten rumah tangga. Tapi, ternyata ia tidak jujur. Hingga aku memutuskan mengerjakan semua sendiri. Alhamdulillah aku bisa melakukannya. Mu
"Betul. Aku mengapresiasi kejujuranmu kemarin. Kamu sudah berani bercerita padaku. Terima kasih ya, Dek!""Sama-sama, Mas. Aku pun masih belajar. Tolong ingatkan aku jika salah ya, Mas!" ucapku."Iya, Dek. Aku pun, tolong ingatkan aku. Karena pernikahan tak hanya hal yang manis, yang pahit pun pasti kan hadir. Komitmen yang kuatlah yang akan membuatnya bertahan.""Semoga aku bisa memegang komitmen itu ya, Mas!""Insya Allah, Dek. Kita sama-sama belajar ya!"Saat kami sudah saling berjanji, tak lama Mas Andi meneleponku. "Mas, ini Mas Andi meneleponku.""Kamu belum ganti nomor, Dek?""Belum, Mas. Kan kita di rumah terus, Mas," ucapku."Ya sudah, aku yang mengangkat saja."Aku takut Mas Feri marah-marah pada Mas Andi."Halo Andi, ada apa ya?" Aku tak mendengar jawaban Mas Andi. Hanya perkataan Mas Feri yang kudengar."Aku sudah tau mengenai masa lalu kamu dan istriku. Jadi, kumohon kamu tak usah menghubunginya lagi. Dia istriku, takkan kubiarkan bila diganggu oleh laki-laki lain." Per
Aku melihat siapa yang memanggilku, Alhamdulillah aman. Ternyata dari Zul. Ada apa ya? Segera kuangkat teleponnya.Mas Feri beranjak ke luar kamar, mungkin ia tau aku harus mengangkat telepon ini."Assalamualaikum. Mbak, gimana kabarnya?""Baik, Zul. Alhamdulillah. Ada apa Zul? Mbak kaget tiba-tiba kamu menelepon gini," jawabku."Aku cuma mau mengabarkan sesuatu padamu, Mbak.""Ada apa, Zul?""Aku mendengar, kalau seluruh aset Mas Arman habis," ucap Zul."Tau dari mana kamu, Zul?""Semua orang membicarakan Arman dan keluarganya di sini. Trus, sekarang Mas Arman mendekam di jeruji besi, karena banyak yang melaporkan atas kasus penipuan dan penggelapan uang.""Astaghfirullah. Mas Arman tak pernah puas mengumpulkan harta. Padahal hartanya sudah banyak kemarin.""Ya Mbak, yang melaporkan termasuk mantan istrinya juga, Bu Via," katanya."Ya Allah, aku turut prihatin juga dengan keadaan Mas Arman. Mudah-mudahan dia diberi hidayah Allah ya Zul.""Nggak tau deh. Aku sih seneng aja liatnya. Be
"Mau, boleh!" Mas Feri membuka mulutnya, kusuapkan makananku."Emmm ... enak juga yang ini," katanya. "Gurih banget ya, Dek! Cocok buat ibu menyusui," katanya ."Iya." Lalu aku menyuapinya kembali tak mau kalah."Cie kalian romantis banget." Kak Raya menanggapi.Lalu, Kak Fadhil pun menyuapi istrinya. Kak Fadhil tak segan mengadaptasi apa yang dilakukan adiknya. Kak Raya semringah. Alma juga terbahak melihat orang tua yang saling menyuapi."Aku disuapi juga dong, Pa!" pinta Alma."Boleh, sebentar." Kak Fadhil mengambilkan makanan untuk Alma. Alma senang ia disuapi papanya.Acara makan kami sangat menyenangkan. Lalu ada laki-laki menyapa Mas Feri. Ketika aku menoleh ke sumber suara, orang itu adalah Andi."Eh, Andi lagi ngapain di sini?" tanya Mas Feri pada Andi yang sedang berdua dengan seorang wanita."Habis makan, Pak," jawabnya sambil melirik kearahku. "Maaf Pak saya nggak bisa ikut ke nikahan bapak kemarin."Aku bingung kenapa mereka saling kenal? Tapi aku diam saja untuk menutu
Ternyata Bu Raya dan Keluarga sedang jalan-jalan juga. Dari situ kami memutuskan makan bersama di salah satu restoran."Alma mau makan di restoran korea aja," usulnya."Gimana yang lain? Mau?" tanya Bu Raya."Boleh," jawabku. Aku tak pernah makan ala Korea sebenarnya, tapi tak apalah kucoba untuk memakannya."Kamu nggak apa-apa, beneran?" tanya Mas Feri. Mungkin ia melihat gelagatku yang tak nyaman saat mendengar masakan Korea tadi."Nggak apa-apa, Mas. Aku memang belum pernah coba, makanya aku penasaran. Boleh, ya?" "Oke kalau gitu. Yuk, Kak!"Kami semua menuju salah satu restoran Korea.Aku memilih menu yang sama dengan Mas Feri saja yaitu Bibimbowl. Tapi kata Mas Feri, mending beda saja, jadi bisa merasakan satu sama lain.Kalau suka bisa pesan lagi nantinya. Aku pun dipilihkan jenis makanan yaitu Korean BBQ. Aku manut saja, yang penting bisa makan.Saat menyapa Bu Raya sekarang, aku harus menggunakan kata Kak Raya, atau kakak saja. Mas Feri yang menyarankan itu."Tunggu saja pesa
Kutelusuri rumah Mas Feri. Aku sampai di ruang makan, ia sedang mempersiapkan makan siang untuk kami."Mas, sedang apa?" tanyaku karena bingung mau bertanya apa lagi."Sedang menunggumu, Dek. Hehe." Dia bercanda padaku."Gombal ih." Suka sih digombalin."Sudah kusiapkan makan siang buat kita berdua, Dek. Cuma menghangatkan makanan yang ibumu bawakan saja sih. Nggak apa-apa kan, Dek?" tanyanya."Nggak apa-apa, Mas. Aku oke saja kok, Mas," jawabku.Aku menuju dapur, mau mencari piring untuk kami makan."Dek, mau kemana?""Ke dapur, ngambil piring, Mas.""Nggak usah, Sayang. Sudah aku siapkan untukmu. Itu loh di meja," katanya."Eh, iya. Hehe."Setelah itu, Mas Feri mempersilahkanku duduk. Ia menyiapkan segelas air putih juga untukku. Katanya lebih baik minum air putih dibandingkan minuman yang lain."Yuk, kita berdoa dulu sebelum mulai makan!" ajaknya."Ayo, Mas."Mas Feri memimpin doa, lalu kami makan bersama.Aku mengambilkan tambahan lauk untuknya. Kutaruh di piringnya."Terima kasih