"Rani, Mas. Rani meninggal." Pertahananku runtuh, aku menangis dipundak Mas Fadhil.Aku lepaskan semua kegundahan dan rasa yang ada di dada ini. Segera ku menenangkan diri.Tak lama, Mas Fadhil telah bersiap-siap. Ia mengajakku segera ke rumah Feri. Pasti mereka membutuhkanku di sana. Feri dan Rani belum memiliki keturunan, mereka sudah menikah selama dua tahun.Lalu Alma datang."Mama kenapa sih?" "Tante Rani meninggal, Alma. Kamu siap-siap. Kita harus segera ke sana!" ajakku.Alma mengangguk, ia segera ke kamarnya untuk berganti pakaian.Kami pergi tanpa bilang pada Lita dan teman-temannya. Mungkin nanti saja, karena sekarang belum waktunya mereka tau.Mas Fadhil menjalankan mobilnya dengan kencang. Aku terkejut dan jantungku hampir copot. "Mas, hati-hati dong!""Maaf, Dek. Aku tadinya berharap kamu senang kalau aku cepat-cepat. Tapi, kamu malah tak senang. Aku pelankan saja!" katanya."Iya, Mas. Biar lambat asal selamat."Tak lama kami sampai di rumah duka.Aku dan Feri sudah tak
"Aku ... baru saja ada di sini, Bu," jawabku."Duduk sini, Nduk." Ibu menyuruhku duduk di sampingnya.Aku menghampiri ibu. Lalu duduk di sampingnya. Ayah menatapku tajam. Tatapan Ayah membuatku tak berkutik. Ia seperti mau memakanku hidup-hidup. "Nduk, Ayahmu ingin kamu kenalan sama Mas Andi. Ayah ingin kamu menikah dengan Andi setelah melahirkan nanti." Ibu membuka pembicaraan."Ya, besok Andi dan keluarganya akan datang ke sini. Mereka akan melamarmu. Pernikahan akan dilakukan pasca kamu melahirkan nanti," ucap Ayah."Yah ... tapi, aku masih belum mau memikirkan pernikahan.""Harus! Kamu harus punya suami yang bener!""Dulu, Lita juga nurut sama Ayah. Berharap suamiku bener. Tapi ternyata, tak seperti yang diharapkan, Yah!" sahutku."Tapi ayah yakin dengan pilihan Ayah kali ini. Ayah berharap kamu bersamanya, Lita!" "Memangnya Ayah utang berapa sama orang tua Mas Andi?"Dengan serta merta, Ayah membulatkan matanya, ia hampir menamparku. Aku langsung menutup kedua mata ini."Kamu
Ternyata ganteng juga calon suamiku. Badannya tinggi tegap, kulit coklat, berlesung pipi, pakai kacamata, rambut agak ikal. Ia mirip sekali dengan Bu Raya.Di bawahnya ada lampiran dokumen. Segera kuunduh dan buru-buru dibuka.Namanya Feri Ardiansyah. Umurnya tak jauh beda denganku, hanya terpaut dua tahun. Lalu ia ternyata anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya bernama Raya Puspita.Ia adiknya Bu Raya. Di sana tertera kalau ia baru kehilangan istrinya karena sakit. Tak terasa air mata ini terjatuh. Rasanya pasti sakit kehilangan orang yang kita cintai. Akupun dapat merasakannya.Aku tersenyum melihat fotonya. Jika dibandingkan dengan Mas Andi, lebih ganteng Mas Andi. Tapi dari pancaran wajahnya, aku lebih suka Mas Feri.Astaghfirullah. Aku harus meneguhkan hati dulu sebelum mantap memilih.***Pagi pun tiba. Ayah sudah bersiap menyambut keluarga Mas Andi. Aku memohon pada Allah agar diberikan yang terbaik menurutnya."Bu, cepatlah tata meja ini. Mana makanannya?" Ayah berteriak di
"Belum tau, Bu. Nanti saya berunding dengan keluarga terlebih dulu, ya, Bu. Semoga bisa secepatnya pulang ke Bogor. Mana HPL saya semakin dekat. Kurang lebih tinggal dua mingguan lagi, Bu," jelasku."Baiklah, nanti saya minta Feri coba hubungi Ayahmu. Agar ada kedekatan antar mereka," usul Bu Raya."Ya, Bu. Saya ikut aja gimana baiknya.""Oke. Baiklah kalau begitu. Sudah, ya. Kamu istirahat dulu, udah malem," katanya."Iya, Bu."Setelah itu, aku menemui Ayah dan Ibu untuk menyampaikan pesan dari Bu Raya. Mumpung belum terlalu malam, karena kalau besok lagi, aku takut lupa."Bu, Yah, kata Bu Raya, nanti adiknya bakal menelepon ke sini. Bu Raya juga menanyakan kapan aku pulang ke Bogor." Aku duduk di samping ibu.Ayah yang ada di hadapan kami, ia memperhatikan diriku."Trus kamunya mau lahiran di sana aja?""Iya, Yah.""Tapi nanti nggak ada yang nemenin kamu loh, kamu sendiri di sana." Ayah mengingatkanku.Ternyata Ayah perhatian juga denganku. Meski kadang aku kesal dengan sikapnya yan
"Eh, maaf. Silahkan masuk, Mas!" Aku mempersilahkannya masuk lebih dulu.Ibu membimbing dari depan untuk memasuki rumah kami. Pantas saja ada mobil mewah terparkir di depan rumah. Ternyata mobilnya Mas Feri.Ya Allah seperti mimpi. Entah aku akan berjodoh dengannya atau tidak. Aku menyerahkan semua pada Allah, tak mau berharap lebih."Maaf Mas Feri, keadaan rumah kami seperti ini," ucap ibu ketika kami sudah di dalam. "Nggak apa-apa, Bu. Sama kok rumah saya pun sederhana,"katanya merendah.Ah, tak mungkin. Kakaknya aja rumahnya besar, pasti Mas Feri pun sama."Mas, saya tinggal dulu, ya sebentar!" Aku pamit padanya untuk istirahat dulu sebentar di kamar."Iya, Dek. Silahkan.""Jangan lama-lama, Lita. Kasihan kalau Mas Feri harus sendirian di sini," sahut Ibu."Ya, Bu."Memangnya Ayah kemana sampai aku harus menemaninya. Duh, aku takut kalau harus keluar lagi bertemu dengannya. Tadi aja aku merasa tak karuan. Jantung berdebar, wajah memanas, darah berdesir, ah pokoknya aku sangat-san
Pikiran negatif berkelebat di otakku. Mas Feri akan menikahiku karena ia melaksanakan amanah istrinya. Akankah ia mencintaiku kelak?"Lita, mengapa kamu terdiam?" tanya Ayah."Nggak apa-apa, Yah. Maaf," jawabku sembari menyunggingkan segurat senyum padanya."Ya sudah, kalau begitu. Mas Feri makan dulu, yuk. Tapi alakadarnya saja ya. Maaf tak bisa menjamu dengan baik." Suara ibu mencairkan hatiku."Baik, Bu." Mas Feri beranjak dari duduknya. Ia mengekor ibu ke ruang makan.Kami makan bersama. Aku jadi nggak enak makan karena kami duduk berhadapan."Bu, aku boleh ke kamar? Kok rasanya pusing ya?" "Kenapa? Ada lagi yang dirasa?" tanya ibu khawatir."Nggak ada. Hanya pusing aja, Bu,"kataku. Lalu aku mengalihkan pandangan ke Mas Feri. "Mas, aku ke dalam dulu, ya!""Iya, Lita. Kamu istirahat aja ya!" ucap Mas Feri."Ya, Mas. Terima kasih."Aku masuk kamar. Dan memang benar aku merasa lelah. Kemudian aku tertidur.***"Bu, kok udah sepi. Mas Feri sudah pulang?" tanyaku."Sudah, Lita!""Oh .
"Bukan, Bu. Aku sudah punya bisnis kok. Ikut Bu Raya juga sih. Tapi ini murni bisnisku. Alhamdulillah hasilnya sudah terlihat. Aku akan membeli tanah Pakle.""Masya Allah, Lita. Kamu kan sedang hamil gini. Gimana cara bisnisnya?" tanya Ibu."Aku kan bisnis online, Bu. Cuma pake hape ini aja!" Aku sengaja perlihatkan ponsel ke ibu. "Ini pemberian Bu Raya loh, Bu.""Ya Allah. Memang Arman nggak membelikanmu hape baru Nduk?" "Nggak, Bu. Dia nggak pernah mau belikan hape baru padaku. Udah ah, males aku bicarakan dia."Nggak lama ada yang ketuk pintu depan."Siapa sih pagi-pagi sudah ada yang bertamu?""Buka saja, Yah," usul Ibu.Pintu dibuka, ternyata Mas Arman."Yah, ada Lita di sini?" tiba-tiba saja dia menanyakan aku.Aku takut, langsung masuk ke kamar."Bu, aku nggak mau ketemu Mas Arman. Dia sudah berkali-kali Mai menyakitiku. Aku mohon, Bu!" Ibu mengangguk, lalu mendekati Ayah yang sedang berdiri di depan pintu.Kamar langsung kukunci. Tak mau mendengar suaranya. Langsung kututup
Ibu yang panik segera memapahku ke dalam rumah. Aku tak bisa diam, langsung dibawa jalan bolak-balik. Kuminta Ibu untuk menyiapkan segala keperluan untuk bersalin. Kami harus segera ke bidan.Zul, Gendis dan ibu mengantarkanku ke bidan terdekat. "Mbak, biar kami ikut mengantar!" Gendis memapahku masuk ke dalam mobil."Iya, Ndis. Makasih banyak. Kebetulan sekali kalian sedang mampir. Aku jadi tertolong," pujiku."Semua sudah diatur Gusti Allah, Mbak," jawab Zul. Kami di mobil hanya sebentar, jarak rumah ibu ke rumah bidan hanya sekitar 500 meter saja.Setelah sampai, aku langsung ditangani oleh bidan dan asistennya. Diperiksalah aku, katanya sudah masuk pembukaan lima, sebentar lagi.Dengan setia ibu dan Gendis mendampingiku, sementara Zul menunggu di luar.Segera bidan menginfusku, lalu aku diminta tarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa kali mengejan, bayi pun lahir. Alhamdulillah, Masya Allah."Selamat bayi anda laki-laki, Bu!" ucap Bidan."Alhamdulillah," jawabku.Ayahnya mana?