"Belum tau, Bu. Nanti saya berunding dengan keluarga terlebih dulu, ya, Bu. Semoga bisa secepatnya pulang ke Bogor. Mana HPL saya semakin dekat. Kurang lebih tinggal dua mingguan lagi, Bu," jelasku."Baiklah, nanti saya minta Feri coba hubungi Ayahmu. Agar ada kedekatan antar mereka," usul Bu Raya."Ya, Bu. Saya ikut aja gimana baiknya.""Oke. Baiklah kalau begitu. Sudah, ya. Kamu istirahat dulu, udah malem," katanya."Iya, Bu."Setelah itu, aku menemui Ayah dan Ibu untuk menyampaikan pesan dari Bu Raya. Mumpung belum terlalu malam, karena kalau besok lagi, aku takut lupa."Bu, Yah, kata Bu Raya, nanti adiknya bakal menelepon ke sini. Bu Raya juga menanyakan kapan aku pulang ke Bogor." Aku duduk di samping ibu.Ayah yang ada di hadapan kami, ia memperhatikan diriku."Trus kamunya mau lahiran di sana aja?""Iya, Yah.""Tapi nanti nggak ada yang nemenin kamu loh, kamu sendiri di sana." Ayah mengingatkanku.Ternyata Ayah perhatian juga denganku. Meski kadang aku kesal dengan sikapnya yan
"Eh, maaf. Silahkan masuk, Mas!" Aku mempersilahkannya masuk lebih dulu.Ibu membimbing dari depan untuk memasuki rumah kami. Pantas saja ada mobil mewah terparkir di depan rumah. Ternyata mobilnya Mas Feri.Ya Allah seperti mimpi. Entah aku akan berjodoh dengannya atau tidak. Aku menyerahkan semua pada Allah, tak mau berharap lebih."Maaf Mas Feri, keadaan rumah kami seperti ini," ucap ibu ketika kami sudah di dalam. "Nggak apa-apa, Bu. Sama kok rumah saya pun sederhana,"katanya merendah.Ah, tak mungkin. Kakaknya aja rumahnya besar, pasti Mas Feri pun sama."Mas, saya tinggal dulu, ya sebentar!" Aku pamit padanya untuk istirahat dulu sebentar di kamar."Iya, Dek. Silahkan.""Jangan lama-lama, Lita. Kasihan kalau Mas Feri harus sendirian di sini," sahut Ibu."Ya, Bu."Memangnya Ayah kemana sampai aku harus menemaninya. Duh, aku takut kalau harus keluar lagi bertemu dengannya. Tadi aja aku merasa tak karuan. Jantung berdebar, wajah memanas, darah berdesir, ah pokoknya aku sangat-san
Pikiran negatif berkelebat di otakku. Mas Feri akan menikahiku karena ia melaksanakan amanah istrinya. Akankah ia mencintaiku kelak?"Lita, mengapa kamu terdiam?" tanya Ayah."Nggak apa-apa, Yah. Maaf," jawabku sembari menyunggingkan segurat senyum padanya."Ya sudah, kalau begitu. Mas Feri makan dulu, yuk. Tapi alakadarnya saja ya. Maaf tak bisa menjamu dengan baik." Suara ibu mencairkan hatiku."Baik, Bu." Mas Feri beranjak dari duduknya. Ia mengekor ibu ke ruang makan.Kami makan bersama. Aku jadi nggak enak makan karena kami duduk berhadapan."Bu, aku boleh ke kamar? Kok rasanya pusing ya?" "Kenapa? Ada lagi yang dirasa?" tanya ibu khawatir."Nggak ada. Hanya pusing aja, Bu,"kataku. Lalu aku mengalihkan pandangan ke Mas Feri. "Mas, aku ke dalam dulu, ya!""Iya, Lita. Kamu istirahat aja ya!" ucap Mas Feri."Ya, Mas. Terima kasih."Aku masuk kamar. Dan memang benar aku merasa lelah. Kemudian aku tertidur.***"Bu, kok udah sepi. Mas Feri sudah pulang?" tanyaku."Sudah, Lita!""Oh .
"Bukan, Bu. Aku sudah punya bisnis kok. Ikut Bu Raya juga sih. Tapi ini murni bisnisku. Alhamdulillah hasilnya sudah terlihat. Aku akan membeli tanah Pakle.""Masya Allah, Lita. Kamu kan sedang hamil gini. Gimana cara bisnisnya?" tanya Ibu."Aku kan bisnis online, Bu. Cuma pake hape ini aja!" Aku sengaja perlihatkan ponsel ke ibu. "Ini pemberian Bu Raya loh, Bu.""Ya Allah. Memang Arman nggak membelikanmu hape baru Nduk?" "Nggak, Bu. Dia nggak pernah mau belikan hape baru padaku. Udah ah, males aku bicarakan dia."Nggak lama ada yang ketuk pintu depan."Siapa sih pagi-pagi sudah ada yang bertamu?""Buka saja, Yah," usul Ibu.Pintu dibuka, ternyata Mas Arman."Yah, ada Lita di sini?" tiba-tiba saja dia menanyakan aku.Aku takut, langsung masuk ke kamar."Bu, aku nggak mau ketemu Mas Arman. Dia sudah berkali-kali Mai menyakitiku. Aku mohon, Bu!" Ibu mengangguk, lalu mendekati Ayah yang sedang berdiri di depan pintu.Kamar langsung kukunci. Tak mau mendengar suaranya. Langsung kututup
Ibu yang panik segera memapahku ke dalam rumah. Aku tak bisa diam, langsung dibawa jalan bolak-balik. Kuminta Ibu untuk menyiapkan segala keperluan untuk bersalin. Kami harus segera ke bidan.Zul, Gendis dan ibu mengantarkanku ke bidan terdekat. "Mbak, biar kami ikut mengantar!" Gendis memapahku masuk ke dalam mobil."Iya, Ndis. Makasih banyak. Kebetulan sekali kalian sedang mampir. Aku jadi tertolong," pujiku."Semua sudah diatur Gusti Allah, Mbak," jawab Zul. Kami di mobil hanya sebentar, jarak rumah ibu ke rumah bidan hanya sekitar 500 meter saja.Setelah sampai, aku langsung ditangani oleh bidan dan asistennya. Diperiksalah aku, katanya sudah masuk pembukaan lima, sebentar lagi.Dengan setia ibu dan Gendis mendampingiku, sementara Zul menunggu di luar.Segera bidan menginfusku, lalu aku diminta tarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa kali mengejan, bayi pun lahir. Alhamdulillah, Masya Allah."Selamat bayi anda laki-laki, Bu!" ucap Bidan."Alhamdulillah," jawabku.Ayahnya mana?
"Sudah, Bu. Terima kasih atas semua kasih sayangmu, Bu. Aku senang bisa lahiran di sini.""Sudah tugas ibu, Nduk. Kamu nggak usah seperti itu. Yang penting kamu cepet sehat, ya!" Ibu membelai wajahku. Air matanya menetes. Lalu ibu mengambil bayiku. Ia memandang wajahnya."Nduk, bayimu amat lucu. Ibu senang akhirnya kamu jadi seorang ibu. Kamu harus tetap semangat demi bayimu, Nduk!""Iya, Bu. Makasih ya. Pasti aku tetap semangat.""Calon suamimu kok nggak ada kabar lagi, Nduk? Dia niat nggak sih nikahin kamu?" tanya ibu."Mungkin masih menunggu aku pulih, Bu. Aku juga nggak tau mereka akan ke sini lagi kapan. Aku pasrah saja, Bu. Insya Allah kalau jodoh, pasti semua akan datang. Aku minta doa ibu saja, ya!""Iya, benar. Ibu setuju denganmu, Nduk. Moga Allah berikan yang terbaik untukmu. Kamu bisa bahagia. Ibu ingin melihatmu bahagia, Nduk," katanya."Saat ini pun aku sudah bahagia, Bu. Karena berada denganmu, di sini. Aku sangat senang."Ibu menghela napasnya."Tapi, ibu lihat kamu g
"Assalamualaikum. Lita apa kabar?" Bu Raya yang meneleponku."Waalaikumsalam. Baik, Bu. Bagaimana kabarnya?" tanyaku."Alhamdulillah baik, Lita. Kamu gimana? Anakmu sudah bisa apa?" "Alhamdulillah baik, Bu. Anakku sekarang bisa menatap ibunya. Aku senang, Bu.""Alhamdulillah, ya, saya jadi pengen ketemu!""Iya, Bu.""Oya, Lita, pekan depan kami mau ke sana untuk serahan. Kalau bisa kalian menikah secepatnya," ucap Bu Raya."Baik, Bu, Insya Allah. Kan nanti tergantung kesepakatan, Bu," ucapku."Iya, nanti saya usulkan waktunya sama orang tuamu," ucap Bu Raya."Iya, Bu. Terima kasih, ya!" "Sama-sama, Bu."Setelah menjawab telepon dari Bu Raya, rasanya terjawab sudah teka-teki dalam hidupku. Segera kuberitau ibu agar ia mendengar kabar bahagia dariku. Ibu sedang sibuk beberes rumah. Itulah ibuku, rajin, telaten dan ia selalu ingin membuat rumah sederhana ini nampak indah."Bu, kita bicara yuk di kursi!" ajakku."Ada apa, Nduk?" Ibu berdiri setelah posisi duduk. Ia sedang mengelap bara
"Maaf, Lita. Ibu malah termakan omongan orang-orang. Semoga kamu mau memaafkan aku, Lita. Kamu yang mengalaminya pasti merasakan trauma.""Aku sudah berusaha menghilangkan kenangan itu. Mas Arman selalu mengejar-ngejar aku lagi. Padahal istrinya kemarin sedang hamil juga, sama sepertiku.""Sabar, ya, Lita. Maafkan Bu Wati, ya!""Iya, Bu. Maaf juga aku kalau ada kata yang tak berkenan saat menjelaskan. Silahkan ibu teruskan masaknya. Aku ke dalam dulu," pamitku.Ibu dan Bu Wati memasak kembali, rasanya plong sudah menjelaskan semuanya.***Hari yang dinantikan datang. Aku menunggu keluarga Mas Feri datang. Tak lama rombongan keluarga Bu Raya datang.Aku langsung menyalami semua, dan mempersilahkan masuk. Ada Mbak Nur dan Eka juga yang ikut datang.Mereka membawa bawaan yang banyak. Aneka makanan dan barang. Aku jadi terkesima oleh bawaan yang banyak itu.Para tetangga memperhatikan kami, mereka saling berbisik saat melihat rombongan yang menurunkan bawaan mereka.Kami mengundang Pak RT