"Assalamualaikum. Lita apa kabar?" Bu Raya yang meneleponku."Waalaikumsalam. Baik, Bu. Bagaimana kabarnya?" tanyaku."Alhamdulillah baik, Lita. Kamu gimana? Anakmu sudah bisa apa?" "Alhamdulillah baik, Bu. Anakku sekarang bisa menatap ibunya. Aku senang, Bu.""Alhamdulillah, ya, saya jadi pengen ketemu!""Iya, Bu.""Oya, Lita, pekan depan kami mau ke sana untuk serahan. Kalau bisa kalian menikah secepatnya," ucap Bu Raya."Baik, Bu, Insya Allah. Kan nanti tergantung kesepakatan, Bu," ucapku."Iya, nanti saya usulkan waktunya sama orang tuamu," ucap Bu Raya."Iya, Bu. Terima kasih, ya!" "Sama-sama, Bu."Setelah menjawab telepon dari Bu Raya, rasanya terjawab sudah teka-teki dalam hidupku. Segera kuberitau ibu agar ia mendengar kabar bahagia dariku. Ibu sedang sibuk beberes rumah. Itulah ibuku, rajin, telaten dan ia selalu ingin membuat rumah sederhana ini nampak indah."Bu, kita bicara yuk di kursi!" ajakku."Ada apa, Nduk?" Ibu berdiri setelah posisi duduk. Ia sedang mengelap bara
"Maaf, Lita. Ibu malah termakan omongan orang-orang. Semoga kamu mau memaafkan aku, Lita. Kamu yang mengalaminya pasti merasakan trauma.""Aku sudah berusaha menghilangkan kenangan itu. Mas Arman selalu mengejar-ngejar aku lagi. Padahal istrinya kemarin sedang hamil juga, sama sepertiku.""Sabar, ya, Lita. Maafkan Bu Wati, ya!""Iya, Bu. Maaf juga aku kalau ada kata yang tak berkenan saat menjelaskan. Silahkan ibu teruskan masaknya. Aku ke dalam dulu," pamitku.Ibu dan Bu Wati memasak kembali, rasanya plong sudah menjelaskan semuanya.***Hari yang dinantikan datang. Aku menunggu keluarga Mas Feri datang. Tak lama rombongan keluarga Bu Raya datang.Aku langsung menyalami semua, dan mempersilahkan masuk. Ada Mbak Nur dan Eka juga yang ikut datang.Mereka membawa bawaan yang banyak. Aneka makanan dan barang. Aku jadi terkesima oleh bawaan yang banyak itu.Para tetangga memperhatikan kami, mereka saling berbisik saat melihat rombongan yang menurunkan bawaan mereka.Kami mengundang Pak RT
Aku melihat dari dalam, ternyata Mas Arman yang datang. Ia berteriak-teriak di luar, bikin malu aku saja.Ayah dan Zul yang keluar mendekati dia. Ternyata Mas Arman dibawah pengaruh minuman keras. Sejak kapan ia kenal dengan minuman? Dulu ia tak pernah sekalipun minum minuman keras. Saat ini mungkin segalanya sudah ia raih. Uang, rumah, kendaraan, sawah, semua sudah ia punya, kecuali cinta. Kurasa hidupnya hampa sekarang. Atau mungkin ia baru sadar kalau istri itu sangat penting dalam hidupnya. Tapi kan Bu Via istri yang sempurna. Ia pun mungkin sudah melahirkan anak Mas Arman. Mas Arman terus saja meracau, ia mengatakan berbagai hal yang membuatku naik darah."Lita itu pengkhianat. Ia malah kabur saat menikah denganku. Dan ternyata pacarnya adik wanita itu. Wanita yang selalu menolongnya yang bernama Raya," katanya.Ayah dan Zul berusaha menghalau Mas Arman yang akan masuk ke rumah kami. Pak RT dan Pak RW pun tak tinggal diam. Mereka menghubungi pihak berwajib yaitu Babinkamtibmas
"Lita, semangat terus. Kami ke sini lagi bulan depan. Nanti kita telponan aja ya kalau ada sesuatu yang kamu minta dari Feri," katanya."Baik, Bu. Terima kasih."Bu Raya menyalami orang tuaku, Zul dan Gendis. Yusuf tak kubawa karena sedang tidur."Dah, hati-hati Alma!""Iya, Tante Lita. Nanti aku ke sini lagi, ya!" katanya.Lalu kedua sahabatku Mbak Nur dan Eka."Lita, kami pulang dulu. Kamu baik-baik, ya. Insya Allah kita ikut lagi nanti. Jangan bosen-bosen liat kami. Doakan Eka biar dapat jodoh jug tuh!" kata Mbak Nur terkekeh.Eka langsung menyenggol Mbak Nur yang ada di sebelahnya. Aku jadi bisa tertawa mendengar obrolan mereka."Hati-hati dijalan, semua!" Aku melambaikan tangan saat mobil mereka mulai bergerak.Tak terasa air mata ini menetes. Entah rasa terharu atau rasa ingin diperhatikan, tapi tidak. Aaarrrggghhh ... Aku tuh ya jadi perempuan kok gampang nangis aja?Buru-buru kupasang senyum sebelum masuk ke dalam. Ibu dan yang lainnya sudah masuk dari tadi. Kuhela napas perl
Terdengar suara Ayah dan Ayahnya Mas Arman."Kami mau mengambil cucu kami dari Lita," katanya."Nggak bisa. Yusuf masih bayi. Moso harus berpisah dengan ibunya," jawab Ayah."Kan Lita mau nikah lagi, pasti nanti Yusuf nggak diakui suami baru Lita. Mending kami aja yang urus," balas Ibu Mas Arman.Ibu geram, ia menghampiri mereka juga setelah menenangkanku. Ternyata mereka memang ada niat tertentu. Ingin mengambil Yusuf. Padahal mereka kemarin menyebarkan gosip tak sedap tentangku. Sungguh tak tau malunya mereka.Belum lagi perbuatan Mas Arman tadi pagi yang bikin semua gempar. Bukannya ngurusin anaknya yang selalu bikin ulah, malah mau mengambil anakku. Itu tak mungkin kuturuti. Aku kan mempertahankan Yusuf sampai kapanpun."Mohon maaf Pak, Bu, bayi baru lahir itu harus bersama ibunya. Tak ada hak kalian untuk mengambilnya dari Lita. Kalau mau lihat atau jenguk itu boleh. Tapi tak boleh diambil, karena Yusuf harus menyusu ibunya, harus dalam pengasuhan ibunya juga," jelas ibu.Terny
"Baik, Mbak. Aku bakal anter kamu. Jam berapa kita ke sana?""Jam 10an aja, Ndis. Kamu udah di sini sebelum jam 10 ya!" sahutku."Oke, Mbak."Setelah itu, aku merasa amat sangat lega karena sudah melalui berbagai hal hari ini.'Ya Allah, terima kasih atas karuniamu!' Aku harus tidur, istirahat dulu, semoga besok lebih baik dari hari ini.***Aku sengaja tak tidur lagi dari jam 4 pagi. Setelah tahajud aku banyak berdoa semoga Allah berikan yang terbaik untukku ke depan.Anakku juga agak rewel, ia minum asi sampai beberapa kali bangun. Sebenarnya aku masih kurang tidur. Tapi kuusahakan untuk tidak tidur lagi.Saat sarapan tiba, ibu menyediakan bubur ayam pesananku dari dua Minggu lalu. Katanya kasian kalau nggak dituruti."Terima kasih, Bu. Bubur ayamnya enak. Buatan ibu memang selalu enak. Maafkan kalau Lita masih jarang bantu ibu sekarang," ucapku."Nggak apa-apa, Nduk. Semoga kamu makin sehat dan sebentar lagi pernikahanmu. Semoga kamu bahagia," kata ibu.Ibu selalu memanjatkan bany
Kami segera pulang karena kasihan Yusuf bila ditinggal terlalu lama.Namun sebelumnya, kami membeli buah untuk kami di rumah serta untuk Gendis dan Zul. Biarlah, selama.aku punya uang, ingin sekali membahagiakan mereka.Setelah itu, kami segera sampai rumah. Di rumah sudah ada orang tua Mas Arman lagi. Aku kesal kenapa mereka datang lagi. Ibu dan Ayah malah memasukkan mereka ke dalam."Assalamualaikum. Bu, ada apa ini?" Aku bertanya setelah bersalaman dengan Ayah dan Ibu Mas Arman, Ayah dan Ibuku."Waalaikumsalam. Lita, orang tua Arman takkan mengambil Yusuf. Mereka hanya ingin melihatnya saja."Ibu berkata sembari menggendong Yusuf."Iya, Lita. Maafkan kami, ya sudah mengganggu kemarin. Kami minta, kamu jangan menghalangi kami bertemu Yusuf, karena Yusuf kan cucu kami. Kami pun takkan melakukan hal yang tak diperbolehkan," sahut Ibu Mas Arman.Aku lega mendengar itu dari mereka. Mereka akhirnya sadar kalau yang mereka lakukan kemarin salah.Aku duduk berhadapan dengan mereka. Keduanya
"Nggak apa-apa, Bu. Saya malah senang kalau semakin banyak orang," jawabku."Iya, Lita, terima kasih."Setelah itu, aku jadi tak bisa tidur. Rasanya tak enak kalau mau tidur, terbayangkan suasana besok. Mudah-mudahan aku tidak tegang dan aku bisa mengatasinya dengan baik.Sementara di luar kamar ini, semua sedang sibuk mempersiapkan acara besok. Para kerabat ada yang sudah menginap dan membantu untuk memasak.Aku tak mau keluar, takutnya mereka banyak bertanya sehingga stok sabarku berkurang. Aku hanya seorang wanita yang ingin bahagia. Insya Allah.***Hari pernikahan tiba, rombongan dari keluarga Mas Feri sudah datang tepat pukul delapan pagi. Penghulu pun sudah datang dan siap menikahkan kami.Aku menunggu di dalam dengan jantung berdebar. Yusuf kutitipkan pada Gendis dan Ibu. Merekalah yang menggendong bergantian. Aku tak mau Yusuf dititip pada selain mereka berdua.Aku mengintip dari kamar saat Mas Feri memasuki rumahku. Ayah dan penghulu sudah ada di ruang tamu. Mereka tinggal m