Terdengar suara Ayah dan Ayahnya Mas Arman."Kami mau mengambil cucu kami dari Lita," katanya."Nggak bisa. Yusuf masih bayi. Moso harus berpisah dengan ibunya," jawab Ayah."Kan Lita mau nikah lagi, pasti nanti Yusuf nggak diakui suami baru Lita. Mending kami aja yang urus," balas Ibu Mas Arman.Ibu geram, ia menghampiri mereka juga setelah menenangkanku. Ternyata mereka memang ada niat tertentu. Ingin mengambil Yusuf. Padahal mereka kemarin menyebarkan gosip tak sedap tentangku. Sungguh tak tau malunya mereka.Belum lagi perbuatan Mas Arman tadi pagi yang bikin semua gempar. Bukannya ngurusin anaknya yang selalu bikin ulah, malah mau mengambil anakku. Itu tak mungkin kuturuti. Aku kan mempertahankan Yusuf sampai kapanpun."Mohon maaf Pak, Bu, bayi baru lahir itu harus bersama ibunya. Tak ada hak kalian untuk mengambilnya dari Lita. Kalau mau lihat atau jenguk itu boleh. Tapi tak boleh diambil, karena Yusuf harus menyusu ibunya, harus dalam pengasuhan ibunya juga," jelas ibu.Terny
"Baik, Mbak. Aku bakal anter kamu. Jam berapa kita ke sana?""Jam 10an aja, Ndis. Kamu udah di sini sebelum jam 10 ya!" sahutku."Oke, Mbak."Setelah itu, aku merasa amat sangat lega karena sudah melalui berbagai hal hari ini.'Ya Allah, terima kasih atas karuniamu!' Aku harus tidur, istirahat dulu, semoga besok lebih baik dari hari ini.***Aku sengaja tak tidur lagi dari jam 4 pagi. Setelah tahajud aku banyak berdoa semoga Allah berikan yang terbaik untukku ke depan.Anakku juga agak rewel, ia minum asi sampai beberapa kali bangun. Sebenarnya aku masih kurang tidur. Tapi kuusahakan untuk tidak tidur lagi.Saat sarapan tiba, ibu menyediakan bubur ayam pesananku dari dua Minggu lalu. Katanya kasian kalau nggak dituruti."Terima kasih, Bu. Bubur ayamnya enak. Buatan ibu memang selalu enak. Maafkan kalau Lita masih jarang bantu ibu sekarang," ucapku."Nggak apa-apa, Nduk. Semoga kamu makin sehat dan sebentar lagi pernikahanmu. Semoga kamu bahagia," kata ibu.Ibu selalu memanjatkan bany
Kami segera pulang karena kasihan Yusuf bila ditinggal terlalu lama.Namun sebelumnya, kami membeli buah untuk kami di rumah serta untuk Gendis dan Zul. Biarlah, selama.aku punya uang, ingin sekali membahagiakan mereka.Setelah itu, kami segera sampai rumah. Di rumah sudah ada orang tua Mas Arman lagi. Aku kesal kenapa mereka datang lagi. Ibu dan Ayah malah memasukkan mereka ke dalam."Assalamualaikum. Bu, ada apa ini?" Aku bertanya setelah bersalaman dengan Ayah dan Ibu Mas Arman, Ayah dan Ibuku."Waalaikumsalam. Lita, orang tua Arman takkan mengambil Yusuf. Mereka hanya ingin melihatnya saja."Ibu berkata sembari menggendong Yusuf."Iya, Lita. Maafkan kami, ya sudah mengganggu kemarin. Kami minta, kamu jangan menghalangi kami bertemu Yusuf, karena Yusuf kan cucu kami. Kami pun takkan melakukan hal yang tak diperbolehkan," sahut Ibu Mas Arman.Aku lega mendengar itu dari mereka. Mereka akhirnya sadar kalau yang mereka lakukan kemarin salah.Aku duduk berhadapan dengan mereka. Keduanya
"Nggak apa-apa, Bu. Saya malah senang kalau semakin banyak orang," jawabku."Iya, Lita, terima kasih."Setelah itu, aku jadi tak bisa tidur. Rasanya tak enak kalau mau tidur, terbayangkan suasana besok. Mudah-mudahan aku tidak tegang dan aku bisa mengatasinya dengan baik.Sementara di luar kamar ini, semua sedang sibuk mempersiapkan acara besok. Para kerabat ada yang sudah menginap dan membantu untuk memasak.Aku tak mau keluar, takutnya mereka banyak bertanya sehingga stok sabarku berkurang. Aku hanya seorang wanita yang ingin bahagia. Insya Allah.***Hari pernikahan tiba, rombongan dari keluarga Mas Feri sudah datang tepat pukul delapan pagi. Penghulu pun sudah datang dan siap menikahkan kami.Aku menunggu di dalam dengan jantung berdebar. Yusuf kutitipkan pada Gendis dan Ibu. Merekalah yang menggendong bergantian. Aku tak mau Yusuf dititip pada selain mereka berdua.Aku mengintip dari kamar saat Mas Feri memasuki rumahku. Ayah dan penghulu sudah ada di ruang tamu. Mereka tinggal m
Hari kedua kami menikah, Mas Feri meminta izin pada orang tuaku untuk membawa aku dan anakku ke Bogor."Baiklah, jika itu yang terbaik untuk Lita, kami ikhlas melepas mereka berdua denganmu. Tapi ingat, Mas Feri harus selalu melindungi, mencintai dan menyayangi anak dan cucu saya," petuah Ayah pada Mas Feri."Iya, Ibu percaya Mas Feri orang baik. Tapi jika suatu waktu Mas Feri tergoda menyakiti anak saya, semoga Mas Feri ingat kalau Lita selalu kami perlakukan baik-baik di rumah," tambah Ibu."Iya, Yah, Bu. Saya akan selalu menjaga Lita dan Yusuf, Insya Allah. Doakan saja kami terus," ucap Mas Feri.Aku jadi meleleh mendengarnya. Semoga memang benar adanya."Bagus. Kamu memang laki-laki yang baik. Ayah sangat percaya itu!" "Terima kasih atas kepercayaannya, Yah. Kami akan berangkat siang ini. Sekarang kami akan siap-siap dulu," ucap Feri."Baik, silahkan."Aku dan Mas Feri memasukkan yang harus dibawa ke tas bawaan kami."Baju-baju tak usah kau bawa semua ya, Dek. Nanti kita beli la
"Boleh, nanti aku tunjukkan tempat kumpul suasana alam yang enak di Bogor. Kalian harus segera berkunjung, ya!" sahut Mas Feri.Aku menatapnya dari samping, deg-degan sekali melihat wajahnya yang ramah itu."Alhamdulillah, makasih tawarannya, Mas. Pasti kita ke sana nanti!"Lalu, ibu datang menghampiri kami."Lita, Zul, Mas Feri dan Gendis, yuk makan dulu! Sudah siap semuanya loh," kata Ibu."Baik, Bu." Aku mengangkat bokongku, lalu mengajak Mas Feri segera ke ruang makan. Kami berjalan sambil bergandengan tangan. Ia menggenggam tangan ini erat.Kami makan bersama berenam. Beruntung Yusuf sedang tidur.Setelah makan, aku dan Mas Feri mengeluarkan tas kami. Lalu Mas Feri dan Zul memasukkan semua ke mobil Mas Feri.Ibu mengajakku mengobrol sebentar di kamarnya."Lita, terima kasih atas semua yang kamu berikan. Kamu sudah belikan kami tanah, kamu juga sudah menyiapkan renovasi rumah buat kami. Terima kasih banyak atas pemberian darimu, Lita!" "Sama-sama, Bu. Aku hanya berbuat sedikit.
Di rest area, kami bergantian menggendong Yusuf saat salah satu diantara kami menunaikan salat. Setelah itu kami makan malam bersama."Sebentar lagi kita sampai. Kamu masih kuat melanjutkan perjalanan kan?" tanya Mas Feri."Masih, Mas. Aku amat sangat kuat. Terima kasih sudah mau membantu momong Yusuf ya, Mas!" ucapku."Itu tugasku, Dek. Yusuf kan anakku juga. Kamu tak usah seperti itu, ya!" ucap Mas Feri."Terima kasih sekali lagi, Mas!" Mas Feri tersenyum dan menganggukkan kepalanya."Kita teruskan perjalanan, yuk!" ajaknya."Ayo, Mas!"Kami melanjutkan perjalanan. Mas Feri membawa mobil dengan kecepatan sedang."Dek, kalo ngantuk tidur lagi aja. Udah malem ini," katanya."Ya, Mas. Aku sebaiknya tidur saja kalau diizinkan. Ngantuk banget ini." Aku benar-benar tak kuat melawan rasa ngantuk ini.Setelah itu aku tertidur. Mungkin sepertinya lama karena tiba-tiba Mas Feri membangunkanku kembali karena lelap tidur."Dek, sudah sampai. Ayo bangun!" Aku mendengar sayup-sayup suara Mas Fer
Kutelusuri rumah Mas Feri. Aku sampai di ruang makan, ia sedang mempersiapkan makan siang untuk kami."Mas, sedang apa?" tanyaku karena bingung mau bertanya apa lagi."Sedang menunggumu, Dek. Hehe." Dia bercanda padaku."Gombal ih." Suka sih digombalin."Sudah kusiapkan makan siang buat kita berdua, Dek. Cuma menghangatkan makanan yang ibumu bawakan saja sih. Nggak apa-apa kan, Dek?" tanyanya."Nggak apa-apa, Mas. Aku oke saja kok, Mas," jawabku.Aku menuju dapur, mau mencari piring untuk kami makan."Dek, mau kemana?""Ke dapur, ngambil piring, Mas.""Nggak usah, Sayang. Sudah aku siapkan untukmu. Itu loh di meja," katanya."Eh, iya. Hehe."Setelah itu, Mas Feri mempersilahkanku duduk. Ia menyiapkan segelas air putih juga untukku. Katanya lebih baik minum air putih dibandingkan minuman yang lain."Yuk, kita berdoa dulu sebelum mulai makan!" ajaknya."Ayo, Mas."Mas Feri memimpin doa, lalu kami makan bersama.Aku mengambilkan tambahan lauk untuknya. Kutaruh di piringnya."Terima kasih