Hari kedua kami menikah, Mas Feri meminta izin pada orang tuaku untuk membawa aku dan anakku ke Bogor."Baiklah, jika itu yang terbaik untuk Lita, kami ikhlas melepas mereka berdua denganmu. Tapi ingat, Mas Feri harus selalu melindungi, mencintai dan menyayangi anak dan cucu saya," petuah Ayah pada Mas Feri."Iya, Ibu percaya Mas Feri orang baik. Tapi jika suatu waktu Mas Feri tergoda menyakiti anak saya, semoga Mas Feri ingat kalau Lita selalu kami perlakukan baik-baik di rumah," tambah Ibu."Iya, Yah, Bu. Saya akan selalu menjaga Lita dan Yusuf, Insya Allah. Doakan saja kami terus," ucap Mas Feri.Aku jadi meleleh mendengarnya. Semoga memang benar adanya."Bagus. Kamu memang laki-laki yang baik. Ayah sangat percaya itu!" "Terima kasih atas kepercayaannya, Yah. Kami akan berangkat siang ini. Sekarang kami akan siap-siap dulu," ucap Feri."Baik, silahkan."Aku dan Mas Feri memasukkan yang harus dibawa ke tas bawaan kami."Baju-baju tak usah kau bawa semua ya, Dek. Nanti kita beli la
"Boleh, nanti aku tunjukkan tempat kumpul suasana alam yang enak di Bogor. Kalian harus segera berkunjung, ya!" sahut Mas Feri.Aku menatapnya dari samping, deg-degan sekali melihat wajahnya yang ramah itu."Alhamdulillah, makasih tawarannya, Mas. Pasti kita ke sana nanti!"Lalu, ibu datang menghampiri kami."Lita, Zul, Mas Feri dan Gendis, yuk makan dulu! Sudah siap semuanya loh," kata Ibu."Baik, Bu." Aku mengangkat bokongku, lalu mengajak Mas Feri segera ke ruang makan. Kami berjalan sambil bergandengan tangan. Ia menggenggam tangan ini erat.Kami makan bersama berenam. Beruntung Yusuf sedang tidur.Setelah makan, aku dan Mas Feri mengeluarkan tas kami. Lalu Mas Feri dan Zul memasukkan semua ke mobil Mas Feri.Ibu mengajakku mengobrol sebentar di kamarnya."Lita, terima kasih atas semua yang kamu berikan. Kamu sudah belikan kami tanah, kamu juga sudah menyiapkan renovasi rumah buat kami. Terima kasih banyak atas pemberian darimu, Lita!" "Sama-sama, Bu. Aku hanya berbuat sedikit.
Di rest area, kami bergantian menggendong Yusuf saat salah satu diantara kami menunaikan salat. Setelah itu kami makan malam bersama."Sebentar lagi kita sampai. Kamu masih kuat melanjutkan perjalanan kan?" tanya Mas Feri."Masih, Mas. Aku amat sangat kuat. Terima kasih sudah mau membantu momong Yusuf ya, Mas!" ucapku."Itu tugasku, Dek. Yusuf kan anakku juga. Kamu tak usah seperti itu, ya!" ucap Mas Feri."Terima kasih sekali lagi, Mas!" Mas Feri tersenyum dan menganggukkan kepalanya."Kita teruskan perjalanan, yuk!" ajaknya."Ayo, Mas!"Kami melanjutkan perjalanan. Mas Feri membawa mobil dengan kecepatan sedang."Dek, kalo ngantuk tidur lagi aja. Udah malem ini," katanya."Ya, Mas. Aku sebaiknya tidur saja kalau diizinkan. Ngantuk banget ini." Aku benar-benar tak kuat melawan rasa ngantuk ini.Setelah itu aku tertidur. Mungkin sepertinya lama karena tiba-tiba Mas Feri membangunkanku kembali karena lelap tidur."Dek, sudah sampai. Ayo bangun!" Aku mendengar sayup-sayup suara Mas Fer
Kutelusuri rumah Mas Feri. Aku sampai di ruang makan, ia sedang mempersiapkan makan siang untuk kami."Mas, sedang apa?" tanyaku karena bingung mau bertanya apa lagi."Sedang menunggumu, Dek. Hehe." Dia bercanda padaku."Gombal ih." Suka sih digombalin."Sudah kusiapkan makan siang buat kita berdua, Dek. Cuma menghangatkan makanan yang ibumu bawakan saja sih. Nggak apa-apa kan, Dek?" tanyanya."Nggak apa-apa, Mas. Aku oke saja kok, Mas," jawabku.Aku menuju dapur, mau mencari piring untuk kami makan."Dek, mau kemana?""Ke dapur, ngambil piring, Mas.""Nggak usah, Sayang. Sudah aku siapkan untukmu. Itu loh di meja," katanya."Eh, iya. Hehe."Setelah itu, Mas Feri mempersilahkanku duduk. Ia menyiapkan segelas air putih juga untukku. Katanya lebih baik minum air putih dibandingkan minuman yang lain."Yuk, kita berdoa dulu sebelum mulai makan!" ajaknya."Ayo, Mas."Mas Feri memimpin doa, lalu kami makan bersama.Aku mengambilkan tambahan lauk untuknya. Kutaruh di piringnya."Terima kasih
Ternyata Bu Raya dan Keluarga sedang jalan-jalan juga. Dari situ kami memutuskan makan bersama di salah satu restoran."Alma mau makan di restoran korea aja," usulnya."Gimana yang lain? Mau?" tanya Bu Raya."Boleh," jawabku. Aku tak pernah makan ala Korea sebenarnya, tapi tak apalah kucoba untuk memakannya."Kamu nggak apa-apa, beneran?" tanya Mas Feri. Mungkin ia melihat gelagatku yang tak nyaman saat mendengar masakan Korea tadi."Nggak apa-apa, Mas. Aku memang belum pernah coba, makanya aku penasaran. Boleh, ya?" "Oke kalau gitu. Yuk, Kak!"Kami semua menuju salah satu restoran Korea.Aku memilih menu yang sama dengan Mas Feri saja yaitu Bibimbowl. Tapi kata Mas Feri, mending beda saja, jadi bisa merasakan satu sama lain.Kalau suka bisa pesan lagi nantinya. Aku pun dipilihkan jenis makanan yaitu Korean BBQ. Aku manut saja, yang penting bisa makan.Saat menyapa Bu Raya sekarang, aku harus menggunakan kata Kak Raya, atau kakak saja. Mas Feri yang menyarankan itu."Tunggu saja pesa
"Mau, boleh!" Mas Feri membuka mulutnya, kusuapkan makananku."Emmm ... enak juga yang ini," katanya. "Gurih banget ya, Dek! Cocok buat ibu menyusui," katanya ."Iya." Lalu aku menyuapinya kembali tak mau kalah."Cie kalian romantis banget." Kak Raya menanggapi.Lalu, Kak Fadhil pun menyuapi istrinya. Kak Fadhil tak segan mengadaptasi apa yang dilakukan adiknya. Kak Raya semringah. Alma juga terbahak melihat orang tua yang saling menyuapi."Aku disuapi juga dong, Pa!" pinta Alma."Boleh, sebentar." Kak Fadhil mengambilkan makanan untuk Alma. Alma senang ia disuapi papanya.Acara makan kami sangat menyenangkan. Lalu ada laki-laki menyapa Mas Feri. Ketika aku menoleh ke sumber suara, orang itu adalah Andi."Eh, Andi lagi ngapain di sini?" tanya Mas Feri pada Andi yang sedang berdua dengan seorang wanita."Habis makan, Pak," jawabnya sambil melirik kearahku. "Maaf Pak saya nggak bisa ikut ke nikahan bapak kemarin."Aku bingung kenapa mereka saling kenal? Tapi aku diam saja untuk menutu
Aku melihat siapa yang memanggilku, Alhamdulillah aman. Ternyata dari Zul. Ada apa ya? Segera kuangkat teleponnya.Mas Feri beranjak ke luar kamar, mungkin ia tau aku harus mengangkat telepon ini."Assalamualaikum. Mbak, gimana kabarnya?""Baik, Zul. Alhamdulillah. Ada apa Zul? Mbak kaget tiba-tiba kamu menelepon gini," jawabku."Aku cuma mau mengabarkan sesuatu padamu, Mbak.""Ada apa, Zul?""Aku mendengar, kalau seluruh aset Mas Arman habis," ucap Zul."Tau dari mana kamu, Zul?""Semua orang membicarakan Arman dan keluarganya di sini. Trus, sekarang Mas Arman mendekam di jeruji besi, karena banyak yang melaporkan atas kasus penipuan dan penggelapan uang.""Astaghfirullah. Mas Arman tak pernah puas mengumpulkan harta. Padahal hartanya sudah banyak kemarin.""Ya Mbak, yang melaporkan termasuk mantan istrinya juga, Bu Via," katanya."Ya Allah, aku turut prihatin juga dengan keadaan Mas Arman. Mudah-mudahan dia diberi hidayah Allah ya Zul.""Nggak tau deh. Aku sih seneng aja liatnya. Be
"Betul. Aku mengapresiasi kejujuranmu kemarin. Kamu sudah berani bercerita padaku. Terima kasih ya, Dek!""Sama-sama, Mas. Aku pun masih belajar. Tolong ingatkan aku jika salah ya, Mas!" ucapku."Iya, Dek. Aku pun, tolong ingatkan aku. Karena pernikahan tak hanya hal yang manis, yang pahit pun pasti kan hadir. Komitmen yang kuatlah yang akan membuatnya bertahan.""Semoga aku bisa memegang komitmen itu ya, Mas!""Insya Allah, Dek. Kita sama-sama belajar ya!"Saat kami sudah saling berjanji, tak lama Mas Andi meneleponku. "Mas, ini Mas Andi meneleponku.""Kamu belum ganti nomor, Dek?""Belum, Mas. Kan kita di rumah terus, Mas," ucapku."Ya sudah, aku yang mengangkat saja."Aku takut Mas Feri marah-marah pada Mas Andi."Halo Andi, ada apa ya?" Aku tak mendengar jawaban Mas Andi. Hanya perkataan Mas Feri yang kudengar."Aku sudah tau mengenai masa lalu kamu dan istriku. Jadi, kumohon kamu tak usah menghubunginya lagi. Dia istriku, takkan kubiarkan bila diganggu oleh laki-laki lain." Per
"Iya, Dek. Terima kasih, ya!" jawabnya.Pada akhirnya Mas Fadhil sembuh setelah pengobatan selama setahun. Dari sana, ia mulai semangat mencari pekerjaan lagi. Aku memotivasinya terus, sehingga ia mendapat pekerjaan lagi."Terima kasih, Dek, atas semangatmu selama ini," ucapnya sembari tersenyum bahagia."Sama-sama, Mas. Itu udah kewajibanku sebagai istri," jawabku pelan.***Hari ini, Lita dan Feri berencana mengunjugi pesantren tahfidz. Mereka akan mendonasikan rezeki berupa Al Qur'an dan makanan untuk anak-anak.Mereka sangat senang atas kedatangan donatur. Biasanya kami memang membuka peluang untuk para donatur yang mau berdonasi.Anak-anak bersyukur atas nikmat Allah karena mereka bisa mendapatkan berbagai nikmat, salah satunya bisa membaca Al Qur'an dan makan enak. Memang kalau sesehari, menunya makanan rumah biasa. Namun mereka senang ketika ada donatur yang membawakan makanan favorit anak-anak."Lita, Feri terima kasih atas dukungan kalian. Tau nggak Lit, Feri ini donatur tet
Bu RayaAku sangat senang dengan pernikahan Feri dan Lita. Mereka berdua sangat cocok. Aku tak sembarangan memilihkan Feri calon istri.Sebelumnya aku sudah memperdalam perkenalanku dengan Lita. Ia wanita yang baik, tulus dan ikhlas menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga berpengetahuan luas walau dari kampung serta mau belajar. Buktinya bisnisnya berkembang dengan cepat. Aku terpesona dengan kegigihannya berusaha.Sementara adikku Feri seorang laki-laki yang mencintai istrinya. Ia sempat terpikir untuk tak menikah lagi dengan wanita selain Istrinya. Namun menurutku ia harus mencari pendamping lagi karena masih muda dan untuk mendapatkan keturunan.Setelah merayu, memberikan dalil serta bukti kata-kata dari mendiang istrinya--Rani untuknya, ia pun mau menuruti perkataanku.Aku bilang wanita ini mungkin pendidikannya tak setinggi kamu, tapi ada poin penting lain dari dia yaitu attitude atau sikapnya."Jika benar demikian, aku akan ikuti, Kak," katanya saat itu.Sekaran
Hari ini kami mengunjungi pesantren tahfidz milik Kak Raya. Mas Feri dan aku rencananya akan mewakafkan sejumlah Al Qur'an untuk pesantren ini. Karena pahala dari wakaf ini akan terus mengalir.Apalagi jika Al Qur'an ini dibaca terus oleh para penghafalnya. Luar biasa pahalanya mengalir bagi kami.Selain itu, kami bawakan juga bahan makanan untuk menambah energi mereka dalam menghafal. Anak-anak harus didukung juga oleh makanan yang bergizi agar hafalan mereka terjaga dan meningkat.Saat di sana, kami berdiskusi bersama anak-anak yang sudah berada di sana selama beberapa bulan ini."Kami sangat terbantu dengan pesantren ini. Terima kasih pada Pak Fadhil dan Bu Raya sebagai pemilik pondok pesantren ini serta para donatur seperti Pak Feri dan Bu Lita. Doakan kami semoga Istiqomah dalam menghafal," ucap Yudi. Ia merupakan penghuni pesantren paling besar diantara yang lain. "Sama-sama, Yudi. Semoga Yudi segera menjadi seorang hafidz. Sudah tinggal berapa juz lagi yang belum dihafal?" ta
'Benarkah Mas Feri paham dengan isi hatiku?'Semoga saja ia paham dan selalu berbuat baik padaku.***Tak terasa pernikahan kami sudah berjalan satu tahun. Farhan pun sudah berumur setahun lebih.Mas Feri laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Alhamdulillah Allah berikan suami yang baik setelah ujian yang menimpaku.Aku dan Mas Feri sengaja menunda dulu keinginan kami untuk punya anak. Kami membesarkan Yusuf terlebih dahulu. Ia juga sungguh menggemaskan."Dek, kamu makan dulu sana. Biar aku yang jagain Yusuf, ya!" Saat Mas Feri pulang kerja, lalu sudah mandi, ia menyuruhku makan duluan."Kita makan barengan aja, Mas. Biar Yusuf aku yang gendong," ucapku."Nggak, Dek. Yusuf biar aku saya yang pegang dulu. Aku tau kamu seharian sudah berjibaku dengan pekerjaan rumah. Aku hanya membantu mengasuh Yusuf saja," katanya.Memang awalnya kami memakai asisten rumah tangga. Tapi, ternyata ia tidak jujur. Hingga aku memutuskan mengerjakan semua sendiri. Alhamdulillah aku bisa melakukannya. Mu
"Betul. Aku mengapresiasi kejujuranmu kemarin. Kamu sudah berani bercerita padaku. Terima kasih ya, Dek!""Sama-sama, Mas. Aku pun masih belajar. Tolong ingatkan aku jika salah ya, Mas!" ucapku."Iya, Dek. Aku pun, tolong ingatkan aku. Karena pernikahan tak hanya hal yang manis, yang pahit pun pasti kan hadir. Komitmen yang kuatlah yang akan membuatnya bertahan.""Semoga aku bisa memegang komitmen itu ya, Mas!""Insya Allah, Dek. Kita sama-sama belajar ya!"Saat kami sudah saling berjanji, tak lama Mas Andi meneleponku. "Mas, ini Mas Andi meneleponku.""Kamu belum ganti nomor, Dek?""Belum, Mas. Kan kita di rumah terus, Mas," ucapku."Ya sudah, aku yang mengangkat saja."Aku takut Mas Feri marah-marah pada Mas Andi."Halo Andi, ada apa ya?" Aku tak mendengar jawaban Mas Andi. Hanya perkataan Mas Feri yang kudengar."Aku sudah tau mengenai masa lalu kamu dan istriku. Jadi, kumohon kamu tak usah menghubunginya lagi. Dia istriku, takkan kubiarkan bila diganggu oleh laki-laki lain." Per
Aku melihat siapa yang memanggilku, Alhamdulillah aman. Ternyata dari Zul. Ada apa ya? Segera kuangkat teleponnya.Mas Feri beranjak ke luar kamar, mungkin ia tau aku harus mengangkat telepon ini."Assalamualaikum. Mbak, gimana kabarnya?""Baik, Zul. Alhamdulillah. Ada apa Zul? Mbak kaget tiba-tiba kamu menelepon gini," jawabku."Aku cuma mau mengabarkan sesuatu padamu, Mbak.""Ada apa, Zul?""Aku mendengar, kalau seluruh aset Mas Arman habis," ucap Zul."Tau dari mana kamu, Zul?""Semua orang membicarakan Arman dan keluarganya di sini. Trus, sekarang Mas Arman mendekam di jeruji besi, karena banyak yang melaporkan atas kasus penipuan dan penggelapan uang.""Astaghfirullah. Mas Arman tak pernah puas mengumpulkan harta. Padahal hartanya sudah banyak kemarin.""Ya Mbak, yang melaporkan termasuk mantan istrinya juga, Bu Via," katanya."Ya Allah, aku turut prihatin juga dengan keadaan Mas Arman. Mudah-mudahan dia diberi hidayah Allah ya Zul.""Nggak tau deh. Aku sih seneng aja liatnya. Be
"Mau, boleh!" Mas Feri membuka mulutnya, kusuapkan makananku."Emmm ... enak juga yang ini," katanya. "Gurih banget ya, Dek! Cocok buat ibu menyusui," katanya ."Iya." Lalu aku menyuapinya kembali tak mau kalah."Cie kalian romantis banget." Kak Raya menanggapi.Lalu, Kak Fadhil pun menyuapi istrinya. Kak Fadhil tak segan mengadaptasi apa yang dilakukan adiknya. Kak Raya semringah. Alma juga terbahak melihat orang tua yang saling menyuapi."Aku disuapi juga dong, Pa!" pinta Alma."Boleh, sebentar." Kak Fadhil mengambilkan makanan untuk Alma. Alma senang ia disuapi papanya.Acara makan kami sangat menyenangkan. Lalu ada laki-laki menyapa Mas Feri. Ketika aku menoleh ke sumber suara, orang itu adalah Andi."Eh, Andi lagi ngapain di sini?" tanya Mas Feri pada Andi yang sedang berdua dengan seorang wanita."Habis makan, Pak," jawabnya sambil melirik kearahku. "Maaf Pak saya nggak bisa ikut ke nikahan bapak kemarin."Aku bingung kenapa mereka saling kenal? Tapi aku diam saja untuk menutu
Ternyata Bu Raya dan Keluarga sedang jalan-jalan juga. Dari situ kami memutuskan makan bersama di salah satu restoran."Alma mau makan di restoran korea aja," usulnya."Gimana yang lain? Mau?" tanya Bu Raya."Boleh," jawabku. Aku tak pernah makan ala Korea sebenarnya, tapi tak apalah kucoba untuk memakannya."Kamu nggak apa-apa, beneran?" tanya Mas Feri. Mungkin ia melihat gelagatku yang tak nyaman saat mendengar masakan Korea tadi."Nggak apa-apa, Mas. Aku memang belum pernah coba, makanya aku penasaran. Boleh, ya?" "Oke kalau gitu. Yuk, Kak!"Kami semua menuju salah satu restoran Korea.Aku memilih menu yang sama dengan Mas Feri saja yaitu Bibimbowl. Tapi kata Mas Feri, mending beda saja, jadi bisa merasakan satu sama lain.Kalau suka bisa pesan lagi nantinya. Aku pun dipilihkan jenis makanan yaitu Korean BBQ. Aku manut saja, yang penting bisa makan.Saat menyapa Bu Raya sekarang, aku harus menggunakan kata Kak Raya, atau kakak saja. Mas Feri yang menyarankan itu."Tunggu saja pesa
Kutelusuri rumah Mas Feri. Aku sampai di ruang makan, ia sedang mempersiapkan makan siang untuk kami."Mas, sedang apa?" tanyaku karena bingung mau bertanya apa lagi."Sedang menunggumu, Dek. Hehe." Dia bercanda padaku."Gombal ih." Suka sih digombalin."Sudah kusiapkan makan siang buat kita berdua, Dek. Cuma menghangatkan makanan yang ibumu bawakan saja sih. Nggak apa-apa kan, Dek?" tanyanya."Nggak apa-apa, Mas. Aku oke saja kok, Mas," jawabku.Aku menuju dapur, mau mencari piring untuk kami makan."Dek, mau kemana?""Ke dapur, ngambil piring, Mas.""Nggak usah, Sayang. Sudah aku siapkan untukmu. Itu loh di meja," katanya."Eh, iya. Hehe."Setelah itu, Mas Feri mempersilahkanku duduk. Ia menyiapkan segelas air putih juga untukku. Katanya lebih baik minum air putih dibandingkan minuman yang lain."Yuk, kita berdoa dulu sebelum mulai makan!" ajaknya."Ayo, Mas."Mas Feri memimpin doa, lalu kami makan bersama.Aku mengambilkan tambahan lauk untuknya. Kutaruh di piringnya."Terima kasih