"Bukan, Bu. Aku sudah punya bisnis kok. Ikut Bu Raya juga sih. Tapi ini murni bisnisku. Alhamdulillah hasilnya sudah terlihat. Aku akan membeli tanah Pakle.""Masya Allah, Lita. Kamu kan sedang hamil gini. Gimana cara bisnisnya?" tanya Ibu."Aku kan bisnis online, Bu. Cuma pake hape ini aja!" Aku sengaja perlihatkan ponsel ke ibu. "Ini pemberian Bu Raya loh, Bu.""Ya Allah. Memang Arman nggak membelikanmu hape baru Nduk?" "Nggak, Bu. Dia nggak pernah mau belikan hape baru padaku. Udah ah, males aku bicarakan dia."Nggak lama ada yang ketuk pintu depan."Siapa sih pagi-pagi sudah ada yang bertamu?""Buka saja, Yah," usul Ibu.Pintu dibuka, ternyata Mas Arman."Yah, ada Lita di sini?" tiba-tiba saja dia menanyakan aku.Aku takut, langsung masuk ke kamar."Bu, aku nggak mau ketemu Mas Arman. Dia sudah berkali-kali Mai menyakitiku. Aku mohon, Bu!" Ibu mengangguk, lalu mendekati Ayah yang sedang berdiri di depan pintu.Kamar langsung kukunci. Tak mau mendengar suaranya. Langsung kututup
Ibu yang panik segera memapahku ke dalam rumah. Aku tak bisa diam, langsung dibawa jalan bolak-balik. Kuminta Ibu untuk menyiapkan segala keperluan untuk bersalin. Kami harus segera ke bidan.Zul, Gendis dan ibu mengantarkanku ke bidan terdekat. "Mbak, biar kami ikut mengantar!" Gendis memapahku masuk ke dalam mobil."Iya, Ndis. Makasih banyak. Kebetulan sekali kalian sedang mampir. Aku jadi tertolong," pujiku."Semua sudah diatur Gusti Allah, Mbak," jawab Zul. Kami di mobil hanya sebentar, jarak rumah ibu ke rumah bidan hanya sekitar 500 meter saja.Setelah sampai, aku langsung ditangani oleh bidan dan asistennya. Diperiksalah aku, katanya sudah masuk pembukaan lima, sebentar lagi.Dengan setia ibu dan Gendis mendampingiku, sementara Zul menunggu di luar.Segera bidan menginfusku, lalu aku diminta tarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa kali mengejan, bayi pun lahir. Alhamdulillah, Masya Allah."Selamat bayi anda laki-laki, Bu!" ucap Bidan."Alhamdulillah," jawabku.Ayahnya mana?
"Sudah, Bu. Terima kasih atas semua kasih sayangmu, Bu. Aku senang bisa lahiran di sini.""Sudah tugas ibu, Nduk. Kamu nggak usah seperti itu. Yang penting kamu cepet sehat, ya!" Ibu membelai wajahku. Air matanya menetes. Lalu ibu mengambil bayiku. Ia memandang wajahnya."Nduk, bayimu amat lucu. Ibu senang akhirnya kamu jadi seorang ibu. Kamu harus tetap semangat demi bayimu, Nduk!""Iya, Bu. Makasih ya. Pasti aku tetap semangat.""Calon suamimu kok nggak ada kabar lagi, Nduk? Dia niat nggak sih nikahin kamu?" tanya ibu."Mungkin masih menunggu aku pulih, Bu. Aku juga nggak tau mereka akan ke sini lagi kapan. Aku pasrah saja, Bu. Insya Allah kalau jodoh, pasti semua akan datang. Aku minta doa ibu saja, ya!""Iya, benar. Ibu setuju denganmu, Nduk. Moga Allah berikan yang terbaik untukmu. Kamu bisa bahagia. Ibu ingin melihatmu bahagia, Nduk," katanya."Saat ini pun aku sudah bahagia, Bu. Karena berada denganmu, di sini. Aku sangat senang."Ibu menghela napasnya."Tapi, ibu lihat kamu g
"Assalamualaikum. Lita apa kabar?" Bu Raya yang meneleponku."Waalaikumsalam. Baik, Bu. Bagaimana kabarnya?" tanyaku."Alhamdulillah baik, Lita. Kamu gimana? Anakmu sudah bisa apa?" "Alhamdulillah baik, Bu. Anakku sekarang bisa menatap ibunya. Aku senang, Bu.""Alhamdulillah, ya, saya jadi pengen ketemu!""Iya, Bu.""Oya, Lita, pekan depan kami mau ke sana untuk serahan. Kalau bisa kalian menikah secepatnya," ucap Bu Raya."Baik, Bu, Insya Allah. Kan nanti tergantung kesepakatan, Bu," ucapku."Iya, nanti saya usulkan waktunya sama orang tuamu," ucap Bu Raya."Iya, Bu. Terima kasih, ya!" "Sama-sama, Bu."Setelah menjawab telepon dari Bu Raya, rasanya terjawab sudah teka-teki dalam hidupku. Segera kuberitau ibu agar ia mendengar kabar bahagia dariku. Ibu sedang sibuk beberes rumah. Itulah ibuku, rajin, telaten dan ia selalu ingin membuat rumah sederhana ini nampak indah."Bu, kita bicara yuk di kursi!" ajakku."Ada apa, Nduk?" Ibu berdiri setelah posisi duduk. Ia sedang mengelap bara
"Maaf, Lita. Ibu malah termakan omongan orang-orang. Semoga kamu mau memaafkan aku, Lita. Kamu yang mengalaminya pasti merasakan trauma.""Aku sudah berusaha menghilangkan kenangan itu. Mas Arman selalu mengejar-ngejar aku lagi. Padahal istrinya kemarin sedang hamil juga, sama sepertiku.""Sabar, ya, Lita. Maafkan Bu Wati, ya!""Iya, Bu. Maaf juga aku kalau ada kata yang tak berkenan saat menjelaskan. Silahkan ibu teruskan masaknya. Aku ke dalam dulu," pamitku.Ibu dan Bu Wati memasak kembali, rasanya plong sudah menjelaskan semuanya.***Hari yang dinantikan datang. Aku menunggu keluarga Mas Feri datang. Tak lama rombongan keluarga Bu Raya datang.Aku langsung menyalami semua, dan mempersilahkan masuk. Ada Mbak Nur dan Eka juga yang ikut datang.Mereka membawa bawaan yang banyak. Aneka makanan dan barang. Aku jadi terkesima oleh bawaan yang banyak itu.Para tetangga memperhatikan kami, mereka saling berbisik saat melihat rombongan yang menurunkan bawaan mereka.Kami mengundang Pak RT
Aku melihat dari dalam, ternyata Mas Arman yang datang. Ia berteriak-teriak di luar, bikin malu aku saja.Ayah dan Zul yang keluar mendekati dia. Ternyata Mas Arman dibawah pengaruh minuman keras. Sejak kapan ia kenal dengan minuman? Dulu ia tak pernah sekalipun minum minuman keras. Saat ini mungkin segalanya sudah ia raih. Uang, rumah, kendaraan, sawah, semua sudah ia punya, kecuali cinta. Kurasa hidupnya hampa sekarang. Atau mungkin ia baru sadar kalau istri itu sangat penting dalam hidupnya. Tapi kan Bu Via istri yang sempurna. Ia pun mungkin sudah melahirkan anak Mas Arman. Mas Arman terus saja meracau, ia mengatakan berbagai hal yang membuatku naik darah."Lita itu pengkhianat. Ia malah kabur saat menikah denganku. Dan ternyata pacarnya adik wanita itu. Wanita yang selalu menolongnya yang bernama Raya," katanya.Ayah dan Zul berusaha menghalau Mas Arman yang akan masuk ke rumah kami. Pak RT dan Pak RW pun tak tinggal diam. Mereka menghubungi pihak berwajib yaitu Babinkamtibmas
"Lita, semangat terus. Kami ke sini lagi bulan depan. Nanti kita telponan aja ya kalau ada sesuatu yang kamu minta dari Feri," katanya."Baik, Bu. Terima kasih."Bu Raya menyalami orang tuaku, Zul dan Gendis. Yusuf tak kubawa karena sedang tidur."Dah, hati-hati Alma!""Iya, Tante Lita. Nanti aku ke sini lagi, ya!" katanya.Lalu kedua sahabatku Mbak Nur dan Eka."Lita, kami pulang dulu. Kamu baik-baik, ya. Insya Allah kita ikut lagi nanti. Jangan bosen-bosen liat kami. Doakan Eka biar dapat jodoh jug tuh!" kata Mbak Nur terkekeh.Eka langsung menyenggol Mbak Nur yang ada di sebelahnya. Aku jadi bisa tertawa mendengar obrolan mereka."Hati-hati dijalan, semua!" Aku melambaikan tangan saat mobil mereka mulai bergerak.Tak terasa air mata ini menetes. Entah rasa terharu atau rasa ingin diperhatikan, tapi tidak. Aaarrrggghhh ... Aku tuh ya jadi perempuan kok gampang nangis aja?Buru-buru kupasang senyum sebelum masuk ke dalam. Ibu dan yang lainnya sudah masuk dari tadi. Kuhela napas perl
Terdengar suara Ayah dan Ayahnya Mas Arman."Kami mau mengambil cucu kami dari Lita," katanya."Nggak bisa. Yusuf masih bayi. Moso harus berpisah dengan ibunya," jawab Ayah."Kan Lita mau nikah lagi, pasti nanti Yusuf nggak diakui suami baru Lita. Mending kami aja yang urus," balas Ibu Mas Arman.Ibu geram, ia menghampiri mereka juga setelah menenangkanku. Ternyata mereka memang ada niat tertentu. Ingin mengambil Yusuf. Padahal mereka kemarin menyebarkan gosip tak sedap tentangku. Sungguh tak tau malunya mereka.Belum lagi perbuatan Mas Arman tadi pagi yang bikin semua gempar. Bukannya ngurusin anaknya yang selalu bikin ulah, malah mau mengambil anakku. Itu tak mungkin kuturuti. Aku kan mempertahankan Yusuf sampai kapanpun."Mohon maaf Pak, Bu, bayi baru lahir itu harus bersama ibunya. Tak ada hak kalian untuk mengambilnya dari Lita. Kalau mau lihat atau jenguk itu boleh. Tapi tak boleh diambil, karena Yusuf harus menyusu ibunya, harus dalam pengasuhan ibunya juga," jelas ibu.Terny