Sore ini aku tak berniat pulang. Aku kesal dengan Lita. Tapi sudah kuancam dia. Wanita itu sekarang banyak tingkah. Banyak menuntut, yang katanya mau diajak susah agar keinginanku tercapai. Rencananya aku ingin punya rumah, sawah, kendaraan sebelum usiaku 30 tahun.Nyatanya? Dia menuntut banyak. Minta uang belanjanya dinaikin lah, nuntut masalah baju yang banyak tambalan, serta sudah berani mendatangi tokoku, lalu sok tau memarahi Via--janda kembang pujaanku.Selain cantik, Via adalah wanita kaya. Memang umurnya di atasku, tapi dia tak terlihat tua. Mungkin karena belum punya anak juga.Baru beberapa hari ini aku menikahi Via. Dia adalah supliyer beras tokoku. Tadinya aku kenal suaminya, lama-lama kenal istrinya. Tak lama, ia berpisah dengan suaminya. Via jadi dekat denganku. Aku bagaikan siraman air hujan di tanah yang tandus baginya. Kehadiranku sangat tepat, aku selalu menghiburnya. Ia pun berterima kasih karena aku mau di dekatnya.Via memang lebih menarik dari Lita. Tapi menur
"Mmm ... Gimana ya? Ya udah nggak apa-apa kalau gitu. Tapi ... kasian kamu ya, sayang. Kontrakan itu tak layak untukmu, suamiku," ucap Via. Ia sepertinya masuk perangkapku. 'Ayolah, Via. Kau tawarkan saja rumahmu yang satu lagi,' harapku."Iya. Tak apalah. Yang penting ketika jadwalmu, aku ada di sisimu, Sayang!" balasku."Begini deh. Mending kamu ajak Lita tinggal di rumahku yang satunya. Di sana nggak terlalu jauh dari rumahku juga. Dan kamu lebih dekat ke pasar," katanya.'Kamu masuk juga dalam perangkapku, Sayang,' batinku."Jangan deh, nanti gimana anggepan keluarga suamimu. Eh, semua punya mantan suamimu, kan?" tanyaku penasaran."Nggak, Sayang. Semua sudah atas namaku. Mas Surya tiap punya aset menamainya atas namaku," katanya. Itu membuatku sangat bahagia.'Yeaaaay aku jadi orang kaya!' batinku tertawa gembira."Oh begitu. Syukurlah kalau gitu. Nggak bakal ada yang komplain nanti, ya!" ujarku."Iya, lah, Mas. Siapa yang mau komplain? Mantan suamiku sudah tak ada urusan lagi d
Aku masih takut keluar kontrakan. Takutnya Mas Arman mencariku, aku harus bersembunyi dulu, agar semua aman.[Bu, saya tak ke rumah ibu lagi yaa hari ini. Kalau ada pesanan dari saya, nanti tolong dikemas seperti biasa ya Bu. Saya bayarnya seperti biasa, belakangan.]Tak lama Bu Raya malah menelepon."Halo, Lita, kamu dimana? Saya khawatir padamu, Lit!" seru Bu Raya."Saya di kontrakan baru, Bu. Saya sudah ke pengadilan kemarin. Saya pun sudah meninggalkan rumah itu," jawabku berusaha tenang."Ya Allah, Lita. Kamu berjuang sendirian. Nanti kamu kirim alamat barumu, biar saya kirim makanan ke sana," kata Bu Raya."Lumayan jauh, Bu. Saya nggak tega nanti Bu Raya harus ke sini," jawabku padanya."Tenang aja, Lita. Bukan saya yang akan mengirimkan, paling nanti saya nyuruh ART untuk ke sana," ucap Bu Raya."Baiklah, Bu. Nanti saya kirim lokasinya di WhatsApp," jawabku."Oke , secepatnya ya! Karenasaya mau kirim makanan buatmu, saya tau kamu pasti ketakutan kalau keluar rumah, iya kan?" ta
Tak lama ada pesan lagi.[Dasar wanita tak bersyukur. Aku sudah cari cara mudah biar kita cepat kaya, kamu malah pergi.]Tak kubalas pesannya. Ia pasti mengirimkan SMS lagi nanti.[Lita, kamu kalau nggak balas keterlaluan. Aku masih suamimu.][Tau! Tapi aku tak butuh kamu, Mas. Aku sudah tak mau hidup bersamamu. Sejak menikah denganmu, aku tak punya apapun. Uang sepeserpun tak ada. Aset semua atas namamu, Mas! Apa aku harus tetap percaya padamu? Rasanya tidak deh.] Itu jawabanku atas SMS-nya .***Kutengok rekeningku. Isinya lumayan banyak, tapi aku harus transfer ke rekening Bu Raya untuk sejumlah barang yang telah kuorder.[Bu, sudah kutransfer untuk barang seminggu yang lalu, ya!][Iya, Lita. Terima kasih, ya!][Sama-sama, Bu.]Aku hampir lupa kalau hari ini jadwal sidangku. Dalam sidang perdana ini aku merasa deg-degan. Mas Arman datang bersama Bu Via. Kami duduk bersebelahan. Bu Via tidak ikut masuk, ia menunggu di luar.Mas Arman menatapku tajam dari samping, aku tau dari ekor
Sepulang dari rumah Bu Raya, aku menyusuri jalan menuju kontrakan. Tak lama ada sebuah tangan yang menarikku."Lita, ikutlah denganku! Kamu lihat dulu rumah baru kita. Aku sudah mengajukan banding, aku tak setuju dengan perceraian ini!" bentaknya seraya memegangi sebelah tanganku.Aku mencoba melepaskan genggaman tangan ini. Kurasa Mas Arman sudah keterlaluan, putusan cerai sudah keluar. Namun, memang untuk pengajuan banding masih bisa.Tak bisa kubayangkan jika banding dari Mas Arman diterima oleh hakim, dan kami tak jadi bercerai."Nggak mau, Mas. Aku lebih baik di sini saja. Aku tak mau bersamamu lagi. Sudah cukup pengalaman dulu. Semua sudah jadi kenangan, Mas!" tolakku.Aku berusaha melepaskan tangannya, tapi tetap tak bisa. Ia memasukkanku ke dalam mobil."Mas, mau kemana kita? Kamu nggak jualan? Kok malah kelayaban gini, Mas?" tanyaku yang khawatir dengan perilakunya saat ini.Mas Arman duduk di kursi belakang bersamaku. Ia terus memegangi sebelah tanganku."Lihat saja nanti. A
"Suami ibu sudah menculik mantan istrinya barusan."Bu Via melihat ke arahku. Lalu ia menemuiku."Apa benar, Mas Arman menculikmu? Tolong bilang kalau semua tidak benar! Aku akan memberimu imbalan uang yang banyak!" bisiknya padaku.Aku bingung. Aku pun tak ingin melihat Mas Arman di penjara. Walau bagaimanapun dia ayah dari anakku.Dua orang laki-laki itu akan membawanya. Lalu, Bu Via mengkodekan agar aku mencegahnya."Tunggu, Pak! Jangan bawa laki-laki itu!" sergahku.Mereka diam, aku menghampiri mereka yang akan memasuki mobil."Aku yang sengaja datang ke sini, aku tak diculik, Pak. Akulah yang ingin ikut dengannya!"Kedua polisi itu memandangku. Mereka pun saling pandang."Jadi, kami salah telah menangkapnya?" tanya salah satu polisi."Iya, Pak. Dia tak melakukan apapun padaku!""Orang yang melaporkan kasus ini berarti nanti yang akan menjadi tersangka karena mencemarkan nama baik tersangka ini," ucap salah satu Polisi.Aku jadi bingung, karena pasti Bu Raya yang melaporkannya tad
Aku menengok ke belakang, ternyata memang dia lagi--Bu Via."Eh, Raya, kenapa kamu jalan sama perempuan ini?" tanya Bu Via pada Bu Raya yang sedang makan bersamaku."Dia temanku, Via!" jawab Bu Raya."Apa? Masa temanmu tak selevel gini, Ya? Carilah teman selevel denganmu kan banyak!" ucap Bu Via. "Dia itu cuma seorang yang baru menggugat cerai suaminya karena suaminya berpaling. Lihatlah, dia tak pantas pula makan di sini!" Bu Via tetap bicara tak ada hentinya.Bu Raya yang sedang makan dengan tenang kemudian menghela napas. Ia tersenyum ke arah Bu Via."Maaf, di mata Allah semua orang memiliki level yang sama, yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Jadi, walau menurutmu status sosial adalah level, tapi menurut Tuhanmu itu enggak seperti itu," jawab Bu Raya tenang. Lalu ia meminum air putihnya.Bu Via menelan ludahnya. Ia melebarkan matanya padaku. Aku mengalihkan pandangan, berharap tak bersitatap dengannya lagi."Tak usahlah kamu menjadi jahat karena seorang laki-laki jahat itu." Bu
"Ibu sudah kangen banget sama kamu, Mbak!" katanya."Kenapa emang?" "Ibu memaksa ingin ke Bogor. Katanya nanti kepengen sambil jalan-jalan juga," katanya.Aku bingung. Mereka belum tau mengenai perceraian ini. Apa aku harus memberitahu sekarang, atau nanti ketika mereka datang?"Mbak, jawab dong! Jangan diem aja!" ucap Zul."Oh ... iya Zul. Ya sudah kalian ke sini saja. Aku tunggu ya!" Aku mengizinkan. Biarlah nanti aku katakan yang sebenarnya ketika mereka datang."Baiklah, Mbak. Akhirnya Mbakku ngomong. Ya udah, nanti mbak siapkan suguhan spesial buat kami, ya!" katanya."Baiklah, insya Allah," jawabku.Lalu aku berencana belanja hari ini. Di kontrakanku masih minim barang juga. Aku harus berbelanja, agar mereka melihatku hidup senang dan sehat sehingga nanti Ibu tidak menyuruhku pulang.Aku khawatir jika aku masih terlihat susah, mereka sedih dan khawatir. Padahal wajah sudah lebih cantik dan badanku sudah lebih berisi.Aku bersiap-siap untuk ke pasar. Lalu, Bu Raya sudah mengirim
"Iya, Dek. Terima kasih, ya!" jawabnya.Pada akhirnya Mas Fadhil sembuh setelah pengobatan selama setahun. Dari sana, ia mulai semangat mencari pekerjaan lagi. Aku memotivasinya terus, sehingga ia mendapat pekerjaan lagi."Terima kasih, Dek, atas semangatmu selama ini," ucapnya sembari tersenyum bahagia."Sama-sama, Mas. Itu udah kewajibanku sebagai istri," jawabku pelan.***Hari ini, Lita dan Feri berencana mengunjugi pesantren tahfidz. Mereka akan mendonasikan rezeki berupa Al Qur'an dan makanan untuk anak-anak.Mereka sangat senang atas kedatangan donatur. Biasanya kami memang membuka peluang untuk para donatur yang mau berdonasi.Anak-anak bersyukur atas nikmat Allah karena mereka bisa mendapatkan berbagai nikmat, salah satunya bisa membaca Al Qur'an dan makan enak. Memang kalau sesehari, menunya makanan rumah biasa. Namun mereka senang ketika ada donatur yang membawakan makanan favorit anak-anak."Lita, Feri terima kasih atas dukungan kalian. Tau nggak Lit, Feri ini donatur tet
Bu RayaAku sangat senang dengan pernikahan Feri dan Lita. Mereka berdua sangat cocok. Aku tak sembarangan memilihkan Feri calon istri.Sebelumnya aku sudah memperdalam perkenalanku dengan Lita. Ia wanita yang baik, tulus dan ikhlas menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia juga berpengetahuan luas walau dari kampung serta mau belajar. Buktinya bisnisnya berkembang dengan cepat. Aku terpesona dengan kegigihannya berusaha.Sementara adikku Feri seorang laki-laki yang mencintai istrinya. Ia sempat terpikir untuk tak menikah lagi dengan wanita selain Istrinya. Namun menurutku ia harus mencari pendamping lagi karena masih muda dan untuk mendapatkan keturunan.Setelah merayu, memberikan dalil serta bukti kata-kata dari mendiang istrinya--Rani untuknya, ia pun mau menuruti perkataanku.Aku bilang wanita ini mungkin pendidikannya tak setinggi kamu, tapi ada poin penting lain dari dia yaitu attitude atau sikapnya."Jika benar demikian, aku akan ikuti, Kak," katanya saat itu.Sekaran
Hari ini kami mengunjungi pesantren tahfidz milik Kak Raya. Mas Feri dan aku rencananya akan mewakafkan sejumlah Al Qur'an untuk pesantren ini. Karena pahala dari wakaf ini akan terus mengalir.Apalagi jika Al Qur'an ini dibaca terus oleh para penghafalnya. Luar biasa pahalanya mengalir bagi kami.Selain itu, kami bawakan juga bahan makanan untuk menambah energi mereka dalam menghafal. Anak-anak harus didukung juga oleh makanan yang bergizi agar hafalan mereka terjaga dan meningkat.Saat di sana, kami berdiskusi bersama anak-anak yang sudah berada di sana selama beberapa bulan ini."Kami sangat terbantu dengan pesantren ini. Terima kasih pada Pak Fadhil dan Bu Raya sebagai pemilik pondok pesantren ini serta para donatur seperti Pak Feri dan Bu Lita. Doakan kami semoga Istiqomah dalam menghafal," ucap Yudi. Ia merupakan penghuni pesantren paling besar diantara yang lain. "Sama-sama, Yudi. Semoga Yudi segera menjadi seorang hafidz. Sudah tinggal berapa juz lagi yang belum dihafal?" ta
'Benarkah Mas Feri paham dengan isi hatiku?'Semoga saja ia paham dan selalu berbuat baik padaku.***Tak terasa pernikahan kami sudah berjalan satu tahun. Farhan pun sudah berumur setahun lebih.Mas Feri laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Alhamdulillah Allah berikan suami yang baik setelah ujian yang menimpaku.Aku dan Mas Feri sengaja menunda dulu keinginan kami untuk punya anak. Kami membesarkan Yusuf terlebih dahulu. Ia juga sungguh menggemaskan."Dek, kamu makan dulu sana. Biar aku yang jagain Yusuf, ya!" Saat Mas Feri pulang kerja, lalu sudah mandi, ia menyuruhku makan duluan."Kita makan barengan aja, Mas. Biar Yusuf aku yang gendong," ucapku."Nggak, Dek. Yusuf biar aku saya yang pegang dulu. Aku tau kamu seharian sudah berjibaku dengan pekerjaan rumah. Aku hanya membantu mengasuh Yusuf saja," katanya.Memang awalnya kami memakai asisten rumah tangga. Tapi, ternyata ia tidak jujur. Hingga aku memutuskan mengerjakan semua sendiri. Alhamdulillah aku bisa melakukannya. Mu
"Betul. Aku mengapresiasi kejujuranmu kemarin. Kamu sudah berani bercerita padaku. Terima kasih ya, Dek!""Sama-sama, Mas. Aku pun masih belajar. Tolong ingatkan aku jika salah ya, Mas!" ucapku."Iya, Dek. Aku pun, tolong ingatkan aku. Karena pernikahan tak hanya hal yang manis, yang pahit pun pasti kan hadir. Komitmen yang kuatlah yang akan membuatnya bertahan.""Semoga aku bisa memegang komitmen itu ya, Mas!""Insya Allah, Dek. Kita sama-sama belajar ya!"Saat kami sudah saling berjanji, tak lama Mas Andi meneleponku. "Mas, ini Mas Andi meneleponku.""Kamu belum ganti nomor, Dek?""Belum, Mas. Kan kita di rumah terus, Mas," ucapku."Ya sudah, aku yang mengangkat saja."Aku takut Mas Feri marah-marah pada Mas Andi."Halo Andi, ada apa ya?" Aku tak mendengar jawaban Mas Andi. Hanya perkataan Mas Feri yang kudengar."Aku sudah tau mengenai masa lalu kamu dan istriku. Jadi, kumohon kamu tak usah menghubunginya lagi. Dia istriku, takkan kubiarkan bila diganggu oleh laki-laki lain." Per
Aku melihat siapa yang memanggilku, Alhamdulillah aman. Ternyata dari Zul. Ada apa ya? Segera kuangkat teleponnya.Mas Feri beranjak ke luar kamar, mungkin ia tau aku harus mengangkat telepon ini."Assalamualaikum. Mbak, gimana kabarnya?""Baik, Zul. Alhamdulillah. Ada apa Zul? Mbak kaget tiba-tiba kamu menelepon gini," jawabku."Aku cuma mau mengabarkan sesuatu padamu, Mbak.""Ada apa, Zul?""Aku mendengar, kalau seluruh aset Mas Arman habis," ucap Zul."Tau dari mana kamu, Zul?""Semua orang membicarakan Arman dan keluarganya di sini. Trus, sekarang Mas Arman mendekam di jeruji besi, karena banyak yang melaporkan atas kasus penipuan dan penggelapan uang.""Astaghfirullah. Mas Arman tak pernah puas mengumpulkan harta. Padahal hartanya sudah banyak kemarin.""Ya Mbak, yang melaporkan termasuk mantan istrinya juga, Bu Via," katanya."Ya Allah, aku turut prihatin juga dengan keadaan Mas Arman. Mudah-mudahan dia diberi hidayah Allah ya Zul.""Nggak tau deh. Aku sih seneng aja liatnya. Be
"Mau, boleh!" Mas Feri membuka mulutnya, kusuapkan makananku."Emmm ... enak juga yang ini," katanya. "Gurih banget ya, Dek! Cocok buat ibu menyusui," katanya ."Iya." Lalu aku menyuapinya kembali tak mau kalah."Cie kalian romantis banget." Kak Raya menanggapi.Lalu, Kak Fadhil pun menyuapi istrinya. Kak Fadhil tak segan mengadaptasi apa yang dilakukan adiknya. Kak Raya semringah. Alma juga terbahak melihat orang tua yang saling menyuapi."Aku disuapi juga dong, Pa!" pinta Alma."Boleh, sebentar." Kak Fadhil mengambilkan makanan untuk Alma. Alma senang ia disuapi papanya.Acara makan kami sangat menyenangkan. Lalu ada laki-laki menyapa Mas Feri. Ketika aku menoleh ke sumber suara, orang itu adalah Andi."Eh, Andi lagi ngapain di sini?" tanya Mas Feri pada Andi yang sedang berdua dengan seorang wanita."Habis makan, Pak," jawabnya sambil melirik kearahku. "Maaf Pak saya nggak bisa ikut ke nikahan bapak kemarin."Aku bingung kenapa mereka saling kenal? Tapi aku diam saja untuk menutu
Ternyata Bu Raya dan Keluarga sedang jalan-jalan juga. Dari situ kami memutuskan makan bersama di salah satu restoran."Alma mau makan di restoran korea aja," usulnya."Gimana yang lain? Mau?" tanya Bu Raya."Boleh," jawabku. Aku tak pernah makan ala Korea sebenarnya, tapi tak apalah kucoba untuk memakannya."Kamu nggak apa-apa, beneran?" tanya Mas Feri. Mungkin ia melihat gelagatku yang tak nyaman saat mendengar masakan Korea tadi."Nggak apa-apa, Mas. Aku memang belum pernah coba, makanya aku penasaran. Boleh, ya?" "Oke kalau gitu. Yuk, Kak!"Kami semua menuju salah satu restoran Korea.Aku memilih menu yang sama dengan Mas Feri saja yaitu Bibimbowl. Tapi kata Mas Feri, mending beda saja, jadi bisa merasakan satu sama lain.Kalau suka bisa pesan lagi nantinya. Aku pun dipilihkan jenis makanan yaitu Korean BBQ. Aku manut saja, yang penting bisa makan.Saat menyapa Bu Raya sekarang, aku harus menggunakan kata Kak Raya, atau kakak saja. Mas Feri yang menyarankan itu."Tunggu saja pesa
Kutelusuri rumah Mas Feri. Aku sampai di ruang makan, ia sedang mempersiapkan makan siang untuk kami."Mas, sedang apa?" tanyaku karena bingung mau bertanya apa lagi."Sedang menunggumu, Dek. Hehe." Dia bercanda padaku."Gombal ih." Suka sih digombalin."Sudah kusiapkan makan siang buat kita berdua, Dek. Cuma menghangatkan makanan yang ibumu bawakan saja sih. Nggak apa-apa kan, Dek?" tanyanya."Nggak apa-apa, Mas. Aku oke saja kok, Mas," jawabku.Aku menuju dapur, mau mencari piring untuk kami makan."Dek, mau kemana?""Ke dapur, ngambil piring, Mas.""Nggak usah, Sayang. Sudah aku siapkan untukmu. Itu loh di meja," katanya."Eh, iya. Hehe."Setelah itu, Mas Feri mempersilahkanku duduk. Ia menyiapkan segelas air putih juga untukku. Katanya lebih baik minum air putih dibandingkan minuman yang lain."Yuk, kita berdoa dulu sebelum mulai makan!" ajaknya."Ayo, Mas."Mas Feri memimpin doa, lalu kami makan bersama.Aku mengambilkan tambahan lauk untuknya. Kutaruh di piringnya."Terima kasih