Aku bersikap biasa saja saat Mas Arman keluar dari kamar mandi. Ia menghampiriku, lalu tersenyum. Biasanya dia tak pernah sesemringah ini."Kenapa, Mas?" tanyaku."Aku cuma kangen aja sama kamu, Lita. Gimana kehamilanmu?" tanya Mas Arman."Alhamdulillah baik. Tumben, Mas nanya-nanya?" Aku berekspresi heran saat bicara."Kan aku Ayahnya. Masa nggak boleh nanya?" ucap Mas Arman.Aku langsung tidur kembali."Lita, kamu nggak mau makan bawaanku?" tanyanya."Nggak ah, udah kenyang!" jawabku sembari merebahkan diri ke arah tembok.'Mas Arman, kamu takkan menyangka kalau aku sudah tau semua perbuatanmu. Akan kubalas perlakuanmu ini, Mas!' batinku sebelum tidur.Ia kembali ke meja makan dan memainkan ponselnya. ***"Dek, hari ini aku harus memberimu uang belanja berapa? Karena aku sepertinya akan nginep di toko. Akhir-akhir ini sering terjadi pencurian, aku khawatir. Jadi mau ronda di sana." Mas Arman bercerita."Ya Allah, Mas. Kamu tau dari mana kalau di sekitar toko terjadi pencurian? Kan
"Ada, Bu. Masih banyak kok," jawabku, dan memang masih banyak."Ya, bagus. Kamu makan yang banyak dan bergizi ya, Lita. Agar kandunganmu juga sehat," katanya."Baik, Bu. Terima kasih, ya!" ucapku pada Bu Raya. "Saya yang terima kasih, kamu udah berbaik hati berikan ini. Semoga rezekimu semakin berkah ya, Lita. Tetap semangat!" Bu Raya berterima kasih."Sama-sama, Bu. Saya meneruskan kerjaan saya, ya, Bu!""Baik, Lita. Semangat, ya!" Bu Raya mengepalkan tangan, dan menghentakkannya.Baik, Bu. Terima kasih."Aku kembali bekerja dengan karyawan yang lain. Mereka adalah para karyawan yang telaten, kerjaannya cepat selesai.***Saat jam istirahat, biasanya kami diberi makan siang oleh Bu Raya. Kami mengambil sendiri di dapur Bu Raya."Lita, makan yang banyak ya!" pinta Bu Raya."Iya, Bu. Terima kasih. Ini juga udah ngambil banyak," kataku sembari memperlihatkan isi piringku."Oke. Saya ke dalam dulu, ya!" "Baik, Bu."Aku makan bersama karyawan yang lain. Senang sekali bekerja di sini, se
Di dalam mobil, aku tak mau berkata-kata. Aku merasa canggung berada diantara keluarga ini. Keluarga bahagia, ada suaminya Bu Raya--Pak Fadhil, Alma dan Bu Raya. Mereka hanya punya satu anak semata wayang saja, yaitu Alma."Tante Lita habis dari mana? Kok tadi kayak ketakutan?" tanya Alma saat di tengah perjalanan."Habis dari rumah teman. Kebetulan takut kemaleman ini," ucapku."Tenang saja Lita, di restoran yang kita tuju nanti, ada tempat salatnya. Kita tunaikan salat magrib dulu di sana." Bu Raya memenangkan."Iya, Bu. Terima kasih sudah membantuku terus. Ibu dan keluarga benar-benar orang baik." Aku terharu mendengarnya."Nggak Lita, kamulah orang baik itu. Aku sangat iri denganmu. Kamu benar-benar wanita calon penghuni syurga, kalau menurut saya," katanya yang membuatku bertanya-tanya tentang perkataan Bu Raya."Ah, nggak Bu. Memang tujuan saya masuk syurga. Tapi saya tak sepede itu, kesalahan saya sangat banyak sama Allah," ucapku sembari berkaca-kaca."Orang lai yang menilai,
Kami memulai makan bersama. Aku benar-benar merasakan makanan nikmat kali ini. Di dalam hati aku bersyukur bisa mencobanya. Semua tak lain atas kehendak Allah melalui Bu Raya, aku bisa menyantapnya.Aku sangat terharu dengan kehidupanku, walau menghadapi suami yang menguji kesabaranku, aku bertemu orang baik seperti mereka. Sungguh nikmat Allah tak ada habisnya."Lit, jangan lupa minum!" titah Bu Raya yang melihat minumanku masih penuh.Aku mengangguk, lalu meminumnya. Rasanya sangat menyenangkan bisa makan di restoran mewah seperti ini.Setelah habis semua, Pak Fadhil membayarnya. Ku lihat total yang harus dibayar merupakan angka yang fantastis buatku. Uang lima ribu sehari bagi aku dan Mas Arman, di sini tak ada harganya. Rata-rata harga makanan puluhan sampai ratusan ribu.Tiba-tiba tangan Bu Raya memberikan kantong berisi makanan."Apa ini, Bu?""Stik sapi. Buat kamu sarapan besok. Hangatkan saja, dipisah semua kok, insya Allah tahan sampai pagi," ucap Bu Raya."Ya Allah, Bu. Suda
"Lita, bangun kamu! Jangan pura-pura tidur!" bentaknya.Ia menggoyangkan badanku yang pura-pura tertidur ke arah tembok. Aku tak tahan, lalu aku terbangun."Apa, Mas?" tanyaku saat aku bangun."Kamu nggak masak?""Enggak! Kan Mas Arman sudah makan di rumah istri barumu, Mas!"Mas Arman terbelalak, dia terkejut aku bisa tau rahasianya."Maksudmu apa?""Mas nggak usah mengelak, aku sudah tau semuanya. Aku sudah punya buktinya kalau kamu sudah menikah dengan janda itu," jelasku. Aku mengambil kerudung, lalu mencoba mencari bahan makanan yang bisa dimasak.Mas Arman diam. Ia lalu mendekatiku, mencoba menc*kik leherku."Apa yang kamu tau, Lita! Jangan ikut campur!" Aku semakin kesakitan, leherku ditekannya. Aku tak kuat, kucoba menggunakan kakiku untuk menendang kemal*annya.Dia terhempas, kesakitan di bagian itu. Aku buru-buru kabur. Beruntung pintu belum dikunci, jadi aku bisa langsung keluar. Mas Arman mengejarku, aku buru-buru lari ke rumah Bu Raya. Kuketuk pintu rumahnya, lalu kupe
"Biasanya kalau sedang marah, suami saya kadang suka kasar. Tapi baru kali ini saya dicek*k seperti itu, Bu.""Ya Allah ... kalau menurut saya itu sudah keterlaluan, Lita. Kamu mending di sini dulu.""Ya, Bu. Saya akan mengajukan gugatan saja, Bu. Karena aku sangat tersiksa dan sudah tak tahan, Bu," ucapku."Ya sudah, mudah-mudahan itu keputusan terbaik. Saya akan selalu mendukungmu, Lita!""Baiklah Mbak Lita silahkan ikut dengan Bu Raya. Mas Arman silahkan pulang ke rumah. Tolong Mas Arman resapi lagi tugas seorang suami. Seorang suami harus bertanggungjawab dan melindungi istrinya," ucap Pak RW.Mas Arman hanya diam. Aku pergi ke rumah Bu Raya.Aku diajak ke kamar tamu oleh Bu Raya. Rumah bagian utama sangat luas. Aku baru pertama masuk ke rumah utamanya. "Kamu tidur di sini ya, malam ini!" Ruang tidur yang luas ini, akan menjadi kamar tidurku malam ini."Ya Allah, Bu. Terima kasih, ya! Aku sangat berhutang budi padamu," sahutku pada Bu Raya."Nggak kok. Sudah tugas saya sebagai t
Sore ini aku tak berniat pulang. Aku kesal dengan Lita. Tapi sudah kuancam dia. Wanita itu sekarang banyak tingkah. Banyak menuntut, yang katanya mau diajak susah agar keinginanku tercapai. Rencananya aku ingin punya rumah, sawah, kendaraan sebelum usiaku 30 tahun.Nyatanya? Dia menuntut banyak. Minta uang belanjanya dinaikin lah, nuntut masalah baju yang banyak tambalan, serta sudah berani mendatangi tokoku, lalu sok tau memarahi Via--janda kembang pujaanku.Selain cantik, Via adalah wanita kaya. Memang umurnya di atasku, tapi dia tak terlihat tua. Mungkin karena belum punya anak juga.Baru beberapa hari ini aku menikahi Via. Dia adalah supliyer beras tokoku. Tadinya aku kenal suaminya, lama-lama kenal istrinya. Tak lama, ia berpisah dengan suaminya. Via jadi dekat denganku. Aku bagaikan siraman air hujan di tanah yang tandus baginya. Kehadiranku sangat tepat, aku selalu menghiburnya. Ia pun berterima kasih karena aku mau di dekatnya.Via memang lebih menarik dari Lita. Tapi menur
"Mmm ... Gimana ya? Ya udah nggak apa-apa kalau gitu. Tapi ... kasian kamu ya, sayang. Kontrakan itu tak layak untukmu, suamiku," ucap Via. Ia sepertinya masuk perangkapku. 'Ayolah, Via. Kau tawarkan saja rumahmu yang satu lagi,' harapku."Iya. Tak apalah. Yang penting ketika jadwalmu, aku ada di sisimu, Sayang!" balasku."Begini deh. Mending kamu ajak Lita tinggal di rumahku yang satunya. Di sana nggak terlalu jauh dari rumahku juga. Dan kamu lebih dekat ke pasar," katanya.'Kamu masuk juga dalam perangkapku, Sayang,' batinku."Jangan deh, nanti gimana anggepan keluarga suamimu. Eh, semua punya mantan suamimu, kan?" tanyaku penasaran."Nggak, Sayang. Semua sudah atas namaku. Mas Surya tiap punya aset menamainya atas namaku," katanya. Itu membuatku sangat bahagia.'Yeaaaay aku jadi orang kaya!' batinku tertawa gembira."Oh begitu. Syukurlah kalau gitu. Nggak bakal ada yang komplain nanti, ya!" ujarku."Iya, lah, Mas. Siapa yang mau komplain? Mantan suamiku sudah tak ada urusan lagi d