Jingga meremas clutch dalam genggamannya, ia merasa gugup dan salah tingkah. Lalu, ia memalingkan wajahnya ke arah lain, selain kepada Davin yang sejak tadi tak berhenti memandanginya.“Jangan terus-terusan menatapku seperti itu,” gumam Jingga, berdehem. “Aku jadi merasa aku aneh dan jelek berpenampilan seperti ini.”Tangan Davin terulur, menyentuh pipi Jingga dengan lembut. “Kamu cantik,” bisiknya, yang membuat pipi Jingga seketika merona. “Aku jadi berpikir, lebih baik kita pulang lagi sekarang. Kita nggak perlu menghadiri pesta malam ini.”Mata Jingga sedikit terbelalak mendengarnya. Ia menatap pintu ballroom yang terbuka dan banyak orang hilir mudik di sana, lalu menatap wajah Davin kembali. “Kenapa kita pulang lagi? Sekarang kita tinggal selangkah lagi untuk sampai di lokasi pesta, Dave.”Rahang Davin mengeras. Ia merangkul pinggang Jingga dan berbisik di dekat telinganya, “Dalam urusan uang, aku memang dermawan,” akunya dengan jumawa. “Tapi jika itu kamu, aku sangat pelit dan ng
Jingga merasa tidak nyaman, tatapan orang-orang terasa aneh untuknya. Walaupun hanya sekali melihat, tapi Jingga tahu tatapan mereka bukan memandang rendah atau mencemooh dirinya—seperti yang selalu ia dapatkan di masa lalu.Jingga menarik napas sepelan mungkin, ia merasa sedikit lebih nyaman saat genggaman tangan Davin mengerat. Jingga lantas mendongak, menatap suaminya yang sedang asyik mengobrol dengan seorang pria paruh baya.Jingga mengagumi bagaimana cara Davin bicara yang penuh karisma. Sesekali pria itu tertawa, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian memberikan argumen dengan bahasa tubuh yang berwibawa.Ternyata seperti ini saat Davin berhadapan dengan orang-orang dari kalangan para pengusaha, pikir Jingga.Sambil mengobrol, Davin sama sekali tidak melepaskan tangan Jingga dari genggamannya.“Aku tahu kamu mengagumiku,” bisik Davin di dekat telinga Jingga, sesaat setelah pria paruh baya itu pergi dari hadapan mereka. Keduanya masih berdiri sambil memandang ke arah MC y
Jingga keluar dari toilet. Pada saat yang sama, ia berpapasan dengan Chelsea, yang juga baru keluar dari salah satu bilik toilet tersebut.Jingga sama sekali tidak memiliki ide untuk memulai pembicaraan, jadi ia hanya diam seraya mencuci tangannya di wastafel. Chelsea juga melakukan hal yang sama di sampingnya.Selesai mencuci tangan, Jingga menganggukkan sedikit kepalanya kepada Chelsea sebagai isyarat ia akan pergi lebih dulu. Chelsea hanya tersenyum dan mengangguk.Kini Jingga berjalan di selasar, tapi langkahnya seketika terhenti saat Chelsea menyusul dan berbicara kepadanya.“Bisa kita bicara sebentar, Jingga?”Jingga memutar tubuh, berhadapan dengan wanita bergaun merah itu. “Kamu ingin berbicara denganku?”“Iya.” Chelsea melihat ke sekeliling. “Tapi di sini terlalu bising. Gimana kalau kita menjauh sebentar dari keramaian?”Sejujurnya Jingga merasa tidak nyaman jika harus berbicara hanya berdua dengan Chelsea. Namun, ia juga penasaran tentang apa yang akan Chelsea bicarakan den
Jingga terdiam saat tatapan tajam Nita tertuju padanya. Emran hanya duduk diam di salah satu kursi tunggu di depan ruangan UGD.“Padahal kami sudah berbaik hati mengizinkanmu menginjakkan kaki di acara kami, tapi kamu….” Napas Nita memburu emosi. “Kamu malah mengacaukannya dan membuat anak saya celaka!” desis Nita dengan tajam.Jingga mengepalkan tangannya. Ia sendirian di sini, di antara orang tua dan kedua teman Chelsea. Tak ada yang bisa ia andalkan selain keberanian dirinya sendiri. Davin masih belum keluar dari ruang UGD. Mungkin saat ini, pria itu sedang menunggu Chelsea dengan khawatir.“Saya nggak mendorong Chelsea,” ucap Jingga membela diri, dengan bibir sedikit gemetar. Ia yang dikelilingi empat orang itu, merasa tidak nyaman. “Kami memang sedang mengobrol, lalu Chelsea jatuh, tapi saya nggak sempat menolong dia. Saya nggak mendorongnya.”“Kamu pikir, saya percaya dengan ucapanmu?” Nita menunjuk kedua teman Chelsea. “Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri kalau kam
Jingga keluar dari kamar sambil menggendong Oliver. Keduanya telah siap untuk pergi ke daycare dan berangkat bekerja.Tepat setelah Jingga menutup pintu di belakangnya, Davin keluar dari kamar utama. Mereka bersitatap selama beberapa saat. Sebelum akhirnya Jingga membuang muka dan pergi lebih dulu ke meja makan.Ya, setelah kejadian Sabtu malam itu, Jingga tidak menempati kamar utama. Ia bersama Oliver menginap di kamar yang dulu mereka tempati. Suasana hati Jingga sedang buruk dan ia enggan berkomunikasi dengan Davin. Dan selama dua malam terakhir, Jingga tidak bisa tidur. Kejadian itu benar-benar mengusik pikirannya.Davin mendekati Jingga dan menatap matanya yang terlihat seperti kurang tidur. “Selamat pagi,” sapanya, kaku. “Tidurmu nyenyak tanpaku?”“Tentu saja,” jawab Jingga singkat. Ia sama sekali tidak menatap Davin. Ia mendudukkan Oliver di baby chair lalu mengambil sarapan untuk putranya itu.Davin mengembuskan napas panjang. Ditariknya salah satu kursi di dekat Jingga dan me
Mobil Davin berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya rumah khas Eropa. Ia turun dan disambut seorang pelayan berseragam. Kemudian pelayan rumah tangga itu membawa Davin masuk. Semua penghuni rumah ini sudah tahu siapa Davin dan apa hubungannya dengan sang majikan.Davin menunggu di ruang tamu beberapa saat selagi sang pelayan mengonfirmasi kehadirannya pada tuan rumah.“Pak Davin, mari ikut saya,” ucap wanita itu dan membawa Davin menuju sebuah ruangan keluarga.Davin mengedarkan pandangan ke sekeliling dan ia melihat Chelsea sedang tidur setengah duduk di sofabed. Wanita itu seketika tersenyum cerah saat melihat kehadiran Davin.“Dave?” Chelsea segera menutup buku saat Davin menghampirinya. “Kok tumben pagi-pagi ke sini? Ada apa? Oh, maaf aku nggak bisa menemuimu di ruang tamu.”“Aku mengerti.” Davin mengangguk samar. Ia duduk di single sofa dan menatap pergelangan tangan kiri dan kaki kiri Chelsea yang sama-sama dibebat, akibat insiden yang terjadi malam itu. “Bagaimana tangan d
Pukul 15.55 Davin tiba di Madhava Studio. Ia mengamati pintu lobi dari balik kemudi mobilnya yang tetap menyala. Masih sepi. Tandanya karyawan belum pulang.Davin lantas mengirim pesan pada Jingga, memberitahu wanita itu bahwa ia sudah menunggu di tempat biasa.Pesannya ceklis satu. Davin mengembuskan napas berat karena sejak pagi nomor telepon Jingga tidak aktif.Tak lama kemudian, satu persatu karyawan keluar dari lobi. Mata Davin meneliti setiap orang yang keluar, tapi ia tidak menemukan Jingga. Davin menunggu dengan sabar sampai pukul 16.10, akan tetapi sosok Jingga tak kunjung terlihat.Pada saat yang sama, ponsel Davin berbunyi. Itu telepon dari orang suruhannya.“Ada apa?” tanya Davin seraya menempelkan ponsel di telinga, matanya tetap awas ke arah lobi.“Pak Davin, saya ingin memberitahu Anda kalau Bu Jingga sudah pulang dari studio. Sekarang saya sedang mengikuti istri Anda.”“Apa?” Seketika, Davin menegakkan punggung. “Kapan dia keluar? Lalu di mana dia sekarang?” tanyanya d
‘Bahkan malam itu, kamu langsung menuduhku tanpa meminta penjelasan dari aku lebih dulu, Dave. Aku kira... kamu sudah benar-benar menganggapku istrimu, tapi ternyata aku salah.’Kata-kata Jingga sore tadi membuat Davin merasa tertampar. Sungguh, Davin merasa menyesal karena ia tidak berada di pihak Jingga setelah insiden itu terjadi.Karena saking panik dan khawatir dengan kondisi Chelsea, Davin sampai mengabaikan Jingga di luar ruangan UGD. Padahal yang paling tertekan saat itu di antara mereka semua adalah Jingga. Davin meninggalkannya sendirian.Bodoh!Davin mengumpat dalam hati seraya mencengkeram gelas dalam genggamannya. Ia baru menyadari hal itu sekarang dan Davin menyesalinya.Lantas, ditaruhnya gelas yang sudah kosong itu di atas meja dengan gerakan kasar. Ia bergegas masuk ke kamar utama, menghampiri Jingga yang sedang terlelap di atas kasur. Davin duduk di tepian ranjang. Ia mengambil kain kompresan dari dahi Jingga dan menyentuh pipi serta lehernya. Ia menghela napas lega