“Jadi di matamu, semua yang aku lakukan padamu akhir-akhir ini nggak ada artinya sama sekali?” Suara Davin terdengar serak, tatapan pria itu seketika berubah penuh kekecewaan. “Kamu sama sekali nggak merasakan ketulusanku sedikit pun, Jingga?”Jingga mengepalkan tangan. Ia segera membalikan badan untuk menghindari tatapan Davin, lalu berpura-pura sibuk mengambil sling bag dan mengaduk-aduk isinya, seolah ia sedang mencari sesuatu.“Sama seperti aku yang nggak memahamimu, kamu juga sama sekali nggak memahamiku,” ujar Jingga dengan bibir bergetar. Lalu, ia berbalik kembali dan menatap Davin. “Dan untuk pembangunan studio itu… kumohon batalkan saja. Aku nggak membutuhkannya. Lebih baik gunakan saja uangnya untuk hal lain yang lebih penting. Aku… dengan uang yang aku hasilkan sendiri dari pekerjaanku, sudah cukup untuk menghidupiku dan Oliver. Mulai sekarang berhentilah mempedulikan kami.”Tangan Davin terkepal hingga kepalannya bergetar. Kata-kata Jingga berhasil melukai harga dirinya. R
Dengan gugup, Jingga menatap ibunya yang tengah duduk di hadapannya. Perasaan Jingga campur aduk. Ia merasa rindu tapi takut untuk berhadapan dengannya. Di satu sisi Jingga senang bisa bertemu lagi dengan ibunya setelah tujuh tahun, tapi di sisi lain ia merasa kecewa dan sedih atas apa yang telah dilakukan wanita itu terhadapnya.Saat ini, setelah pertemuan tak sengaja di depan minimarket beberapa menit yang lalu, Jingga dan Melati duduk berhadapan di sebuah café, yang terletak di samping minimarket tersebut. Dua gelas minuman menemani mereka di atas meja.“Bagaimana kabarmu?” tanya Melati setelah cukup lama mereka terdiam. Matanya mengamati Jingga.“Aku… baik-baik saja.” Jingga mengusapkan telapak tangannya yang berkeringat dingin pada roknya. “Mama juga apa kabar?”Melati menghela napas panjang. “Nggak ada orang yang baik-baik saja di dunia ini. Kebahagiaan sepertinya malas bertemu dengan kita.”Kening Jingga berkerut bingung. Kata-kata Melati terdengar ambigu. Mungkinkah selama ini
“You stupid bastard!” Danish mengumpat dengan gemas.Setelah mendengar cerita dari Davin—yang duduk termangu seperti beruang bodoh di hadapannya, Danish merasa gemas dan di matanya Davin seperti kerupuk yang dicelupkan ke dalam air.“Dave, sejak kapan lo jadi bego?” tanya Danish, yang tak mendapat respons apapun dari Davin.Di dekat pintu keluar ruangan CEO itu, diam-diam Vincent menyetujui makian Danish. Bosnya itu memang cerdas dalam urusan akademik dan bisnis, tapi soal wanita dan cinta dia kalah dari anak SMA yang sedang jadi budak cinta.“Jadi gini….” Danish menumpukan kedua siku di lutut, mencondongkan badan ke depan seraya menatap Davin serius. “Sekarang, lo posisikan diri lo jadi Jingga. Kira-kira lo bakal marah nggak kalau Jingga langsung percaya pada video rekaman itu tanpa meminta dulu penjelasan dari lo?”Davin terdiam. Ia membuang muka ke arah dinding kaca. Menghela napas berat. Lalu memejamkan mata saat bayangan ekspresi Jingga yang terlihat panik dan takut malam itu ter
Jingga terhenyak saat Davin tiba-tiba memeluknya. Di saat sedang runtuh seperti saat ini, pelukan Davin mampu memberikan sedikit rasa aman bagi Jingga yang merasa dunianya sedang tidak baik-baik saja.“Bisakah kita berbaikan? Aku nggak suka bertengkar denganmu, Jingga.”Jingga terdiam. Entah mengapa hari ini ia tidak bisa mempercayai ucapan siapapun, termasuk ucapan Davin. Ia juga tidak mempercayai perasaannya sendiri. Kata-kata ibunya beberapa saat yang lalu, mampu menyapu habis sisa-sisa kepercayaan diri Jingga yang memang sudah berantakan sedari awal.“Aku ingin sendiri dulu,” ucap Jingga seraya menarik diri dari pelukan Davin.Pria itu tertegun. Ia segera menggenggam pergelangan tangan Jingga yang akan meninggalkannya. Mata Davin mencari-cari mata Jingga yang masih enggan membalas tatapannya itu.“Baik, aku akan memberimu waktu untuk sendiri.” Davin merapikan rambut Jingga yang tampak sedikit berantakan. “Kalau kamu sudah merasa sedikit lebih baik, temui aku. Aku ingin berbicara d
Davin melangkah lebar-lebar memasuki ruangan kerjanya. Pengacaranya sudah menunggu dan pria itu seketika berdiri sambil menjabat tangan Davin.“Pak Maruli, apa kabar? Saya harap Pak Maruli sudah menemukan jalan keluar untuk masalah ini.” Davin duduk berhadapan dengan pria paruh baya itu.“Kabar saya baik.” Maruli kembali duduk, lalu menghela napas pelan. “Pak Davin, saya memahami betul situasinya, tapi kita harus realistis. Bukti yang kita miliki masih belum kuat untuk meyakinkan pada polisi bahwa istri Anda tidak bersalah. Selain itu, bukti-bukti yang mereka miliki sangat kuat.”Tangan Davin mengepal. “Istri saya tidak melakukan itu,” tegasnya, meski pada awalnya ia sempat mempercayai bukti yang ada. “Saya tidak bisa membiarkan istri saya dihukum atas sesuatu yang tidak dia lakukan.”“Saya tahu, dan saya juga percaya pada kebenaran. Tapi di pengadilan kebenaran bukanlah segalanya, kita perlu bukti yang kuat untuk mengubah pandangan polisi dan jaksa.”Rahang Davin mengetat seraya memb
Johny mengamati pintu lobi Madhava Studio, lalu melirik arloji. Sudah hampir pukul lima sore, tapi ia belum melihat istri majikannya keluar dari sana. Pandangannya beralih ke arah SUV hitam di parkiran. Dodi masih di sana, itu artinya sang nyonya memang belum pulang.Penasaran, Johny lantas keluar dari mobil sedannya. Penampilannya casual, tak terlihat seperti seorang bodyguard yang selalu menguntit Jingga. Orang-orang akan mengira bahwa ia salah satu karyawan Madhava Studio.Tak ada siapapun di lobi saat ia masuk ke sana. Sang satpam di pos terlihat penasaran dan menghampiri Johny.“Mau ketemu siapa, Mas?”“Oh, saya sedang menunggu seseorang. Dia masih belum pulang.” Johny beralasan saat menjawab pertanyaan satpam bertubuh kurus itu.“Siapa memangnya? Barangkali bisa saya bantu.”“Bu Jingga.”“Oh, Mbak Jingga! Iya sih, Mas, dari tadi saya belum lihat Mbak Jingga keluar. Tapi di sana sudah ada sopirnya yang nunggu." Satpam itu menunjuk ke arah parkiran. "Mas ini siapanya Mbak Jingga k
“Aku mencintaimu, Jingga. Tolong… jangan meninggalkanku.”Jingga terpaku.Pengakuan Davin yang terdengar tulus dan serius itu membuat air matanya menetes.Tidak sedetikpun Davin mengalihkan pandangannya ke arah lain, selain pada Jingga yang terlihat menyedihkan di hadapannya. Seolah-olah menoleh sedikit saja, Davin takut Jingga akan meninggalkannya.Kondisi Jingga yang kacau membuat hati Davin terasa sakit.“Kamu mengatakannya karena terpaksa supaya aku mau turun. Apa aku benar?” Bibir Jingga bergetar dan matanya memerah.Davin menggeleng. “Aku benar-benar mencintaimu,” ucap Davin sekali lagi dengan tatapan lembut. “Jika semua orang di dunia ini meninggalkanmu, setidaknya kamu masih memiliki aku dan Oliver yang akan tetap berada di sampingmu.”Tangisan Jingga pecah, rasanya sulit sekali untuk percaya bahwa ada pria yang mencintainya. Itu sangat mustahil. Dirinya sama sekali tidak layak untuk dicintai.Jingga menggeleng, tersenyum kecut. “Tapi malam itu kamu meninggalkan aku," lirihnya
Davin menunggu dengan tegang. Jika biasanya ia pandai menyembunyikan emosi dengan ekspresi datar, kali ini ia gagal melakukannya.Setelah mendengar saran dari dokter bahwa Jingga harus dirujuk ke poli jiwa, Davin merasa terpukul. Meski begitu, pagi tadi Davin langsung membawa Jingga bertemu dengan psikiater.“Selamat sore, Pak Davin. Saya Richard, maaf sudah membuat Anda menunggu.”Ucapan seorang dokter kejiwaan yang baru saja duduk di hadapannya, berhasil mengeluarkan Davin dari lamunan. Davin menatap pria berkacamata yang baru saja duduk di hadapannya itu.“Selamat sore, Dokter Richard.” Davin menegakkan punggung. “Bagaimana kondisi istri saya? Apa dia baik-baik saja?” tanyanya tak sabaran.Richard tersenyum hangat. “Saya sudah meninjau kasus Bu Jingga dan ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan.” Ia membuka catatan medis dalam genggamannya. Lalu menatap Davin dengan serius. “Jadi, begini Pak Davin. Dari apa yang saya lihat dari sesi konsultasi dengan Bu Jingga hari ini, dia mend