Halooo... teman2 mungkin ini bab terakhir cerita Oliver di novel ini ya. Kita ketemu lagi dengan Oliver di novel baru (yang belum pasti kapan launchingnya). Terimakasiiiih.... Love you all 🫶🏻
Prang!!! Bunyi gelas yang terjatuh ke lantai membuat Jingga terkejut. Seketika itu juga Jingga mematikan kompor, lalu bergegas menyeret langkah kakinya yang terseok-seok menuju ruang tengah. Jingga tertegun. Ia melihat pecahan gelas berserakan di lantai. Putranya tengah memeluk salah satu kaki Davin dengan wajah ketakutan. Dan… suaminya—Davin William, yang tampak marah sambil mengepalkan kedua belah telapak tangannya, menatap Jingga dengan tatapan penuh kebencian. Jingga menghampiri mereka dengan perasaan bingung. Dengan suara pelan ia bertanya, “Dave, apa yang terjadi?” “Pa… pa. Pa… pa…,” celoteh anak berusia satu tahun itu sambil mengeratkan pelukannya pada kaki Davin. Jingga kembali tertegun. Papa? Oliver memanggil Davin dengan panggilan ‘papa’? Hati Jingga seketika diliputi perasaan haru, karena untuk pertama kalinya ia mendengar Oliver berbicara setelah lama ia menantikannya. Papa, kata pertama yang terucap dari mulut Oliver. “Kamu dengar?” Suara dingin Davin membuat ra
Oliver tersungkur di lantai sambil menangis kencang. Darah segar mengalir ke lantai.Buru-buru Jingga menghampiri Oliver dan meraih anak itu ke pangkuannya. Wajah Jingga menegang saat melihat dahi dan bibir Oliver mengeluarkan darah yang cukup banyak.Dengan panik, Jingga mengambil sembarang kain untuk menahan pendarahan di dahi putranya. Ia membawa Oliver keluar dari kamar, dan tanpa sengaja bertemu Davin yang sedang mengenakan jaket.Tanpa berpikir panjang, Jingga menghampiri Davin. Tidak peduli jika Davin akan marah karena mendengar tangisan Oliver. Davin sangat tidak menyukai tangisan anak kecil.“Dave, bi-bisakah antar aku ke… ru-rumah sakit?” tanya Jingga dengan bibir gemetar. Ia panik, takut dan khawatir dengan kondisi Oliver.Davin memutar tubuhnya menghadap Jingga. Pria itu sempat menatap Oliver yang berlumuran darah, sejenak. Lalu mendengus. “Anak ini bukan urusanku.”Davin hendak pergi, tapi Jingga segera menahan ujung jaket pria itu. “Kumohon… tolong aku kali ini saja,” li
Davin mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di bibir. Ia meraba-raba saku celana tapi tidak menemukan apa yang ia cari.“Butuh ini?”Davin mendongak dan mendapati sepupunya menjulurkan pemantik api ke hadapannya.Dengan malas Davin mengambil alat tersebut dan menyalakan rokok miliknya.“Thanks.” Davin menyerahkan pemantik api itu kembali kepada Ethan.Ethan, yang dua tahun lebih tua dari Davin itu duduk di samping Davin dan melakukan hal yang sama dengannya.Kedua pria tersebut adalah cucu dan pewaris mendiang Eddie Walton. Mereka nyaris tidak pernah akur semenjak kecil dan selalu berkompetisi dalam hal apapun. Ibu mereka adalah dua bersaudara.Sebetulnya dalam surat wasiat yang Eddie tinggalkan sebelum meninggal dunia, Eddie meminta Davin atau Ethan untuk menemukan Jingga. Dan siapa di antara mereka yang menemukan Jingga lebih dulu lalu menikahinya, maka dia yang akan mendapatkan New Pacific Group, salah satu perusahaan besar yang ada di tanah air.Ternyata Davin-lah yang le
“Selamat sore semuanya. Apa kabar Om, Tante?”Chelsea tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Kecantikan dan keanggunannya membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana. Dia sosok yang ceria dan mudah bergaul.“Sore. Kabar kami baik, kok. Terima kasih ya sudah datang.” Lucy menyambut Chelsea dengan hangat, memeluknya dan mengajaknya duduk di samping Davin.Sikap Lucy berbeda sekali dengan saat ia menyambut kedatangan Jingga. Lucy nyaris tidak pernah tersenyum tulus terhadap menantunya itu.Davin tampak terkejut melihat kedatangan Chelsea, ia menoleh ke wanita yang duduk di sampingnya itu. “Chelsea, kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harus istirahat?”Mata Chelsea mengerling. “Kenapa? Kamu nggak senang aku ada di sini?”“Bukan begitu.” Davin mendecak pelan seraya menyentil dahi Chelsea. “Aku hanya khawatir. Seharusnya kamu istirahat di rumah saja. Memangnya kamu nggak dengar apa kata dokter semalam?”“Ya Tuhan, Chelsea, kamu lagi sakit? Aduh, maaf Tante nggak tahu kalau kamu haru
“Baik. Akan saya konfirmasi dulu ke Pak Davin. Nanti saya hubungi lagi.”Pria bertubuh tinggi kurus dan berjas hitam itu memasukkan ponsel ke saku jas. Ia bergegas menyusul atasannya yang berjalan dengan langkah-langkah tegap di hadapannya.“Mr. Keith mengajak Anda makan siang sekarang.” Pria itu melapor. “Bagaimana? Apa Anda mau menerima ajakan beliau?”“Vincent, sejak kapan kamu jadi asisten pribadiku?” Davin bertanya dengan pandangan lurus ke depan.“Lima tahun, Pak.”“Lima tahun? Kamu yakin?”Vincent berpikir sejenak, dan menghitung kembali berapa lama ia menjadi bawahan CEO muda ini. “Yakin, Pak. Lima tahun.”Davin mendengus. “Lalu, kenapa hal sekecil itu saja kamu masih bertanya padaku?”Selain arogan, Davin William juga sosok CEO yang cukup menyebalkan.Vincent berdehem. “Maaf. Saya akan meminta Mia untuk mewakili Anda.” Ia membuka pintu ruangan CEO dan menutupnya kembali setelah Davin masuk. Kemudian Vincent menghampiri meja sekretaris Davin. “Mia, kamu dapat makan siang grati
Pintu lift terbuka. Davin kembali menyeret Jingga memasuki ruangannya. Kemudian melepaskan lengan wanita itu dengan kasar hingga punggung Jingga membentur dinding. “Kenapa datang ke sini?” desis Davin dengan napas memburu penuh amarah. “Kamu sengaja datang ke sini untuk mempermalukanku?” Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terluka. “Mempermalukanmu?” Jingga menggeleng, dan kembali bersuara lirih, “Aku nggak pernah sama sekali punya niat untuk bikin kamu malu, Dave.” Davin setengah mendengus dan setengah tertawa. Tatapannya semakin tajam, membuat nyali Jingga menciut. “Kamu nggak lihat orang-orang di bawah tadi menghinamu, Jingga?” Jari telunjuknya mengacung menunjuk ke arah pintu. “Di luar sana, mereka membicarakanmu, menghinamu. Dengan kamu mengakui sebagai istriku, sama saja kamu sudah mempermalukanku di depan karyawanku.” Jingga tercenung. “Sebelum datang ke sini, seharusnya kamu memperhatikan penampilanmu. Lalu tanya pada dirimu sendiri, apakah kamu
Satu sudut bibir Davin terangkat.Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba r
Seketika, Davin terhenyak. “Apa?”“Aku memang belum bisa memastikan, tapi kemungkinan besar darah kamu mengalir di tubuh anak yang Jingga lahirkan,” ulang Ethan sekali lagi.Davin melemparkan botol di tangannya ke lantai. “Sial! jangan bicara omong kosong, sialan!” desisnya sambil menarik kerah baju Ethan dengan tatapan membunuh, rahangnya berkedut. “Katakan sekali lagi!”Ethan tidak terpancing emosi. Ia malah menggenggam tangan Davin yang masih mencengkeram kerahnya. “Kita bicarakan ini baik-baik. Jangan mengedepankan emosi.”Davin mendengus. Dengan terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, dan duduk kembali di kursinya. “Jelaskan padaku, omong kosong apa yang baru saja kamu bicarakan!”“Kamu ingat, dua tahun lalu, waktu pengacara Kakek datang dan menyampaikan surat wasiat dari Kakek, supaya kita mencari wanita yang bernama Jingga?”Davin mengangguk. “Ya.”“Jadi, saat itu….”Saat itu Davin merasa frustrasi, karena ia ditekan oleh orang tuanya agar segera menemukan Jingga untuk kemudian