Satu sudut bibir Davin terangkat.
Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.
“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”
Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.
“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”
“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”
“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”
Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.
“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”
Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.
Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba runtuh.
**
“Mas, ayo pulang. Sudah mau turun hujan lagi.” Amarylis menyentuh bahu Davin.
“Kalian duluan saja,” gumam Davin dengan suara serak yang nyaris tak terdengar. “Aku masih mau di sini.”
Tubuh Davin basah kuyup. Wajahnya kusut. Pandangannya yang kosong tertuju pada nama Jingga Thania yang terukir pada batu nisan.
“Baiklah, aku pulang.” Amarylis hendak berbalik, tapi ia mengurungkannya. Ia berjongkok dan menaruh payung hitam yang terbuka di tangannya, ke samping Davin. “Oliver ada di rumah, aku akan menjaga dia. Mas jangan khawatir.”
Davin tidak memberikan respons apapun. Tubuhnya beku dan kaku. Kepalan tangannya seakan tak bisa berhenti bergetar. Kini, ia hanya duduk bersimpuh seorang diri di depan tumpukan tanah yang masih basah. Bunga-bunga segar di atasnya mulai layu.
Davin hanya melamun, terdiam di sana entah berapa lama. Hingga akhirnya hujan kembali turun dengan deras. Seakan-akan alam pun sedih mengantar kepergian Jingga untuk selama-lamanya.
Selamanya?
Jingga pergi untuk selamanya?
Davin terus mengulang-ulang pertanyaan itu di dalam kepalanya yang kacau balau.
Davin merasa ia sedang bermimpi buruk.
Ia menyaksikan sendiri, di depan matanya, tubuh Jingga yang bagian kakinya nyaris hancur terjepit kerangka mobil yang ringsek.
Ia juga menyaksikan jasad Jingga terbujur kaku sebelum dikebumikan.
Seharusnya ia tidak perlu merasa sakit hati dan hancur, bukan? Jingga bukan orang yang penting dalam hidupnya.
Namun, kenapa respons tubuhnya seperti ini? Davin merasa kehilangan seluruh energi. Untuk menggerakkan jari jemarinya saja ia butuh tenaga lebih. Bahkan, bernapas pun rasanya enggan. Dadanya sesak. Setiap tarikan napasnya terasa begitu menyakitkan.
Pertengkarannya dengan Jingga di kantornya selalu terbayang-bayang di benak Davin. Ia tak menyangka, bahwa itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Jingga.
Andai saja Davin tahu sejak awal….
Andai saja ia tahu Jingga akan meninggal dunia….
Ia akan… meminta maaf dan bersikap lebih baik.
Di bawah hujan deras, bahu Davin berguncang, kepalanya tertunduk.
Membayangkan ia tak akan lagi melihat Jingga untuk selamanya, hati Davin seketika dirundung perasaan hampa dan nyeri.
“Maafkan aku, Jingga. Maafkan aku,” rintih Davin di sela-sela tangisannya. Bayangan-bayangan sikapnya yang selalu memperlakukan Jingga dengan buruk terus berputar-putar di kepala.
Apakah Jingga sangat membencinya?
Sampai-sampai… dia tidak memberi kesempatan sama sekali pada Davin untuk meminta maaf dan… mengutarakan perasaannya yang sesungguhnya.
**
“Pak Davin, kita sudah sampai.”
Ucapan sang sopir mengeluarkan Davin dari lamunannya. Sejak tadi ia asyik melamun, hingga tidak sadar jika mobil sudah berhenti di depan rumahnya.
Satu sudut bibir Davin terangkat. Ia mengambil tas kerjanya, tapi ia menghentikan gerakannya saat teringat sesuatu, lalu merapikan rambutnya terlebih dulu menggunakan jari jemari.
“Pak Dodi, apa penampilanku sudah rapi?”
Sang sopir menoleh ke belakang, tersenyum lebar sambil mengangkat ibu jari tangannya. “Seperti biasa, Pak Davin selalu ganteng.”
Davin mendengus pelan.
“Mungkin Pak Davin nggak sadar, tapi setiap pulang ke rumah, Pak Davin selalu menanyakan hal yang sama. Pak Davin pasti ingin selalu terlihat ganteng di depan mendiang Bu Jingga ya?” komentar Dodi sambil tetap tersenyum.
Mendiang?
Seketika Davin membeku. Rasa nyeri kembali menyerang dada.
Benar, Jingga sudah meninggalkannya satu minggu yang lalu. Wanita itu sudah tidak ada lagi di dalam rumahnya. Bahkan di planet ini sekalipun.
Selama seminggu ini, di saat seharusnya ia masih berkabung, Davin justru malah menyibukkan dirinya dengan pekerjaan di siang hari. Lalu pergi ke club malam untuk mabuk-mabukkan sampai pagi hari. Sebab, saat ia memiliki waktu senggang, pikirannya selalu dipenuhi Jingga.
Davin melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Biasanya, aroma bayi dan parfum beraroma mawar yang selalu menguar di dalam rumah setiap kali Davin pulang.
Namun, hari ini hanya tercium aroma bayi.
Tidak ada lagi yang menyambutnya ke pintu sambil berjalan dengan langkah terseok-seok. Tidak ada lagi yang mengucapkan kata “selamat datang di rumah”. Tidak ada lagi wanita bertubuh kurus yang selalu sigap melepas jas, dasi dan jam tangannya.
Isi rumah itu masih sama. Akan tetapi, perasaan Davin terasa berbeda. Ia merasa hampa dan… kehilangan.
Pulang ke rumah menjadi sesuatu yang paling menyakitkan.
“Pak, barusan Pak Ethan datang ke sini,” ucap seorang wanita paruh baya—yang bertugas mengurus rumah dan mengasuh Oliver.
Pikiran Davin masih kacau, ia belum bisa memberi keputusan terhadap Oliver, apakah anak itu akan dikirim ke panti asuhan atau tidak. Bagaimanapun, ia sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan anak itu.
“Benarkah?” Davin memeriksa ponsel. Ternyata mati. Mungkin Ethan sempat menghubunginya tapi tidak tersambung. “Dia bilang apa?”
“Pak Ethan cuma bilang agar Pak Davin segera menghubunginya. Ada hal penting yang ingin disampaikan.”
Davin mengangguk. Sebelum masuk ke kamar, ia sempat menatap Oliver yang juga tengah menatapnya dengan tatapan polos.
Davin mengepalkan tangan. Saat menatap Oliver, ia merasa seperti sedang menatap Jingga. Dan itu membuat rasa sesak di dadanya semakin hebat.
“Apa… dia sudah makan?”
“Sudah, Pak. Tapi dari pagi Oliver rewel, sepertinya dia rindu sama Bu Jingga.”
Davin tercenung. Rindu?
Apakah… yang Davin rasakan juga sekarang adalah rasa rindu?
**
Satu minggu setelah kepergian Jingga, Davin tak pernah melewatkan malamnya tanpa alkohol. Saat ia mabuk, ia tak akan merasakan sesak di dalam dada dan rasa rindu yang tak sanggup ia bendung.
“Tadi sore kamu datang ke rumah. Ada apa? Aku rasa ada sesuatu yang sangat penting,” ujar Davin sebelum menenggak segelas wiskey—yang entah gelas ke berapa yang ia minum malam ini.
“Berhenti minum.” Ethan mengambil botol minuman di atas meja, tapi dengan cepat Davin merebutnya.
“Jangan mengaturku. Katakan saja apa urusanmu.”
Ethan menghela napas panjang. Ekspresi wajahnya tidak sekeras dan selicik sebelumnya. Ia melipat tangan di dada seraya menatap Davin dengan iba.
“Jangan lupa kalau aku nggak pernah menyukaimu.” Davin mendengus.
“Aku tahu.”
“Tapi malam ini….” Ethan kembali menghela napas. “Aku akan mengakui kesalahanku.”
“Kesalahan yang mana?” Davin tersenyum sinis. “Terlalu banyak kesalahan yang kamu buat.”
Ethan tampak tidak tergoda untuk membalas sindiran sepupunya. “Aku nggak tahu kalau Jingga akan meninggal secepat ini,” gumamnya, “Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, sudah dari dulu aku mengatakan kebenaran yang nggak kalian ketahui.”
Davin menghentikan tangannya yang akan menuang wiskey ke dalam gelas. Ia menatap Ethan dengan kening berkerut. “Kebenaran apa maksudmu?”
“Oliver… dia… anak kandungmu.”
***
Seketika, Davin terhenyak. “Apa?”“Aku memang belum bisa memastikan, tapi kemungkinan besar darah kamu mengalir di tubuh anak yang Jingga lahirkan,” ulang Ethan sekali lagi.Davin melemparkan botol di tangannya ke lantai. “Sial! jangan bicara omong kosong, sialan!” desisnya sambil menarik kerah baju Ethan dengan tatapan membunuh, rahangnya berkedut. “Katakan sekali lagi!”Ethan tidak terpancing emosi. Ia malah menggenggam tangan Davin yang masih mencengkeram kerahnya. “Kita bicarakan ini baik-baik. Jangan mengedepankan emosi.”Davin mendengus. Dengan terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, dan duduk kembali di kursinya. “Jelaskan padaku, omong kosong apa yang baru saja kamu bicarakan!”“Kamu ingat, dua tahun lalu, waktu pengacara Kakek datang dan menyampaikan surat wasiat dari Kakek, supaya kita mencari wanita yang bernama Jingga?”Davin mengangguk. “Ya.”“Jadi, saat itu….”Saat itu Davin merasa frustrasi, karena ia ditekan oleh orang tuanya agar segera menemukan Jingga untuk kemudian
‘Kumohon… semoga ini bukan hanya mimpi.’ Davin membatin seraya melangkahkan kakinya mendekati Jingga dan menatap wanita itu dengan tatapan penuh harap. Davin merasakan jantungnya berdebar-debar. Jingga, yang memakai kemeja putih dan celana kain warna coklat itupun seketika berdiri. Matanya membulat, seakan-akan tidak percaya Davin datang untuk menemuinya. “Dave? Ke-kenapa… kamu di—” Pertanyaan Jingga seketika terhenti saat Davin menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Tubuh Jingga menegang dan mematung. Davin memeluknya dengan erat untuk memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, ini terasa begitu nyata. Davin bisa merasakan hangatnya tubuh Jingga yang tenggelam dalam dekapannya. Dan baru Davin sadari bahwa wanita ini sangat kurus, dia sangat rapuh. Di kehidupan sebelumnya, Davin tidak pernah satu kalipun memeluk Jingga. “Senang bisa bertemu kamu lagi… Jingga,” gumam Davin dengan suara bergetar. Davin menunduk, menumpukan dagu di bahu Jingga dan memeluknya semakin erat
Melihat ekspresi mengeras di wajah Davin, Jingga merasa pria itu akan benar-benar marah kepadanya. Tangan kiri Jingga meremas pakaiannya dengan perasaan cemas.“I-itu… aku pikir, kamu akan marah kalau aku mengaku sebagai istrimu,” jawab Jingga tergagap-gagap.Seketika, Davin terdiam. Ketegangan di wajah Davin perlahan memudar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan merapikan kembali kotak P3K. Tampak penyesalan yang tergambar jelas di wajahnya.“Apa dengan jari seperti itu kamu masih bisa melukis?” tanya Davin kemudian.Jingga mengangguk. “Masih,” jawabnya, “ini nggak terlalu sakit.”“Baiklah. Aku akan mengembalikan ini dulu.” Davin memutar badan dan hendak melangkah, tapi ia mengurungkan niatnya saat Jingga menarik kain lengan kemejanya. Davin kembali berbalik. “Ada apa?”Jingga diam sejenak, sambil menimbang-nimbang apakah ia berani menyuarakan pertanyaannya atau tidak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya bertanya, “Boleh aku tahu apa alasanmu datang ke sini?”“Itu….” Davin meng
“Kami memang sering bertemu, karena aku bekerja di studio dia.” “Damn!” Secara spontan Davin mengumpat seraya memukul kemudi dengan pelan. Davin tidak suka mendengarnya. Apalagi ia bisa melihat dengan jelas tatapan lelaki bernama Kalil itu saat menatap Jingga, tadi. Sebagai sesama seorang lelaki, Davin tahu arti tatapan lelaki itu. Cengkeraman tangan Davin semakin kuat pada kemudi, tanpa sadar ia menaikkan kecepatan kendaraannya dengan wajah mengeras. “Kamu… marah? Apa aku perlu turun di sini?” gumam Jingga, yang membuat Davin terhenyak. Davin menoleh pada Jingga, sejenak. Lalu mengembuskan napas panjang. Ia sudah diberi kesempatan kedua untuk menatap wanita ini lagi. Seharusnya ia memperlakukan Jingga dengan baik dan bersikap lebih lembut. Namun, Davin tidak terbiasa melakukan hal itu, sehingga ia merasa sedikit canggung ketika ingin bersikap lebih lembut pada Jingga. “Jangan terlalu dekat dengan lelaki itu.” Davin berkata dengan suara yang tidak terlalu dingin. “Kenapa?” Dav
Jingga tengah memasak makan malam. Namun, lagi-lagi ia dibuat bingung dengan sikap Davin, yang sejak tadi duduk di meja makan sambil memerhatikannya. Membuat Jingga merasa setiap gerak-geriknya diawasi, dan Jingga khawatir ada yang salah dengan sikapnya di mata Davin. Lalu ujung-ujungnya Davin memarahinya karena kesalahannya, seperti yang sudah-sudah.Jingga membuka kabinet atas untuk mengambil bumbu penyedap rasa yang masih utuh. Ia berjinjit, tapi tangannya tak dapat menjangkau benda tersebut.Tiba-tiba, Jingga merasakan dada seseorang menempel di punggungnya. Disusul dengan tangan panjang Davin yang mengambil bumbu dalam kemasan plastik itu.Jingga terkesiap. Ia memekik kaget dan hendak mundur untuk menjauh. Akan tetapi, punggungnya justru malah menabrak dada Davin dan akhirnya ia terjebak dalam pelukan pria itu.“Hati-hati. Kamu bisa melukai dirimu sendiri,” bisik Davin.Jingga merasakan napas hangat Davin menerpa telinganya. Pria itu memeluknya dari belakang. Lalu tangan Davin ya
“Segini cukup?”Isabela membelalak menatap layar ponsel Davin, yang memperlihatkan jumlah uang dua digit yang akan ditransfer pada internet banking.Namun, Isabela tersenyum masam.“Maaf. Harga diriku tidak semurah itu.”“Baik.” Davin kembali mengoreksi jumlahnya menjadi tiga digit.Malam ini, Davin akan membuktikan jika ia bisa mengubah masa depan. Bukan meminta maaf dengan merayu Isabela dan membawanya ke atas ranjang seperti di masa lalu, melainkan dengan memberinya kompensasi sejumlah uang yang tidak sedikit.“Bagaimana dengan ini?” Davin menunjukkan layar ponselnya kembali.Senyuman merekah tersungging di bibir merah Isabela. Sedetik kemudian senyuman itu hilang. Dia harus bersikap jual mahal.“Baiklah. Cukup.”“Hapus dulu foto-fotoku di handphone kamu. Baru setelah itu akan aku transfer.”Isabela membuang napas. Dengan wajah terpaksa ia menghapus foto mereka di galeri ponselnya. Lalu ia tersenyum lebar kala mendapat pemberitahuan ada uang masuk ke rekeningnya. Davin kemudian mer
“Apa… aku yang sudah membuatmu menangis barusan?”Jingga tak menjawab.Davin merasakan tubuh Jingga menegang saat Davin menyentuh pipinya, dan kini wanita itu mau menatapnya.Wajah Davin semakin mendekat. Napas hangatnya terasa menerpa wajah Jingga. Perlahan-lahan, Davin mendaratkan bibirnya di atas bibir Jingga, yang membuat wanita itu seketika terhenyak. Tangan Jingga mencengkeram pakaiannya hingga bergetar.Sial. Davin tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Ia hanya mengikuti naluri untuk memejamkan mata dan memagut bibir Jingga dengan penuh kelembutan. wanita itu hanya diam mematung.Dan, tiba-tiba…."Hentikan!" Jingga mendorong dada Davin, membuat Davin seketika mundur dan membuka kelopak matanya dalam sekejap. Ia menatap Jingga dengan tatapan penuh kebingungan.“Ke-kenapa kamu… melakukannya?” tanya Jingga dengan bibir gemetar.Davin tidak mengerti apa yang sebenarnya Jingga pikirkan. Ia lantas berdiri tegak dan menggaruk dahi. “Apa aku harus minta izin dulu padamu sebelum mela
“Anda terlambat. Dia sudah pulang naik bis lima menit yang lalu.”Davin melirik arloji di tangan kiri sambil mengembuskan napas kecewa.“Baik kalau begitu. Terima kasih,” ucap Davin seraya menaikkan pandangannya pada Kalil yang berdiri di hadapannya. “Saya pamit.”Davin memutar tubuhnya dan hendak meninggalkan lobi Madhava Studio. Namun, ucapan Kalil selanjutnya membuat langkah kaki Davin seketika terhenti.“Anda pasti tidak tahu jam berapa jadwal Jingga pulang, bukan?”Sial. Pria itu bisa dengan mudah menebaknya, desis Davin dalam hati dengan rahang berkedut.Terpaksa Davin membalikkan badannya kembali menghadap Kalil. Sorot matanya yang tajam menyiratkan ia tidak menyukai atasan Jingga tersebut.“Tahu atau tidak, saya rasa itu bukan urusan Anda. Anda tidak berhak menilai saya.”Kalil tertawa kecil, lalu manggut-manggut. Ia berjalan mendekati Davin dan berhenti sekitar dua langkah di hadapannya. “Sebagai teman dekat yang sangat peduli pada kebahagiaan Jingga, tentu saja saya berhak.”