Share

6. Pertengkaran

Penulis: Rosa Uchiyamana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pintu lift terbuka. Davin kembali menyeret Jingga memasuki ruangannya. Kemudian melepaskan lengan wanita itu dengan kasar hingga punggung Jingga membentur dinding.

“Kenapa datang ke sini?” desis Davin dengan napas memburu penuh amarah. “Kamu sengaja datang ke sini untuk mempermalukanku?”

Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terluka. “Mempermalukanmu?” Jingga menggeleng, dan kembali bersuara lirih, “Aku nggak pernah sama sekali punya niat untuk bikin kamu malu, Dave.”

Davin setengah mendengus dan setengah tertawa. Tatapannya semakin tajam, membuat nyali Jingga menciut.

“Kamu nggak lihat orang-orang di bawah tadi menghinamu, Jingga?” Jari telunjuknya mengacung menunjuk ke arah pintu. “Di luar sana, mereka membicarakanmu, menghinamu. Dengan kamu mengakui sebagai istriku, sama saja kamu sudah mempermalukanku di depan karyawanku.”

Jingga tercenung.

“Sebelum datang ke sini, seharusnya kamu memperhatikan penampilanmu. Lalu tanya pada dirimu sendiri, apakah kamu pantas untuk mengaku sebagai istriku atau tidak!”

Kata demi kata dari mulut Davin berhasil menyayat- nyayat hati Jingga hingga perih dan berdarah-darah. Jingga masih termenung, mengepalkan kedua belah telapak tangannya yang gemetar.

Tidak apa-apa jika orang lain menghinanya. Jingga sudah kebal dengan hal itu, ia tumbuh dengan hinaan dan caci maki.

Namun, saat Davin yang berbicara demikian, Jingga tidak bisa untuk merasa baik-baik saja. Hatinya benar-benar terluka.

Meski ingin marah, meski ingin melontarkan kata-kata pembelaan, tapi yang terucap dari mulut Jingga hanya, “Maaf. Aku sudah membuatmu malu. Aku janji, ini adalah pertama dan terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini.”

“Bagus kalau kamu mengerti.” Masih dengan ekspresi marah di wajahnya, Davin mendekati dinding kaca dan berdiri di sana sambil memperhatikan pemandangan di luar, membelakangi Jingga. “Selain untuk mempermalukanku, alasan apa lagi yang membuatmu datang ke sini?”

Jingga memandangi punggung Davin dengan tatapan sedih dan terluka. Selama ini, ia selalu merasa cukup tenang saat menyadari bahwa Davin ada di sisinya, ia masih bisa memandangi sosoknya, meski Davin tak pernah benar-benar melihatnya dan memberinya perlindungan. Namun kehadirannya saja sudah cukup.

Sekarang, bolehkah Jingga memandangi punggung Davin untuk waktu yang cukup lama? Sebelum nanti….

“Kenapa diam saja? Kamu tahu apa fungsinya mulut?” Suara Davin—yang sudah tak sedingin sebelumnya, membuyarkan lamunan Jingga.

Jingga mendekati Davin, lantas mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas tangannya. “Aku sengaja ingin menemui kamu, untuk menyerahkan ini.”

Davin memutar badan, melirik Jingga sejenak, sebelum kemudian tangannya mengambil amplop coklat yang baru saja ditaruh Jingga di meja.

“Apa ini?”

“Surat gugatan cerai dariku.”

Davin terdiam. Tangannya yang akan mengeluarkan isi surat itu seketika terhenti. “Apa?” Suaranya kembali berubah dingin dalam sekejap. “Surat gugatan cerai?”

“Iya.” Jingga menunduk, tak berani menatap mata Davin yang mendadak terlihat… mengerikan. Jantung Jingga berdetak cepat, ia meremas kedua tangannya yang gemetar.

Dengan dada sesak, Jingga melanjutkan, “Acara serah terima perusahaan memang tinggal empat hari lagi. Tapi… aku ingin mengajukan perceraian kepadamu hari ini karena—”

“Supaya aku tahu kalau yang menginginkan perceraian bukan hanya aku saja? Tapi kamu juga menginginkannya?” sela Davin dengan rahang berkedut.

Bayangan Davin tertawa bersama Chelsea berkelebat di kepala Jingga. Ia mengepalkan telapak tangannya, dan mengangguk. “Iya.”

Davin mendengus sekaligus tertawa.

Sebelum Davin sempat berbicara, Jingga kembali berkata, “Aku… juga sama sekali nggak keberatan kalau kamu mau menikahi Chelsea.”

“Apa?” Suara Davin semakin dingin dan menusuk.

Jingga mendongak, menipiskan bibirnya, tak terlihat ekspresi sedih di wajahnya—yang sangat bertolak belakang dengan hatinya yang amat perih. “Kalau kamu mau menikahi Chelsea secepatnya, ceraikan aku sekarang.”

“Jadi kamu mau aku menikahi Chelsea?”

Jingga mengangguk. Karena kamu sangat mencintainya dan akan bahagia jika bersamanya, batin Jingga.

“Aku sama sekali nggak keberatan kalau kamu menceraikan aku sekarang, Dave,” lanjut Jingga, “aku tahu, kamu sudah menantikan kebersamaan kamu dengan Chelsea sejak dulu. Aku minta maaf karena aku menjadi penghalang kebahagiaan kalian. Jadi, ayo kita bercerai hari—Aakh!”

Prang!!!

Jingga seketika memekik panik saat Davin melemparkan guci ke lantai. Jingga menutupi kedua telinga dengan tangan dan memejamkan mata.

Saat mata Jingga terbuka, ia melihat serpihan-serpihan keramik berhamburan di lantai dan napas Davin tampak memburu. Pria itu menatap tajam ke arahnya dengan rahang mengeras.

“Memangnya siapa kamu berani menyuruhku seenaknya?” desis Davin sambil mendekati Jingga dengan perlahan-lahan.

“Aku sudah merasa nggak tahan dengan pernikahan ini, Dave.” Jingga berdusta.

“Begitu?” Davin mendengus. “Bukan karena kamu ingin segera menjajakkan tubuhmu pada pria-pria di luar sana?”

Jingga menggeleng seraya mundur untuk menghindari Davin. “Semurahan itukah aku di matamu?”

“Ya.” Davin terus melangkah maju. “Seharusnya kamu berterima kasih karena aku masih mau menerima anakmu di rumahku. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang? Kamu malah menyuruhku menceraikanmu seenaknya dan menikahi Chelsea?”

“Bukankah itu yang kamu mau—Aakh!” Jingga kembali memekik ketika Davin melemparkan barang-barang dari atas meja kerjanya dengan murka.

Davin mendorong Jingga dan memenjarakannya di dinding. Jemarinya mencengkeram rahang Jingga hingga wanita itu meringis.

“Kamu tahu, Jingga? Aku benci melihat wajahmu yang seperti ini,” desis Davin, “aku benar-benar ingin melihat kamu menangis di hadapanku sambil memohon-mohon supaya aku berbuat baik padamu. Sekarang, kamu seperti robot yang menjijikan.”

Mata Jingga terpejam. Hatinya terkoyak dan berdarah- darah. Ia juga ingin marah dan menangis untuk melampiaskan emosinya, tapi air matanya seakan tidak bisa keluar. Jingga tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan ekspresinya di hadapan orang lain.

“Jadi, kamu benar-benar ingin kita bercerai?” desis Davin lagi.

Tidak. Jingga tidak pernah ingin menjauh dari Davin. Jingga membuka matanya lagi dan berkata, “Iya,”

“Baik.” Davin melepaskan cengkeramannya dari rahang Jingga. Lalu ia menarik tangan wanita itu menuju sofa dan menjatuhkannya dengan kasar. Jingga memekik kesakitan. Davin berdiri dengan lutut di atas tubuh Jingga.

“Aku akan mengabulkan keinginanmu, tapi sebelum itu aku harus mendapatkan hakku,” desis Davin lagi sambil mengunci kedua pergelangan tangan Jingga di atas kepala, matanya menatap Jingga dengan penuh amarah.

“A-apa maksudmu, Dave?”

Belum sempat Jingga mengerti dengan ucapan Davin, bibir pria itu tiba-tiba membungkam mulutnya.

Jingga terhenyak. Davin menciumnya?

Ciuman itu terasa sangat kasar. Seketika Jingga diserang rasa panik. Ia memberontak dan mendorong dada Davin sekuat tenaga. Jantung Jingga berdetak cepat dan bayangan-bayangan gelap yang mengerikan berkelebat di kepalanya.

Tangan Davin bergerak kasar membuka kancing pakaian Jingga tanpa menghiraukan serangan panik yang dialaminya.

Gigitan keras di bibirnya membuat Davin seketika berhenti menciumi Jingga. Wajahnya terlempar ke samping saat sebuah tamparan mendarat di pipinya.

“Berengsek kamu, Dave!”

Davin menatap Jingga masih dengan tatapan marahnya, ia berdiri kemudian melepas cincin pernikahan mereka dari jarinya.

“Aku akan mengabulkan keinginanmu untuk bercerai!” Davin menghampiri tempat sampah dan melemparkan cincin tersebut ke dalam sana.

Hati Jingga hancur luluh lantak menyaksikan pemandangan tersebut. Jingga duduk sambil membetulkan pakaiannya yang berantakan. Tangannya gemetar. Ia menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat.

Pada saat yang sama, seseorang tiba-tiba berseru dengan ceria sambil membuka pintu, “Selamat siang, Dave! Hari ini jadi menemaniku ke pameran, ‘kan? Kenapa dari tadi teleponku nggak di—”

Ucapan Chelsea yang terdengar menggebu-gebu itu seketika terhenti begitu menyaksikan ruangan Davin yang berantaka. Ia juga menatap Davin yang murka, dan Jingga yang diam membisu di sofa. “Ada apa, Dave? Kenapa—”

“Ah, kebetulan kamu datang,” sela Davin seraya menghampiri Chelsea.

Wanita cantik itu tampak kebingungan. Ia melirik Jingga dan Davin bergantian. “Kebetulan? Memangnya ada apa?"

“Ayo kita menikah.”

Mata Chelsea terbelalak. “Me-menikah? Hey! Ta-tapi kenapa mendadak—" Chelsea terkesiap saat Davin tiba-tiba menarik tengkuknya dan mempertemukan bibir mereka berdua.

Jingga terhenyak melihatnya. Wajahnya seketika berubah sendu dan tampak kesakitan. Matanya menggenang. Dadanya terasa nyeri dan sesak seolah-olah ia sedang terhimpit dua batu besar. Kerongkongannya tercekat dan sakit menahan tangis.

Chelsea terlihat meronta dan berusaha melepaskan diri, tapi Davin tidak melepaskan ciumannya.

Untuk pertama kalinya di depan orang lain, air mata Jingga terjatuh.

“Kamu jahat, Dave,” lirihnya dengan bibir bergetar, sebelum kemudian Jingga beranjak dan melangkah terseok-seok keluar dari ruangan tersebut.

Jingga tak mampu mengentikan isak tangisnya. Sambil memukul-mukul dadanya yang amat sesak ia berdiri di depan lift.

Tak lama pintu lift terbuka. Jingga melangkah masuk. Dua orang yang ada di ruangan itu keheranan melihat Jingga yang sangat berantakan.

Namun, Jingga sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya. Dunianya sudah runtuh sejak ia menyaksikan pria yang dicintainya mencumbu wanita lain.

Jingga menumpangi taksi setelah ia keluar dari gedung New Pacific Group. Di dalam sana Jingga membiarkan tangisannya pecah sambil memukuli dada. Sang sopir melirik Jingga dari kaca spion dengan rasa iba.

“Apa… Mbak baik-baik saja?”

Jingga tak menjawab. Seluruh suara di sekitarnya hilang begitu saja. Ia hanya fokus pada dirinya dan rasa sakitnya.

Sekarang, semuanya benar-benar berakhir.

Jingga akan kehilangan cinta pertamanya untuk selamanya. Dan Davin akan hidup bahagia dengan wanita pujaan hatinya.

Ponsel Jingga berdering. Ia melihat nama Dila di layar, staf di baby daycare tempat Oliver dititipkan setiap hari selama Jingga pergi bekerja.

Jingga menghapus air mata, menarik napas sedalam- dalamnya. Setelah dirasa suaranya tidak akan menimbulkan curiga, ia mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, selamat siang.” Ternyata ia tidak bisa menghilangkan suara sengaunya secepat itu.

“Halo, Bu Jingga. Maaf mengganggu, saya mau memberitahu kalau Oliver demam.”

Sekarang, perasaan Jingga semakin bertambah kacau. “Baik. Saya akan jemput Oliver sekarang,” jawabnya, ia akan langsung membawa Oliver ke rumah sakit. “Bu Dila?”

“Iya, Bu?”

Jingga terdiam sejenak. Ia memandangi jalanan yang cukup lengang di hadapannya. Dari kejauhan, ia melihat truk putih melaju dengan kecepatan tinggi. Namun Jingga sama sekali tidak berpikiran buruk.

“Saya titip Oliver, ya. Saya percaya sama Bu Dila. Oliver… dia nggak punya siapa-siapa selain saya. Tolong sampaikan sama Oliver, kalau saya sangat menyayangi dia. Saya akan sampai sekitar—”

Tut! Tut! Tut!

Sambungan tiba-tiba terputus.

Sebuah truk putih bermuatan pasir menabrak taksi yang ditumpangi Jingga. Dan setelah mengatakan kalimat tersebut pada Dila, pandangan Jingga seketika berubah gelap.

**

“Maaf. Apa yang kulakukan barusan… semoga nggak membuatmu salah paham,” gumam Davin sambil melangkahkan kakinya melewati serpihan keramik yang berserakan di lantai.

Chelsea keluar dari keterpakuannya. Ia memutar tubuh, menatap punggung Davin yang menjauh. “Kamu menciumku… cuma untuk membuat istrimu cemburu. Apa aku benar?”

Langkah kaki Davin seketika terhenti. Kedua tangannya mengepal. “Jangan membuat asumsi sendiri.”

“Kamu mencintainya.”

“Aku nggak memiliki perasaan apapun padanya.”

“Kamu mencintai wanita itu, Davin!” Kali ini Chelsea berseru, yang membuat Davin lagi-lagi mengurungkan niatnya untuk pergi.

Kepalan tangan Davin semakin kuat. Rahangnya mengeras. Tidak. Mustahil ia mencintai Jingga. Satu- satunya wanita yang ia ‘lihat’ sejak dulu hanyalah Chelsea.

Tawa Chelsea seketika menggema di ruangan itu. Ia pura-pura tertawa, meski jauh di dalam hati ia kecewa. Sejenak kemudian tawa Chelsea perlahan terhenti. “Dugaanku benar. Kamu mencintai istrimu. Hanya saja kamu selalu mengelak perasaanmu sendiri, karena terlalu gengsi untuk mengakui kalau kamu jatuh hati pada wanita seperti Jingga.”

Davin terdiam dengan kepalan tangannya yang bergetar.

“Aku sangat tahu kamu, Davin. Kamu… egomu terlalu tinggi,” lanjut Chelsea lagi. “Kamu berharap Jingga mengerti perasaanmu, tapi kamu justru kecewa karena dia nggak memberi respons apapun padamu. Kamu juga kesal pada wanita itu karena dia nggak pernah menunjukkan perhatian dan simpatinya ke kamu, Davin. Wanita itu terlalu pendiam dan sulit dipahami. Apa aku benar?”

“Aku antar kamu pulang,” timpal Davin dengan cepat. Ia melanjutkan langkahnya lagi, sama sekali tidak menghiraukan ucapan Chelsea.

Jatuh cinta? Yang benar saja!

Itu tidak mungkin terjadi, elak Davin sekali lagi.

Bagi Davin, Jingga tetaplah wanita murahan yang telah menampung benih lelaki lain di luar pernikahan. Berulang kali Davin mengingatkan dirinya sendiri agar ia tidak bersimpati sedikit pun pada wanita liar seperti Jingga.

Namun….

Davin mematung di depan pintu lift yang tertutup. Hari ini ia benar-benar marah kepada Jingga. Davin telah memutuskan untuk tidak menceraikannya, tapi wanita itu tiba-tiba datang membawa surat gugatan cerai.

Dan apa yang Jingga bilang?

Dia mengizinkan Davin menikahi Chelsea?

Terang saja tadi Davin semakin murka, karena Jingga mengatakannya dengan tenang dan datar. Seolah-olah Jingga sama sekali tidak peduli Davin akan jatuh ke pelukan wanita manapun.

Dan itu benar-benar membuat Davin murka.

Maunya Davin, Jingga mengemis kepadanya, memohon-mohon agar Davin tidak meninggalkannya.

Namun yang dilakukan Jingga justru sebaliknya. Sial!

Davin menonjok dinding dengan marah. Ia bersumpah, akan membuat Jingga menyesal telah memilih untuk pergi dari pernikahan ini.

“Mau aku antar ke mana?” tanya Davin setelah mereka duduk di dalam mobil.

“Suasana hatiku lagi nggak baik.” Chelsea membuang muka ke kiri. Bagaimanapun, ia kecewa pada Davin. Tadi ia sempat berdebar-debar ketika Davin menciumnya. “Antar ke apartemenku saja.”

Davin melajukan kendaraannya dalam diam. Ia tahu, ia lelaki paling berengsek di planet ini, telah memanfaatkan Chelsea hanya untuk membuat Jingga menyesal.

Davin menghela napas berat seraya mengacak rambutnya hingga sedikit berantakan.

Tadi… untuk pertama kalinya Davin melihat Jingga meneteskan air mata.

Apakah itu artinya dia cemburu dan sakit hati?

Jika memang begitu yang Jingga rasakan, Davin merasa senang. Tapi di sisi lain, dadanya tiba-tiba terasa sesak.

Davin melirik ponselnya yang tergeletak di atas dashboard, yang menyala karena ada pesan masuk. 30 Januari, tanggal yang tertera di layar ponsel.

“Oh? Dave, berhenti, Dave! Ada yang kecelakaan di depan!”

Davin melihat ada kerumunan orang-orang, yang mengerubungi truk dan taksi yang bertabrakan. Kondisi taksi itu sungguh mengenaskan. Taksinya ringsek hingga tak berbentuk. Sudah ada ambulance dan mobil polisi di sana.

Namun, Davin memilih untuk tidak berhenti. Mobilnya tetap melaju dan tiba-tiba saja ia merasa gelisah.

Tak lama kemudian, ponsel Davin berdering. Nama Jingga terpampang di layar.

***

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Rasmi Rasmi
semoga jingga selamat
goodnovel comment avatar
Agus Roma
Tetesan air mata Jingga adalah kekuatan hati, karena tersakiti yang selama ini dia pendam sendiri
goodnovel comment avatar
Hasni Manik Manik
waaaah...tambah runyam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Manis sang Pewaris   7. Kabar Duka

    Satu sudut bibir Davin terangkat.Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba r

  • Istri Manis sang Pewaris   8. Kesempatan Kedua

    Seketika, Davin terhenyak. “Apa?”“Aku memang belum bisa memastikan, tapi kemungkinan besar darah kamu mengalir di tubuh anak yang Jingga lahirkan,” ulang Ethan sekali lagi.Davin melemparkan botol di tangannya ke lantai. “Sial! jangan bicara omong kosong, sialan!” desisnya sambil menarik kerah baju Ethan dengan tatapan membunuh, rahangnya berkedut. “Katakan sekali lagi!”Ethan tidak terpancing emosi. Ia malah menggenggam tangan Davin yang masih mencengkeram kerahnya. “Kita bicarakan ini baik-baik. Jangan mengedepankan emosi.”Davin mendengus. Dengan terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, dan duduk kembali di kursinya. “Jelaskan padaku, omong kosong apa yang baru saja kamu bicarakan!”“Kamu ingat, dua tahun lalu, waktu pengacara Kakek datang dan menyampaikan surat wasiat dari Kakek, supaya kita mencari wanita yang bernama Jingga?”Davin mengangguk. “Ya.”“Jadi, saat itu….”Saat itu Davin merasa frustrasi, karena ia ditekan oleh orang tuanya agar segera menemukan Jingga untuk kemudian

  • Istri Manis sang Pewaris   9. Bertemu Lagi Dengan Sosok Yang Dirindukan

    ‘Kumohon… semoga ini bukan hanya mimpi.’ Davin membatin seraya melangkahkan kakinya mendekati Jingga dan menatap wanita itu dengan tatapan penuh harap. Davin merasakan jantungnya berdebar-debar. Jingga, yang memakai kemeja putih dan celana kain warna coklat itupun seketika berdiri. Matanya membulat, seakan-akan tidak percaya Davin datang untuk menemuinya. “Dave? Ke-kenapa… kamu di—” Pertanyaan Jingga seketika terhenti saat Davin menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Tubuh Jingga menegang dan mematung. Davin memeluknya dengan erat untuk memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, ini terasa begitu nyata. Davin bisa merasakan hangatnya tubuh Jingga yang tenggelam dalam dekapannya. Dan baru Davin sadari bahwa wanita ini sangat kurus, dia sangat rapuh. Di kehidupan sebelumnya, Davin tidak pernah satu kalipun memeluk Jingga. “Senang bisa bertemu kamu lagi… Jingga,” gumam Davin dengan suara bergetar. Davin menunduk, menumpukan dagu di bahu Jingga dan memeluknya semakin erat

  • Istri Manis sang Pewaris   10. Saya Suaminya

    Melihat ekspresi mengeras di wajah Davin, Jingga merasa pria itu akan benar-benar marah kepadanya. Tangan kiri Jingga meremas pakaiannya dengan perasaan cemas.“I-itu… aku pikir, kamu akan marah kalau aku mengaku sebagai istrimu,” jawab Jingga tergagap-gagap.Seketika, Davin terdiam. Ketegangan di wajah Davin perlahan memudar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan merapikan kembali kotak P3K. Tampak penyesalan yang tergambar jelas di wajahnya.“Apa dengan jari seperti itu kamu masih bisa melukis?” tanya Davin kemudian.Jingga mengangguk. “Masih,” jawabnya, “ini nggak terlalu sakit.”“Baiklah. Aku akan mengembalikan ini dulu.” Davin memutar badan dan hendak melangkah, tapi ia mengurungkan niatnya saat Jingga menarik kain lengan kemejanya. Davin kembali berbalik. “Ada apa?”Jingga diam sejenak, sambil menimbang-nimbang apakah ia berani menyuarakan pertanyaannya atau tidak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya bertanya, “Boleh aku tahu apa alasanmu datang ke sini?”“Itu….” Davin meng

  • Istri Manis sang Pewaris   11. Anak Kandungnya

    “Kami memang sering bertemu, karena aku bekerja di studio dia.” “Damn!” Secara spontan Davin mengumpat seraya memukul kemudi dengan pelan. Davin tidak suka mendengarnya. Apalagi ia bisa melihat dengan jelas tatapan lelaki bernama Kalil itu saat menatap Jingga, tadi. Sebagai sesama seorang lelaki, Davin tahu arti tatapan lelaki itu. Cengkeraman tangan Davin semakin kuat pada kemudi, tanpa sadar ia menaikkan kecepatan kendaraannya dengan wajah mengeras. “Kamu… marah? Apa aku perlu turun di sini?” gumam Jingga, yang membuat Davin terhenyak. Davin menoleh pada Jingga, sejenak. Lalu mengembuskan napas panjang. Ia sudah diberi kesempatan kedua untuk menatap wanita ini lagi. Seharusnya ia memperlakukan Jingga dengan baik dan bersikap lebih lembut. Namun, Davin tidak terbiasa melakukan hal itu, sehingga ia merasa sedikit canggung ketika ingin bersikap lebih lembut pada Jingga. “Jangan terlalu dekat dengan lelaki itu.” Davin berkata dengan suara yang tidak terlalu dingin. “Kenapa?” Dav

  • Istri Manis sang Pewaris   12. Terlalu Berharap

    Jingga tengah memasak makan malam. Namun, lagi-lagi ia dibuat bingung dengan sikap Davin, yang sejak tadi duduk di meja makan sambil memerhatikannya. Membuat Jingga merasa setiap gerak-geriknya diawasi, dan Jingga khawatir ada yang salah dengan sikapnya di mata Davin. Lalu ujung-ujungnya Davin memarahinya karena kesalahannya, seperti yang sudah-sudah.Jingga membuka kabinet atas untuk mengambil bumbu penyedap rasa yang masih utuh. Ia berjinjit, tapi tangannya tak dapat menjangkau benda tersebut.Tiba-tiba, Jingga merasakan dada seseorang menempel di punggungnya. Disusul dengan tangan panjang Davin yang mengambil bumbu dalam kemasan plastik itu.Jingga terkesiap. Ia memekik kaget dan hendak mundur untuk menjauh. Akan tetapi, punggungnya justru malah menabrak dada Davin dan akhirnya ia terjebak dalam pelukan pria itu.“Hati-hati. Kamu bisa melukai dirimu sendiri,” bisik Davin.Jingga merasakan napas hangat Davin menerpa telinganya. Pria itu memeluknya dari belakang. Lalu tangan Davin ya

  • Istri Manis sang Pewaris   13. Pulang Lebih Cepat

    “Segini cukup?”Isabela membelalak menatap layar ponsel Davin, yang memperlihatkan jumlah uang dua digit yang akan ditransfer pada internet banking.Namun, Isabela tersenyum masam.“Maaf. Harga diriku tidak semurah itu.”“Baik.” Davin kembali mengoreksi jumlahnya menjadi tiga digit.Malam ini, Davin akan membuktikan jika ia bisa mengubah masa depan. Bukan meminta maaf dengan merayu Isabela dan membawanya ke atas ranjang seperti di masa lalu, melainkan dengan memberinya kompensasi sejumlah uang yang tidak sedikit.“Bagaimana dengan ini?” Davin menunjukkan layar ponselnya kembali.Senyuman merekah tersungging di bibir merah Isabela. Sedetik kemudian senyuman itu hilang. Dia harus bersikap jual mahal.“Baiklah. Cukup.”“Hapus dulu foto-fotoku di handphone kamu. Baru setelah itu akan aku transfer.”Isabela membuang napas. Dengan wajah terpaksa ia menghapus foto mereka di galeri ponselnya. Lalu ia tersenyum lebar kala mendapat pemberitahuan ada uang masuk ke rekeningnya. Davin kemudian mer

  • Istri Manis sang Pewaris   14. Tes DNA

    “Apa… aku yang sudah membuatmu menangis barusan?”Jingga tak menjawab.Davin merasakan tubuh Jingga menegang saat Davin menyentuh pipinya, dan kini wanita itu mau menatapnya.Wajah Davin semakin mendekat. Napas hangatnya terasa menerpa wajah Jingga. Perlahan-lahan, Davin mendaratkan bibirnya di atas bibir Jingga, yang membuat wanita itu seketika terhenyak. Tangan Jingga mencengkeram pakaiannya hingga bergetar.Sial. Davin tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Ia hanya mengikuti naluri untuk memejamkan mata dan memagut bibir Jingga dengan penuh kelembutan. wanita itu hanya diam mematung.Dan, tiba-tiba…."Hentikan!" Jingga mendorong dada Davin, membuat Davin seketika mundur dan membuka kelopak matanya dalam sekejap. Ia menatap Jingga dengan tatapan penuh kebingungan.“Ke-kenapa kamu… melakukannya?” tanya Jingga dengan bibir gemetar.Davin tidak mengerti apa yang sebenarnya Jingga pikirkan. Ia lantas berdiri tegak dan menggaruk dahi. “Apa aku harus minta izin dulu padamu sebelum mela

Bab terbaru

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 10

    “Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 9

    “Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 8

    Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 7

    Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 6

    Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 5

    “Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 4

    Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 3

    Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 2

    “Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah

DMCA.com Protection Status