Share

6. Pertengkaran

Pintu lift terbuka. Davin kembali menyeret Jingga memasuki ruangannya. Kemudian melepaskan lengan wanita itu dengan kasar hingga punggung Jingga membentur dinding.

“Kenapa datang ke sini?” desis Davin dengan napas memburu penuh amarah. “Kamu sengaja datang ke sini untuk mempermalukanku?”

Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terluka. “Mempermalukanmu?” Jingga menggeleng, dan kembali bersuara lirih, “Aku nggak pernah sama sekali punya niat untuk bikin kamu malu, Dave.”

Davin setengah mendengus dan setengah tertawa. Tatapannya semakin tajam, membuat nyali Jingga menciut.

“Kamu nggak lihat orang-orang di bawah tadi menghinamu, Jingga?” Jari telunjuknya mengacung menunjuk ke arah pintu. “Di luar sana, mereka membicarakanmu, menghinamu. Dengan kamu mengakui sebagai istriku, sama saja kamu sudah mempermalukanku di depan karyawanku.”

Jingga tercenung.

“Sebelum datang ke sini, seharusnya kamu memperhatikan penampilanmu. Lalu tanya pada dirimu sendiri, apakah kamu pantas untuk mengaku sebagai istriku atau tidak!”

Kata demi kata dari mulut Davin berhasil menyayat- nyayat hati Jingga hingga perih dan berdarah-darah. Jingga masih termenung, mengepalkan kedua belah telapak tangannya yang gemetar.

Tidak apa-apa jika orang lain menghinanya. Jingga sudah kebal dengan hal itu, ia tumbuh dengan hinaan dan caci maki.

Namun, saat Davin yang berbicara demikian, Jingga tidak bisa untuk merasa baik-baik saja. Hatinya benar-benar terluka.

Meski ingin marah, meski ingin melontarkan kata-kata pembelaan, tapi yang terucap dari mulut Jingga hanya, “Maaf. Aku sudah membuatmu malu. Aku janji, ini adalah pertama dan terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini.”

“Bagus kalau kamu mengerti.” Masih dengan ekspresi marah di wajahnya, Davin mendekati dinding kaca dan berdiri di sana sambil memperhatikan pemandangan di luar, membelakangi Jingga. “Selain untuk mempermalukanku, alasan apa lagi yang membuatmu datang ke sini?”

Jingga memandangi punggung Davin dengan tatapan sedih dan terluka. Selama ini, ia selalu merasa cukup tenang saat menyadari bahwa Davin ada di sisinya, ia masih bisa memandangi sosoknya, meski Davin tak pernah benar-benar melihatnya dan memberinya perlindungan. Namun kehadirannya saja sudah cukup.

Sekarang, bolehkah Jingga memandangi punggung Davin untuk waktu yang cukup lama? Sebelum nanti….

“Kenapa diam saja? Kamu tahu apa fungsinya mulut?” Suara Davin—yang sudah tak sedingin sebelumnya, membuyarkan lamunan Jingga.

Jingga mendekati Davin, lantas mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas tangannya. “Aku sengaja ingin menemui kamu, untuk menyerahkan ini.”

Davin memutar badan, melirik Jingga sejenak, sebelum kemudian tangannya mengambil amplop coklat yang baru saja ditaruh Jingga di meja.

“Apa ini?”

“Surat gugatan cerai dariku.”

Davin terdiam. Tangannya yang akan mengeluarkan isi surat itu seketika terhenti. “Apa?” Suaranya kembali berubah dingin dalam sekejap. “Surat gugatan cerai?”

“Iya.” Jingga menunduk, tak berani menatap mata Davin yang mendadak terlihat… mengerikan. Jantung Jingga berdetak cepat, ia meremas kedua tangannya yang gemetar.

Dengan dada sesak, Jingga melanjutkan, “Acara serah terima perusahaan memang tinggal empat hari lagi. Tapi… aku ingin mengajukan perceraian kepadamu hari ini karena—”

“Supaya aku tahu kalau yang menginginkan perceraian bukan hanya aku saja? Tapi kamu juga menginginkannya?” sela Davin dengan rahang berkedut.

Bayangan Davin tertawa bersama Chelsea berkelebat di kepala Jingga. Ia mengepalkan telapak tangannya, dan mengangguk. “Iya.”

Davin mendengus sekaligus tertawa.

Sebelum Davin sempat berbicara, Jingga kembali berkata, “Aku… juga sama sekali nggak keberatan kalau kamu mau menikahi Chelsea.”

“Apa?” Suara Davin semakin dingin dan menusuk.

Jingga mendongak, menipiskan bibirnya, tak terlihat ekspresi sedih di wajahnya—yang sangat bertolak belakang dengan hatinya yang amat perih. “Kalau kamu mau menikahi Chelsea secepatnya, ceraikan aku sekarang.”

“Jadi kamu mau aku menikahi Chelsea?”

Jingga mengangguk. Karena kamu sangat mencintainya dan akan bahagia jika bersamanya, batin Jingga.

“Aku sama sekali nggak keberatan kalau kamu menceraikan aku sekarang, Dave,” lanjut Jingga, “aku tahu, kamu sudah menantikan kebersamaan kamu dengan Chelsea sejak dulu. Aku minta maaf karena aku menjadi penghalang kebahagiaan kalian. Jadi, ayo kita bercerai hari—Aakh!”

Prang!!!

Jingga seketika memekik panik saat Davin melemparkan guci ke lantai. Jingga menutupi kedua telinga dengan tangan dan memejamkan mata.

Saat mata Jingga terbuka, ia melihat serpihan-serpihan keramik berhamburan di lantai dan napas Davin tampak memburu. Pria itu menatap tajam ke arahnya dengan rahang mengeras.

“Memangnya siapa kamu berani menyuruhku seenaknya?” desis Davin sambil mendekati Jingga dengan perlahan-lahan.

“Aku sudah merasa nggak tahan dengan pernikahan ini, Dave.” Jingga berdusta.

“Begitu?” Davin mendengus. “Bukan karena kamu ingin segera menjajakkan tubuhmu pada pria-pria di luar sana?”

Jingga menggeleng seraya mundur untuk menghindari Davin. “Semurahan itukah aku di matamu?”

“Ya.” Davin terus melangkah maju. “Seharusnya kamu berterima kasih karena aku masih mau menerima anakmu di rumahku. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang? Kamu malah menyuruhku menceraikanmu seenaknya dan menikahi Chelsea?”

“Bukankah itu yang kamu mau—Aakh!” Jingga kembali memekik ketika Davin melemparkan barang-barang dari atas meja kerjanya dengan murka.

Davin mendorong Jingga dan memenjarakannya di dinding. Jemarinya mencengkeram rahang Jingga hingga wanita itu meringis.

“Kamu tahu, Jingga? Aku benci melihat wajahmu yang seperti ini,” desis Davin, “aku benar-benar ingin melihat kamu menangis di hadapanku sambil memohon-mohon supaya aku berbuat baik padamu. Sekarang, kamu seperti robot yang menjijikan.”

Mata Jingga terpejam. Hatinya terkoyak dan berdarah- darah. Ia juga ingin marah dan menangis untuk melampiaskan emosinya, tapi air matanya seakan tidak bisa keluar. Jingga tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan ekspresinya di hadapan orang lain.

“Jadi, kamu benar-benar ingin kita bercerai?” desis Davin lagi.

Tidak. Jingga tidak pernah ingin menjauh dari Davin. Jingga membuka matanya lagi dan berkata, “Iya,”

“Baik.” Davin melepaskan cengkeramannya dari rahang Jingga. Lalu ia menarik tangan wanita itu menuju sofa dan menjatuhkannya dengan kasar. Jingga memekik kesakitan. Davin berdiri dengan lutut di atas tubuh Jingga.

“Aku akan mengabulkan keinginanmu, tapi sebelum itu aku harus mendapatkan hakku,” desis Davin lagi sambil mengunci kedua pergelangan tangan Jingga di atas kepala, matanya menatap Jingga dengan penuh amarah.

“A-apa maksudmu, Dave?”

Belum sempat Jingga mengerti dengan ucapan Davin, bibir pria itu tiba-tiba membungkam mulutnya.

Jingga terhenyak. Davin menciumnya?

Ciuman itu terasa sangat kasar. Seketika Jingga diserang rasa panik. Ia memberontak dan mendorong dada Davin sekuat tenaga. Jantung Jingga berdetak cepat dan bayangan-bayangan gelap yang mengerikan berkelebat di kepalanya.

Tangan Davin bergerak kasar membuka kancing pakaian Jingga tanpa menghiraukan serangan panik yang dialaminya.

Gigitan keras di bibirnya membuat Davin seketika berhenti menciumi Jingga. Wajahnya terlempar ke samping saat sebuah tamparan mendarat di pipinya.

“Berengsek kamu, Dave!”

Davin menatap Jingga masih dengan tatapan marahnya, ia berdiri kemudian melepas cincin pernikahan mereka dari jarinya.

“Aku akan mengabulkan keinginanmu untuk bercerai!” Davin menghampiri tempat sampah dan melemparkan cincin tersebut ke dalam sana.

Hati Jingga hancur luluh lantak menyaksikan pemandangan tersebut. Jingga duduk sambil membetulkan pakaiannya yang berantakan. Tangannya gemetar. Ia menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat.

Pada saat yang sama, seseorang tiba-tiba berseru dengan ceria sambil membuka pintu, “Selamat siang, Dave! Hari ini jadi menemaniku ke pameran, ‘kan? Kenapa dari tadi teleponku nggak di—”

Ucapan Chelsea yang terdengar menggebu-gebu itu seketika terhenti begitu menyaksikan ruangan Davin yang berantaka. Ia juga menatap Davin yang murka, dan Jingga yang diam membisu di sofa. “Ada apa, Dave? Kenapa—”

“Ah, kebetulan kamu datang,” sela Davin seraya menghampiri Chelsea.

Wanita cantik itu tampak kebingungan. Ia melirik Jingga dan Davin bergantian. “Kebetulan? Memangnya ada apa?"

“Ayo kita menikah.”

Mata Chelsea terbelalak. “Me-menikah? Hey! Ta-tapi kenapa mendadak—" Chelsea terkesiap saat Davin tiba-tiba menarik tengkuknya dan mempertemukan bibir mereka berdua.

Jingga terhenyak melihatnya. Wajahnya seketika berubah sendu dan tampak kesakitan. Matanya menggenang. Dadanya terasa nyeri dan sesak seolah-olah ia sedang terhimpit dua batu besar. Kerongkongannya tercekat dan sakit menahan tangis.

Chelsea terlihat meronta dan berusaha melepaskan diri, tapi Davin tidak melepaskan ciumannya.

Untuk pertama kalinya di depan orang lain, air mata Jingga terjatuh.

“Kamu jahat, Dave,” lirihnya dengan bibir bergetar, sebelum kemudian Jingga beranjak dan melangkah terseok-seok keluar dari ruangan tersebut.

Jingga tak mampu mengentikan isak tangisnya. Sambil memukul-mukul dadanya yang amat sesak ia berdiri di depan lift.

Tak lama pintu lift terbuka. Jingga melangkah masuk. Dua orang yang ada di ruangan itu keheranan melihat Jingga yang sangat berantakan.

Namun, Jingga sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya. Dunianya sudah runtuh sejak ia menyaksikan pria yang dicintainya mencumbu wanita lain.

Jingga menumpangi taksi setelah ia keluar dari gedung New Pacific Group. Di dalam sana Jingga membiarkan tangisannya pecah sambil memukuli dada. Sang sopir melirik Jingga dari kaca spion dengan rasa iba.

“Apa… Mbak baik-baik saja?”

Jingga tak menjawab. Seluruh suara di sekitarnya hilang begitu saja. Ia hanya fokus pada dirinya dan rasa sakitnya.

Sekarang, semuanya benar-benar berakhir.

Jingga akan kehilangan cinta pertamanya untuk selamanya. Dan Davin akan hidup bahagia dengan wanita pujaan hatinya.

Ponsel Jingga berdering. Ia melihat nama Dila di layar, staf di baby daycare tempat Oliver dititipkan setiap hari selama Jingga pergi bekerja.

Jingga menghapus air mata, menarik napas sedalam- dalamnya. Setelah dirasa suaranya tidak akan menimbulkan curiga, ia mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, selamat siang.” Ternyata ia tidak bisa menghilangkan suara sengaunya secepat itu.

“Halo, Bu Jingga. Maaf mengganggu, saya mau memberitahu kalau Oliver demam.”

Sekarang, perasaan Jingga semakin bertambah kacau. “Baik. Saya akan jemput Oliver sekarang,” jawabnya, ia akan langsung membawa Oliver ke rumah sakit. “Bu Dila?”

“Iya, Bu?”

Jingga terdiam sejenak. Ia memandangi jalanan yang cukup lengang di hadapannya. Dari kejauhan, ia melihat truk putih melaju dengan kecepatan tinggi. Namun Jingga sama sekali tidak berpikiran buruk.

“Saya titip Oliver, ya. Saya percaya sama Bu Dila. Oliver… dia nggak punya siapa-siapa selain saya. Tolong sampaikan sama Oliver, kalau saya sangat menyayangi dia. Saya akan sampai sekitar—”

Tut! Tut! Tut!

Sambungan tiba-tiba terputus.

Sebuah truk putih bermuatan pasir menabrak taksi yang ditumpangi Jingga. Dan setelah mengatakan kalimat tersebut pada Dila, pandangan Jingga seketika berubah gelap.

**

“Maaf. Apa yang kulakukan barusan… semoga nggak membuatmu salah paham,” gumam Davin sambil melangkahkan kakinya melewati serpihan keramik yang berserakan di lantai.

Chelsea keluar dari keterpakuannya. Ia memutar tubuh, menatap punggung Davin yang menjauh. “Kamu menciumku… cuma untuk membuat istrimu cemburu. Apa aku benar?”

Langkah kaki Davin seketika terhenti. Kedua tangannya mengepal. “Jangan membuat asumsi sendiri.”

“Kamu mencintainya.”

“Aku nggak memiliki perasaan apapun padanya.”

“Kamu mencintai wanita itu, Davin!” Kali ini Chelsea berseru, yang membuat Davin lagi-lagi mengurungkan niatnya untuk pergi.

Kepalan tangan Davin semakin kuat. Rahangnya mengeras. Tidak. Mustahil ia mencintai Jingga. Satu- satunya wanita yang ia ‘lihat’ sejak dulu hanyalah Chelsea.

Tawa Chelsea seketika menggema di ruangan itu. Ia pura-pura tertawa, meski jauh di dalam hati ia kecewa. Sejenak kemudian tawa Chelsea perlahan terhenti. “Dugaanku benar. Kamu mencintai istrimu. Hanya saja kamu selalu mengelak perasaanmu sendiri, karena terlalu gengsi untuk mengakui kalau kamu jatuh hati pada wanita seperti Jingga.”

Davin terdiam dengan kepalan tangannya yang bergetar.

“Aku sangat tahu kamu, Davin. Kamu… egomu terlalu tinggi,” lanjut Chelsea lagi. “Kamu berharap Jingga mengerti perasaanmu, tapi kamu justru kecewa karena dia nggak memberi respons apapun padamu. Kamu juga kesal pada wanita itu karena dia nggak pernah menunjukkan perhatian dan simpatinya ke kamu, Davin. Wanita itu terlalu pendiam dan sulit dipahami. Apa aku benar?”

“Aku antar kamu pulang,” timpal Davin dengan cepat. Ia melanjutkan langkahnya lagi, sama sekali tidak menghiraukan ucapan Chelsea.

Jatuh cinta? Yang benar saja!

Itu tidak mungkin terjadi, elak Davin sekali lagi.

Bagi Davin, Jingga tetaplah wanita murahan yang telah menampung benih lelaki lain di luar pernikahan. Berulang kali Davin mengingatkan dirinya sendiri agar ia tidak bersimpati sedikit pun pada wanita liar seperti Jingga.

Namun….

Davin mematung di depan pintu lift yang tertutup. Hari ini ia benar-benar marah kepada Jingga. Davin telah memutuskan untuk tidak menceraikannya, tapi wanita itu tiba-tiba datang membawa surat gugatan cerai.

Dan apa yang Jingga bilang?

Dia mengizinkan Davin menikahi Chelsea?

Terang saja tadi Davin semakin murka, karena Jingga mengatakannya dengan tenang dan datar. Seolah-olah Jingga sama sekali tidak peduli Davin akan jatuh ke pelukan wanita manapun.

Dan itu benar-benar membuat Davin murka.

Maunya Davin, Jingga mengemis kepadanya, memohon-mohon agar Davin tidak meninggalkannya.

Namun yang dilakukan Jingga justru sebaliknya. Sial!

Davin menonjok dinding dengan marah. Ia bersumpah, akan membuat Jingga menyesal telah memilih untuk pergi dari pernikahan ini.

“Mau aku antar ke mana?” tanya Davin setelah mereka duduk di dalam mobil.

“Suasana hatiku lagi nggak baik.” Chelsea membuang muka ke kiri. Bagaimanapun, ia kecewa pada Davin. Tadi ia sempat berdebar-debar ketika Davin menciumnya. “Antar ke apartemenku saja.”

Davin melajukan kendaraannya dalam diam. Ia tahu, ia lelaki paling berengsek di planet ini, telah memanfaatkan Chelsea hanya untuk membuat Jingga menyesal.

Davin menghela napas berat seraya mengacak rambutnya hingga sedikit berantakan.

Tadi… untuk pertama kalinya Davin melihat Jingga meneteskan air mata.

Apakah itu artinya dia cemburu dan sakit hati?

Jika memang begitu yang Jingga rasakan, Davin merasa senang. Tapi di sisi lain, dadanya tiba-tiba terasa sesak.

Davin melirik ponselnya yang tergeletak di atas dashboard, yang menyala karena ada pesan masuk. 30 Januari, tanggal yang tertera di layar ponsel.

“Oh? Dave, berhenti, Dave! Ada yang kecelakaan di depan!”

Davin melihat ada kerumunan orang-orang, yang mengerubungi truk dan taksi yang bertabrakan. Kondisi taksi itu sungguh mengenaskan. Taksinya ringsek hingga tak berbentuk. Sudah ada ambulance dan mobil polisi di sana.

Namun, Davin memilih untuk tidak berhenti. Mobilnya tetap melaju dan tiba-tiba saja ia merasa gelisah.

Tak lama kemudian, ponsel Davin berdering. Nama Jingga terpampang di layar.

***

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Rasmi Rasmi
semoga jingga selamat
goodnovel comment avatar
Agus Roma
Tetesan air mata Jingga adalah kekuatan hati, karena tersakiti yang selama ini dia pendam sendiri
goodnovel comment avatar
Hasni Manik Manik
waaaah...tambah runyam
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status