“Apa… aku yang sudah membuatmu menangis barusan?”Jingga tak menjawab.Davin merasakan tubuh Jingga menegang saat Davin menyentuh pipinya, dan kini wanita itu mau menatapnya.Wajah Davin semakin mendekat. Napas hangatnya terasa menerpa wajah Jingga. Perlahan-lahan, Davin mendaratkan bibirnya di atas bibir Jingga, yang membuat wanita itu seketika terhenyak. Tangan Jingga mencengkeram pakaiannya hingga bergetar.Sial. Davin tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Ia hanya mengikuti naluri untuk memejamkan mata dan memagut bibir Jingga dengan penuh kelembutan. wanita itu hanya diam mematung.Dan, tiba-tiba…."Hentikan!" Jingga mendorong dada Davin, membuat Davin seketika mundur dan membuka kelopak matanya dalam sekejap. Ia menatap Jingga dengan tatapan penuh kebingungan.“Ke-kenapa kamu… melakukannya?” tanya Jingga dengan bibir gemetar.Davin tidak mengerti apa yang sebenarnya Jingga pikirkan. Ia lantas berdiri tegak dan menggaruk dahi. “Apa aku harus minta izin dulu padamu sebelum mela
“Anda terlambat. Dia sudah pulang naik bis lima menit yang lalu.”Davin melirik arloji di tangan kiri sambil mengembuskan napas kecewa.“Baik kalau begitu. Terima kasih,” ucap Davin seraya menaikkan pandangannya pada Kalil yang berdiri di hadapannya. “Saya pamit.”Davin memutar tubuhnya dan hendak meninggalkan lobi Madhava Studio. Namun, ucapan Kalil selanjutnya membuat langkah kaki Davin seketika terhenti.“Anda pasti tidak tahu jam berapa jadwal Jingga pulang, bukan?”Sial. Pria itu bisa dengan mudah menebaknya, desis Davin dalam hati dengan rahang berkedut.Terpaksa Davin membalikkan badannya kembali menghadap Kalil. Sorot matanya yang tajam menyiratkan ia tidak menyukai atasan Jingga tersebut.“Tahu atau tidak, saya rasa itu bukan urusan Anda. Anda tidak berhak menilai saya.”Kalil tertawa kecil, lalu manggut-manggut. Ia berjalan mendekati Davin dan berhenti sekitar dua langkah di hadapannya. “Sebagai teman dekat yang sangat peduli pada kebahagiaan Jingga, tentu saja saya berhak.”
Jingga tertegun menatap tangannya yang berada dalam genggaman Davin. Kehangatan telapak tangan pria itu mengalir ke tangan Jingga yang dingin.Kemudian Jingga menaikkan pandangannya ke wajah Davin yang tengah menatap ke depan dengan tatapan tegas.Sungguh, Jingga tidak tahu apa yang harus ia rasakan saat ini. Entah ia harus senang, atau justru harus waspada atas perubahan sikap Davin yang drastis ini.“Hujannya sudah reda,” komentar Jingga.“Hm. Sudah reda.”“Payungnya….”“Kenapa payungnya?” Davin balik bertanya.“Nggak kamu tutup?”Mata Davin mendelik pada wanita yang tingginya hanya sebatas dadanya itu. “Kenapa harus ditutup? Kamu ingin berjalan menjauh dariku seperti tadi? Lagi pula masih ada gerimis, belum sepenuhnya reda.” Davin berdehem dan meluruskan kembali pandangannya.Mulut Jingga ternganga, lalu mengatup lagi, ia menggerutu sendiri, “Dia selalu salah paham. Memangnya siapa yang bilang aku mau berjalan menjauhinya kalau payungnya ditutup?”“Apa?” Davin menatap Jingga dengan
Jingga memijat pergelangan kaki kirinya yang terasa pegal. Sambil sesekali ia memperhatikan Oliver yang sibuk melempar-lemparkan bola kain ke arahnya.Anak gempal itu terlihat senang bisa mengeksplorasi rumah luas, yang selama ini nyaris tidak pernah ia gunakan untuk bermain.Selain di daycare, Oliver lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Jingga merasa bersalah, karena sebagai seorang ibu ia tidak bisa memberi kehidupan yang layak untuk putranya.“Sayang, kalau Mama sudah gajian awal bulan nanti, Mama janji akan beliin kamu mainan dan baju baru,” gumam Jingga sambil menatap nanar pada beberapa mainan Oliver yang itu-itu saja dan nyaris rusak. Warna baju yang dikenakan Oliver pun sudah mulai pudar.Oliver hanya tersenyum lebar sambil bergelak tawa. Matanya yang polos dan jernih membuat hati Jingga merasa teriris-iris saat menatapnya.Tanpa Jingga sadari, di ambang pintu kamar utama, Davin memperhatikan mereka sejak tadi sambil bersandar pada kusen pintu. Kedua belah telapak t
Jantung Jingga berpacu semakin kuat, lututnya gemetar saat wajah Davin semakin mendekat ke wajahnya. Mata Jingga kemudian terpejam dengan perasaan takut. Napas hangat Davin yang menerpa wajahnya membuat Jingga berteriak dan secara spontan mendorong Davin dengan sekuat tenaga."Aku mohon maafkan aku. Ja-jangan mencekikku. Aku janji, aku nggak akan mengulang kesalahan yang sama. Please… beri aku kesempatan, jangan menghukumku, Dave. Aku… aku… masih ingin hidup,” lirih Jingga sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada.“Apa? Mencekik?” Davin terperangah, sekaligus merasa sesak saat melihat Jingga yang tampak ketakutan. “Siapa yang akan mencekikmu, Jingga? Kamu pikir aku pria yang sekejam itu?”Jingga terdiam. Perlahan kelopak matanya terbuka dan menatap Davin dengan bingung. “Jadi barusan, kamu bukan mau mencekik leherku?”Davin mengusap wajahnya dengan kasar. “Bukan.”“Lalu? Kamu bilang, kamu mau menghukumku?”Mata Davin mengerjap, jemarinya menggaruk dahi dan ia tampak salah t
‘Aku juga suka gaun itu,’ batin Jingga, yang tak berani ia suarakan.Rasanya, Jingga tak pantas untuk menjadi pemilik gaun cantik dan indah tersebut.Jingga hanya diam, memperhatikan Davin yang sedang memanggil pelayan untuk menurunkan gaun hitam itu untuk Chelsea.Bahkan, Davin sama sekali tidak bertanya gaun mana yang Jingga sukai.“Sudah dapat dress yang kamu suka?” tanya Davin tiba-tiba, yang membuat Jingga sedikit terkejut. Ia mendongak dan mendapati Davin tengah menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.Jingga menggeleng. “Belum,” dustanya.“Mau aku bantu carikan?”“Nggak usah.” Jingga memutar tubuh dan hendak meninggalkan Davin, akan tetapi kedatangan Widya membuat langkahnya seketika terhenti.“Nah, ‘kan, saya sudah bilang, Bu Jingga sangat cocok pakai gaun yang itu,” kata Widya sambil melihat gaun hitam yang sedang diturunkan oleh dua stafnya. Lalu menatap Jingga sambil tersenyum. “Mau dicobain sekarang?”Jingga te
“Jingga, cowok yang waktu itu datang ke sini, siapa dia? Boleh aku minta nomor handphone-nya?”Pertanyaan Messy—yang tiba-tiba berdiri di sampingnya sambil bersedekap dada, membuat Jingga mengalihkan tatapannya dari air yang mengucur ke gelas, ke arah staf finance Madhava Studio itu.“Kenapa kamu ingin tahu?” gumam Jingga tanpa ekspresi.Messy kesal dengan respons Jingga yang tak bersahabat. Di studio ini hampir tidak ada yang dekat dengan Jingga, kecuali pimpinan mereka.“Kali aja aku bisa ngajak dia jalan keluar. Ngomong-ngomong, kamu kenal dia dari mana? Kok bisa dia kenal kamu?”Jingga mematikan keran dispenser dan meneguk air minumnya sejenak. Ia taruh kembali gelas ke meja, lalu berkata, “Dia suamiku.”Mata Messy terbelalak. Sedetik kemudian, tawanya menggema di ruangan pantry itu. “Suami? Hey, jangan bercanda.”“Kenapa? Kamu nggak percaya?”“Ya siapa juga yang bakal percaya?” Messy masih tertawa, geleng-geleng kepala. “L
Jingga sama sekali tidak pernah menyangka kalau Davin akan membawanya ke tempat ini. Dulu, hal seperti ini amat mustahil terjadi. Bahkan bermimpi saja Jingga tidak berani.Namun, sore ini, tidak ada angin tidak ada hujan, Davin membawa Jingga ke sebuah toko perlengkapan bayi dan balita, yang merupakan salah satu toko terbesar dan terkenal di ibukota.“Cari baju yang cocok untuk Oliver,” kata Davin, “ayo masuk.”Jingga sedikit mengangkat Oliver dalam pangkuannya. Lalu berjalan di belakang Davin dan memberi mereka jarak saat memasuki toko tersebut.Sebelum membuka pintu, Davin menoleh ke belakang dan mengerutkan keningnya. “Kenapa menjauh dariku?”“Itu… aku rasa lebih baik kita menjaga jarak.” Jingga menatap beberapa orang di dalam toko. Ia tidak ingin mempermalukan Davin dengan kehadirannya di sisinya. “Lagi pula, aku nggak akan sanggup membeli baju-baju di sini. Aku belum menerima gaji bulan ini, jadi… lebih baik kita cari toko yang lebih—”