“Segini cukup?”Isabela membelalak menatap layar ponsel Davin, yang memperlihatkan jumlah uang dua digit yang akan ditransfer pada internet banking.Namun, Isabela tersenyum masam.“Maaf. Harga diriku tidak semurah itu.”“Baik.” Davin kembali mengoreksi jumlahnya menjadi tiga digit.Malam ini, Davin akan membuktikan jika ia bisa mengubah masa depan. Bukan meminta maaf dengan merayu Isabela dan membawanya ke atas ranjang seperti di masa lalu, melainkan dengan memberinya kompensasi sejumlah uang yang tidak sedikit.“Bagaimana dengan ini?” Davin menunjukkan layar ponselnya kembali.Senyuman merekah tersungging di bibir merah Isabela. Sedetik kemudian senyuman itu hilang. Dia harus bersikap jual mahal.“Baiklah. Cukup.”“Hapus dulu foto-fotoku di handphone kamu. Baru setelah itu akan aku transfer.”Isabela membuang napas. Dengan wajah terpaksa ia menghapus foto mereka di galeri ponselnya. Lalu ia tersenyum lebar kala mendapat pemberitahuan ada uang masuk ke rekeningnya. Davin kemudian mer
“Apa… aku yang sudah membuatmu menangis barusan?”Jingga tak menjawab.Davin merasakan tubuh Jingga menegang saat Davin menyentuh pipinya, dan kini wanita itu mau menatapnya.Wajah Davin semakin mendekat. Napas hangatnya terasa menerpa wajah Jingga. Perlahan-lahan, Davin mendaratkan bibirnya di atas bibir Jingga, yang membuat wanita itu seketika terhenyak. Tangan Jingga mencengkeram pakaiannya hingga bergetar.Sial. Davin tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Ia hanya mengikuti naluri untuk memejamkan mata dan memagut bibir Jingga dengan penuh kelembutan. wanita itu hanya diam mematung.Dan, tiba-tiba…."Hentikan!" Jingga mendorong dada Davin, membuat Davin seketika mundur dan membuka kelopak matanya dalam sekejap. Ia menatap Jingga dengan tatapan penuh kebingungan.“Ke-kenapa kamu… melakukannya?” tanya Jingga dengan bibir gemetar.Davin tidak mengerti apa yang sebenarnya Jingga pikirkan. Ia lantas berdiri tegak dan menggaruk dahi. “Apa aku harus minta izin dulu padamu sebelum mela
“Anda terlambat. Dia sudah pulang naik bis lima menit yang lalu.”Davin melirik arloji di tangan kiri sambil mengembuskan napas kecewa.“Baik kalau begitu. Terima kasih,” ucap Davin seraya menaikkan pandangannya pada Kalil yang berdiri di hadapannya. “Saya pamit.”Davin memutar tubuhnya dan hendak meninggalkan lobi Madhava Studio. Namun, ucapan Kalil selanjutnya membuat langkah kaki Davin seketika terhenti.“Anda pasti tidak tahu jam berapa jadwal Jingga pulang, bukan?”Sial. Pria itu bisa dengan mudah menebaknya, desis Davin dalam hati dengan rahang berkedut.Terpaksa Davin membalikkan badannya kembali menghadap Kalil. Sorot matanya yang tajam menyiratkan ia tidak menyukai atasan Jingga tersebut.“Tahu atau tidak, saya rasa itu bukan urusan Anda. Anda tidak berhak menilai saya.”Kalil tertawa kecil, lalu manggut-manggut. Ia berjalan mendekati Davin dan berhenti sekitar dua langkah di hadapannya. “Sebagai teman dekat yang sangat peduli pada kebahagiaan Jingga, tentu saja saya berhak.”
Jingga tertegun menatap tangannya yang berada dalam genggaman Davin. Kehangatan telapak tangan pria itu mengalir ke tangan Jingga yang dingin.Kemudian Jingga menaikkan pandangannya ke wajah Davin yang tengah menatap ke depan dengan tatapan tegas.Sungguh, Jingga tidak tahu apa yang harus ia rasakan saat ini. Entah ia harus senang, atau justru harus waspada atas perubahan sikap Davin yang drastis ini.“Hujannya sudah reda,” komentar Jingga.“Hm. Sudah reda.”“Payungnya….”“Kenapa payungnya?” Davin balik bertanya.“Nggak kamu tutup?”Mata Davin mendelik pada wanita yang tingginya hanya sebatas dadanya itu. “Kenapa harus ditutup? Kamu ingin berjalan menjauh dariku seperti tadi? Lagi pula masih ada gerimis, belum sepenuhnya reda.” Davin berdehem dan meluruskan kembali pandangannya.Mulut Jingga ternganga, lalu mengatup lagi, ia menggerutu sendiri, “Dia selalu salah paham. Memangnya siapa yang bilang aku mau berjalan menjauhinya kalau payungnya ditutup?”“Apa?” Davin menatap Jingga dengan
Jingga memijat pergelangan kaki kirinya yang terasa pegal. Sambil sesekali ia memperhatikan Oliver yang sibuk melempar-lemparkan bola kain ke arahnya.Anak gempal itu terlihat senang bisa mengeksplorasi rumah luas, yang selama ini nyaris tidak pernah ia gunakan untuk bermain.Selain di daycare, Oliver lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Jingga merasa bersalah, karena sebagai seorang ibu ia tidak bisa memberi kehidupan yang layak untuk putranya.“Sayang, kalau Mama sudah gajian awal bulan nanti, Mama janji akan beliin kamu mainan dan baju baru,” gumam Jingga sambil menatap nanar pada beberapa mainan Oliver yang itu-itu saja dan nyaris rusak. Warna baju yang dikenakan Oliver pun sudah mulai pudar.Oliver hanya tersenyum lebar sambil bergelak tawa. Matanya yang polos dan jernih membuat hati Jingga merasa teriris-iris saat menatapnya.Tanpa Jingga sadari, di ambang pintu kamar utama, Davin memperhatikan mereka sejak tadi sambil bersandar pada kusen pintu. Kedua belah telapak t
Jantung Jingga berpacu semakin kuat, lututnya gemetar saat wajah Davin semakin mendekat ke wajahnya. Mata Jingga kemudian terpejam dengan perasaan takut. Napas hangat Davin yang menerpa wajahnya membuat Jingga berteriak dan secara spontan mendorong Davin dengan sekuat tenaga."Aku mohon maafkan aku. Ja-jangan mencekikku. Aku janji, aku nggak akan mengulang kesalahan yang sama. Please… beri aku kesempatan, jangan menghukumku, Dave. Aku… aku… masih ingin hidup,” lirih Jingga sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada.“Apa? Mencekik?” Davin terperangah, sekaligus merasa sesak saat melihat Jingga yang tampak ketakutan. “Siapa yang akan mencekikmu, Jingga? Kamu pikir aku pria yang sekejam itu?”Jingga terdiam. Perlahan kelopak matanya terbuka dan menatap Davin dengan bingung. “Jadi barusan, kamu bukan mau mencekik leherku?”Davin mengusap wajahnya dengan kasar. “Bukan.”“Lalu? Kamu bilang, kamu mau menghukumku?”Mata Davin mengerjap, jemarinya menggaruk dahi dan ia tampak salah t
‘Aku juga suka gaun itu,’ batin Jingga, yang tak berani ia suarakan.Rasanya, Jingga tak pantas untuk menjadi pemilik gaun cantik dan indah tersebut.Jingga hanya diam, memperhatikan Davin yang sedang memanggil pelayan untuk menurunkan gaun hitam itu untuk Chelsea.Bahkan, Davin sama sekali tidak bertanya gaun mana yang Jingga sukai.“Sudah dapat dress yang kamu suka?” tanya Davin tiba-tiba, yang membuat Jingga sedikit terkejut. Ia mendongak dan mendapati Davin tengah menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.Jingga menggeleng. “Belum,” dustanya.“Mau aku bantu carikan?”“Nggak usah.” Jingga memutar tubuh dan hendak meninggalkan Davin, akan tetapi kedatangan Widya membuat langkahnya seketika terhenti.“Nah, ‘kan, saya sudah bilang, Bu Jingga sangat cocok pakai gaun yang itu,” kata Widya sambil melihat gaun hitam yang sedang diturunkan oleh dua stafnya. Lalu menatap Jingga sambil tersenyum. “Mau dicobain sekarang?”Jingga te
“Jingga, cowok yang waktu itu datang ke sini, siapa dia? Boleh aku minta nomor handphone-nya?”Pertanyaan Messy—yang tiba-tiba berdiri di sampingnya sambil bersedekap dada, membuat Jingga mengalihkan tatapannya dari air yang mengucur ke gelas, ke arah staf finance Madhava Studio itu.“Kenapa kamu ingin tahu?” gumam Jingga tanpa ekspresi.Messy kesal dengan respons Jingga yang tak bersahabat. Di studio ini hampir tidak ada yang dekat dengan Jingga, kecuali pimpinan mereka.“Kali aja aku bisa ngajak dia jalan keluar. Ngomong-ngomong, kamu kenal dia dari mana? Kok bisa dia kenal kamu?”Jingga mematikan keran dispenser dan meneguk air minumnya sejenak. Ia taruh kembali gelas ke meja, lalu berkata, “Dia suamiku.”Mata Messy terbelalak. Sedetik kemudian, tawanya menggema di ruangan pantry itu. “Suami? Hey, jangan bercanda.”“Kenapa? Kamu nggak percaya?”“Ya siapa juga yang bakal percaya?” Messy masih tertawa, geleng-geleng kepala. “L
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah