Jantung Jingga berpacu semakin kuat, lututnya gemetar saat wajah Davin semakin mendekat ke wajahnya. Mata Jingga kemudian terpejam dengan perasaan takut. Napas hangat Davin yang menerpa wajahnya membuat Jingga berteriak dan secara spontan mendorong Davin dengan sekuat tenaga."Aku mohon maafkan aku. Ja-jangan mencekikku. Aku janji, aku nggak akan mengulang kesalahan yang sama. Please… beri aku kesempatan, jangan menghukumku, Dave. Aku… aku… masih ingin hidup,” lirih Jingga sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada.“Apa? Mencekik?” Davin terperangah, sekaligus merasa sesak saat melihat Jingga yang tampak ketakutan. “Siapa yang akan mencekikmu, Jingga? Kamu pikir aku pria yang sekejam itu?”Jingga terdiam. Perlahan kelopak matanya terbuka dan menatap Davin dengan bingung. “Jadi barusan, kamu bukan mau mencekik leherku?”Davin mengusap wajahnya dengan kasar. “Bukan.”“Lalu? Kamu bilang, kamu mau menghukumku?”Mata Davin mengerjap, jemarinya menggaruk dahi dan ia tampak salah t
‘Aku juga suka gaun itu,’ batin Jingga, yang tak berani ia suarakan.Rasanya, Jingga tak pantas untuk menjadi pemilik gaun cantik dan indah tersebut.Jingga hanya diam, memperhatikan Davin yang sedang memanggil pelayan untuk menurunkan gaun hitam itu untuk Chelsea.Bahkan, Davin sama sekali tidak bertanya gaun mana yang Jingga sukai.“Sudah dapat dress yang kamu suka?” tanya Davin tiba-tiba, yang membuat Jingga sedikit terkejut. Ia mendongak dan mendapati Davin tengah menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.Jingga menggeleng. “Belum,” dustanya.“Mau aku bantu carikan?”“Nggak usah.” Jingga memutar tubuh dan hendak meninggalkan Davin, akan tetapi kedatangan Widya membuat langkahnya seketika terhenti.“Nah, ‘kan, saya sudah bilang, Bu Jingga sangat cocok pakai gaun yang itu,” kata Widya sambil melihat gaun hitam yang sedang diturunkan oleh dua stafnya. Lalu menatap Jingga sambil tersenyum. “Mau dicobain sekarang?”Jingga te
“Jingga, cowok yang waktu itu datang ke sini, siapa dia? Boleh aku minta nomor handphone-nya?”Pertanyaan Messy—yang tiba-tiba berdiri di sampingnya sambil bersedekap dada, membuat Jingga mengalihkan tatapannya dari air yang mengucur ke gelas, ke arah staf finance Madhava Studio itu.“Kenapa kamu ingin tahu?” gumam Jingga tanpa ekspresi.Messy kesal dengan respons Jingga yang tak bersahabat. Di studio ini hampir tidak ada yang dekat dengan Jingga, kecuali pimpinan mereka.“Kali aja aku bisa ngajak dia jalan keluar. Ngomong-ngomong, kamu kenal dia dari mana? Kok bisa dia kenal kamu?”Jingga mematikan keran dispenser dan meneguk air minumnya sejenak. Ia taruh kembali gelas ke meja, lalu berkata, “Dia suamiku.”Mata Messy terbelalak. Sedetik kemudian, tawanya menggema di ruangan pantry itu. “Suami? Hey, jangan bercanda.”“Kenapa? Kamu nggak percaya?”“Ya siapa juga yang bakal percaya?” Messy masih tertawa, geleng-geleng kepala. “L
Jingga sama sekali tidak pernah menyangka kalau Davin akan membawanya ke tempat ini. Dulu, hal seperti ini amat mustahil terjadi. Bahkan bermimpi saja Jingga tidak berani.Namun, sore ini, tidak ada angin tidak ada hujan, Davin membawa Jingga ke sebuah toko perlengkapan bayi dan balita, yang merupakan salah satu toko terbesar dan terkenal di ibukota.“Cari baju yang cocok untuk Oliver,” kata Davin, “ayo masuk.”Jingga sedikit mengangkat Oliver dalam pangkuannya. Lalu berjalan di belakang Davin dan memberi mereka jarak saat memasuki toko tersebut.Sebelum membuka pintu, Davin menoleh ke belakang dan mengerutkan keningnya. “Kenapa menjauh dariku?”“Itu… aku rasa lebih baik kita menjaga jarak.” Jingga menatap beberapa orang di dalam toko. Ia tidak ingin mempermalukan Davin dengan kehadirannya di sisinya. “Lagi pula, aku nggak akan sanggup membeli baju-baju di sini. Aku belum menerima gaji bulan ini, jadi… lebih baik kita cari toko yang lebih—”
“Kenapa membeli mainan banyak sekali?” tanya Jingga sambil memperhatikan barang-barang yang dimasukkan ke mobil SUV yang dikemudikan sopir Davin.Beberapa saat yang lalu, Davin memanggil Dodi alias sopirnya kemari untuk membawa barang belanjaan.Davin menoleh pada Jingga. Oliver masih berada di pangkuan Davin yang tampak senang dengan mainan baru dalam genggamannya.“Jangan tanya alasannya, aku sendiri nggak tahu,” jawab Davin.“Apa… suatu saat aku harus menggantinya?”Davin tampak tidak senang mendengarnya. Ia membuka mulut hendak mengomel, tapi kemudian matanya terpejam seraya mengembuskan napas berat.“Iya, kamu harus menggantinya.”Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terkejut. “Berapa total belanjaan hari ini?”Davin tertawa kecil melihat mata jernih dan bulat Jingga yang membelalak. “Aku nggak minta diganti
“Mulai malam ini, aku akan pindah ke kamarmu!”Mata Jingga seketika membulat. “A-apa? Pindah… ke kamarku?”“Ya,” jawab Davin sambil menegakkan punggung.“Tapi kenapa begitu?” tanya Jingga lagi. Bukankah selama ini Davin tidak ingin berlama-lama dalam satu ruangan dengannya? Bahkan lelaki itu nyaris tidak pernah menginjakkan kaki di kamar Jingga.“Aku cuma ingin menghindarkan kamu dari hukuman yang mungkin kamu terima setiap hari.”“Hukuman?”“Ya.” Davin menyembunyikan tangan di saku tanpa melepaskan tatapannya dari Jingga. “Bisa saja besok pagi, dan besok paginya lagi kamu lupa membangunkanku atau diam di sisiku saat aku bangun.”Mata Jingga mengerjap.“Jadi kalau kita tidur satu kamar, kamu nggak perlu repot-repot membangunkanku dan masuk ke kamarku. Sehingga kamu terbebas dari hukuman ka
“Bik, nanti malam, saya titip Oliver, ya?” pinta Jingga pada Arum—ART Davin.“Lho? Nggak akan dibawa ke pesta, Bu?”"Nggak." Jingga menggeleng, ia menatap Oliver yang baru saja terlelap di pangkuannya. “Oliver pasti anteng kok, Bik. Susunya sudah saya siapin di kulkas. Kalau dia nangis, tinggal seduh saja. saya juga nggak akan lama.”Arum mengangguk. “Siap, Bu. Bu Jingga jangan khawatir, saya pasti menjaga Den Oliver dengan baik.”“Terima kasih, Bik.” Jingga mengecup kening Oliver. Kemudian membawa anak itu ke dalam kamar dan merebahkannya di tempat tidur.Sejujurnya Jingga masih belum berani membawa Oliver ke tempat ramai seperti pesta nanti malam.Ia khawatir akan banyak orang yang membicarakan dirinya dan Oliver. Sebab, ke manapun Jingga pergi, ia selalu menjadi pusat perhatian. Bukan karena kelebihan yang Jingga miliki, melainkan karena kondisi kakinya ya
Jingga merasa gugup. Telapak tangannya berkeringat dingin. Selain saat pesta pernikahan mereka, baru hari ini Jingga kembali menghadiri pesta yang sangat mewah dan dihadiri banyak orang.Jingga merasa tidak pantas berbaur dengan orang-orang dari kalangan atas seperti mereka.“Aku tahu kamu gugup,” ucap Davin sambil menggenggam kedua tangan Jingga. “Tapi ingatlah, kali ini aku nggak akan membiarkanmu melewatinya sendirian. Aku janji, akan selalu berada di samping kamu.”Jingga menatap mata tegas Davin, berusaha mencari-cari kebohongan di dalam sana. Namun Jingga tidak menemukannya. Davin benar-benar serius dengan ucapannya, membuat Jingga merasa sedikit tenang.“Masuk sekarang?”Jingga mengangguk. “Iya.”Davin menggenggam tangan Jingga dengan erat, lalu keduanya melangkah memasuki ballroom yang terlihat ramai dan meriah. Langkah kaki Davin yang pelan membuat Jingga tidak