“Mulai malam ini, aku akan pindah ke kamarmu!”
Mata Jingga seketika membulat. “A-apa? Pindah… ke kamarku?”“Ya,” jawab Davin sambil menegakkan punggung.“Tapi kenapa begitu?” tanya Jingga lagi. Bukankah selama ini Davin tidak ingin berlama-lama dalam satu ruangan dengannya? Bahkan lelaki itu nyaris tidak pernah menginjakkan kaki di kamar Jingga.“Aku cuma ingin menghindarkan kamu dari hukuman yang mungkin kamu terima setiap hari.”“Hukuman?”“Ya.” Davin menyembunyikan tangan di saku tanpa melepaskan tatapannya dari Jingga. “Bisa saja besok pagi, dan besok paginya lagi kamu lupa membangunkanku atau diam di sisiku saat aku bangun.”Mata Jingga mengerjap.“Jadi kalau kita tidur satu kamar, kamu nggak perlu repot-repot membangunkanku dan masuk ke kamarku. Sehingga kamu terbebas dari hukuman ka“Bik, nanti malam, saya titip Oliver, ya?” pinta Jingga pada Arum—ART Davin.“Lho? Nggak akan dibawa ke pesta, Bu?”"Nggak." Jingga menggeleng, ia menatap Oliver yang baru saja terlelap di pangkuannya. “Oliver pasti anteng kok, Bik. Susunya sudah saya siapin di kulkas. Kalau dia nangis, tinggal seduh saja. saya juga nggak akan lama.”Arum mengangguk. “Siap, Bu. Bu Jingga jangan khawatir, saya pasti menjaga Den Oliver dengan baik.”“Terima kasih, Bik.” Jingga mengecup kening Oliver. Kemudian membawa anak itu ke dalam kamar dan merebahkannya di tempat tidur.Sejujurnya Jingga masih belum berani membawa Oliver ke tempat ramai seperti pesta nanti malam.Ia khawatir akan banyak orang yang membicarakan dirinya dan Oliver. Sebab, ke manapun Jingga pergi, ia selalu menjadi pusat perhatian. Bukan karena kelebihan yang Jingga miliki, melainkan karena kondisi kakinya ya
Jingga merasa gugup. Telapak tangannya berkeringat dingin. Selain saat pesta pernikahan mereka, baru hari ini Jingga kembali menghadiri pesta yang sangat mewah dan dihadiri banyak orang.Jingga merasa tidak pantas berbaur dengan orang-orang dari kalangan atas seperti mereka.“Aku tahu kamu gugup,” ucap Davin sambil menggenggam kedua tangan Jingga. “Tapi ingatlah, kali ini aku nggak akan membiarkanmu melewatinya sendirian. Aku janji, akan selalu berada di samping kamu.”Jingga menatap mata tegas Davin, berusaha mencari-cari kebohongan di dalam sana. Namun Jingga tidak menemukannya. Davin benar-benar serius dengan ucapannya, membuat Jingga merasa sedikit tenang.“Masuk sekarang?”Jingga mengangguk. “Iya.”Davin menggenggam tangan Jingga dengan erat, lalu keduanya melangkah memasuki ballroom yang terlihat ramai dan meriah. Langkah kaki Davin yang pelan membuat Jingga tidak
Amarylis mondar-mandir di dekat wastafel sambil menggigit ujung kuku jari telunjuknya. Pipinya memerah menahan malu.“Bego! Kenapa aku bisa sebego ini, sih? Gimana kalau tadi orang-orang lihat aku? Mereka pasti ngetawain aku!” gerutunya, bermonolog.Jingga menghela napas panjang. Amarylis memang Davin versi perempuan. Gaya bicara mereka tidak jauh berbeda.“Memang kenapa kalau mereka ngetawain kamu?” tanya Jingga dengan tenang sambil menghampiri gadis itu.“Ya malu, lah. Mau ditaruh di mana coba muka aku?”Jingga menipiskan bibirnya. “Mereka nggak akan peduli, kok.”“Apa?”“Kalau pun mereka memperhatikan kamu, paling cuma saat itu doang. Sekarang mereka pasti lupa dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing,” ujar Jingga sambil bersandar di tepian meja wastafel.“Nggak bisa begitu.” Amarylis bersikukuh dengan eks
“Kenapa harus Davin?”Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Jingga. Ia juga tidak mengerti entah mendapat keberanian dari mana mengatakannya. Bahkan, Davin yang berdiri di sampingnya saja terlihat terkejut mendengar pertanyaan Jingga.“Apa?” Lucy tampak tidak suka mendengar pertanyaan Jingga. “Kenapa memangnya? Kamu nggak suka kalau Davin yang mengantar Chelsea pulang?”“Maaf. Bukan begitu maksud saya, Tante,” ralat Jingga, “tapi mungkin Chelsea bisa pulang bersama sopirnya? Maaf saya lancang.”“Jangan ikut campur,” timpal Lucy, “ayo, Mas. Jangan lama-lama, Chelsea udah nunggu di depan. Dia hampir mau pingsan.”“Pingsan?” Davin mengerutkan kening.Jingga menatap suaminya, ia bisa melihat ada kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah pria itu. Hati Jingga seketika disusupi rasa kecewa."Iya, Mas. Hampir mau p
“Pak Davin, saya membawa data Bu Jingga yang Anda minta.”Davin segera menutup laptop, lalu mengambil sebuah map yang baru saja ditaruh Vincent di hadapannya. Ia membuka-buka lembaran berkas tersebut dan tersenyum kecil kala melihat foto Jingga semasa kanak-kanak.“Dia sudah cantik dari kecil,” gumam Davin tanpa sadar.“Iya, saya setuju,” timpal Vincent, “paras cantik Bu Jingga memang sudah bawaan sejak lahir. Beliau tidak perlu memakai make up tebal untuk terlihat cantik dan—”BRAK!Suara meja yang digebrak telapak tangan Davin membuat ucapan Vincent terhenti.Davin menaikkan pandangannya, menatap Vincent dengan tajam. “Siapa yang membolehkanmu memuji istriku?”Vincent mengerjap. “Tidak ada. Saya sendiri yang ingin memuji Bu Jingga.”Davin kesal mendengarnya. “Perhatikan sikapmu. Jangan sekali-kali memuji istriku
Bukan main senangnya saat Jingga tahu ia akan mendapat project baru dengan bayaran yang sangat mahal.Dengan hati yang berbunga-bunga, Jingga mendatangi tempat sesuai dengan alamat yang tertera pada kertas yang Kalil berikan.Ternyata itu sebuah restoran mewah. Jingga turun dari mobil—yang katanya mobil itu dikemudian oleh sopir perusahaan orang yang akan menyewa jasanya.Jingga merasa gugup. Ia khawatir, setelah melihat fisiknya, orang itu akan membatalkan tawarannya. Di depan pintu masuk restoran, tangan Jingga saling meremas satu sama lain.“Dengan Bu Jingga?” Seorang pelayan restoran tiba-tiba keluar dan menyapa dengan senyuman.“Benar.” Jingga mengangguk.“Mari, Bu. Silahkan ikut saya. Anda sudah ditunggu di dalam.”Sudah ditunggu? Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah itu artinya ia telat datang kemari dan membuat 'orang penting' itu menunggunya? Jingga semakin gugup.Restoran itu tampak sepi. Ia tidak melihat ada pengunjung satu orang pun. Padahal ini sudah waktunya jadwal makan sian
“Maksudmu, aku harus makan semua makanan ini?” Jingga menatap makanan yang sudah terhidang di atas meja beberapa saat kemudian. Dan kebanyakan adalah olahan daging.“Nggak perlu semuanya,” jawab Davin sembari menaruh napkin warna putih di atas paha. “Pilih saja yang mana yang kamu mau.”Jingga memperhatikan apa yang Davin lakukan. Lalu ia mengikutinya, mengambil napkin yang dilipat membentuk bunga, lalu melebarkannya dan menaruhnya di paha.Awalnya Jingga tidak tahu apa fungsi kain tersebut. Sebab ia tidak pernah makan di restoran semewah ini sebelumnya.“Makanlah yang banyak. Aku akan memantau berat badanmu satu minggu sekali.” Davin berkata sembari memotong beef steak miliknya. “Berapa berat badanmu sekarang?”“Tiga puluh delapan.”Davin seketika terdiam. Rahangnya berkedut. Tangannya yang memegangi pisau dan garpu tampak terkepal.“Target bulan ini kamu harus naik lima kilo.”Jingga terkejut. “Lima kilo? Itu susah sekali,” gumam
Jingga tahu, di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya akan terjadi sesuai dengan yang sudah ditakdirkan.Namun rasanya, ia masih sulit untuk percaya bahwa orang yang tadi ia bicarakan dengan Davin, kini ada di hadapannya.Dia Angga Pramudya. Teman seperjuangan Jingga saat menjalani perawatan di rumah sakit beberapa tahun silam.“Jadi, kamu sudah menikah?” Angga melirik Davin sejenak yang sedang menelepon di kejauhan.Jingga mengangguk. “Iya, sudah.”“Kurasa… dia sangat menyayangimu, sampai-sampai dia mereservasi seluruh restoran ini cuma untuk makan siang sama kamu.” Angga terkekeh kecil seraya mengalihkan pandangannya dari Davin, ke arah Jingga yang duduk di hadapannya.Kini keduanya sedang duduk di dalam restoran setelah Jingga meminta izin pada Davin untuk bicara sebentar dengan Angga.“A-apa? Mereservasi seluruh restoran?”“Mm-hm.”Jingga terkesiap. “Pantas saja restoran ini sepi. Ternyata dia memesan semuanya
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah