“Pak Davin, saya membawa data Bu Jingga yang Anda minta.”
Davin segera menutup laptop, lalu mengambil sebuah map yang baru saja ditaruh Vincent di hadapannya. Ia membuka-buka lembaran berkas tersebut dan tersenyum kecil kala melihat foto Jingga semasa kanak-kanak.“Dia sudah cantik dari kecil,” gumam Davin tanpa sadar.“Iya, saya setuju,” timpal Vincent, “paras cantik Bu Jingga memang sudah bawaan sejak lahir. Beliau tidak perlu memakai make up tebal untuk terlihat cantik dan—”BRAK!Suara meja yang digebrak telapak tangan Davin membuat ucapan Vincent terhenti.Davin menaikkan pandangannya, menatap Vincent dengan tajam. “Siapa yang membolehkanmu memuji istriku?”Vincent mengerjap. “Tidak ada. Saya sendiri yang ingin memuji Bu Jingga.”Davin kesal mendengarnya. “Perhatikan sikapmu. Jangan sekali-kali memuji istrikuBukan main senangnya saat Jingga tahu ia akan mendapat project baru dengan bayaran yang sangat mahal.Dengan hati yang berbunga-bunga, Jingga mendatangi tempat sesuai dengan alamat yang tertera pada kertas yang Kalil berikan.Ternyata itu sebuah restoran mewah. Jingga turun dari mobil—yang katanya mobil itu dikemudian oleh sopir perusahaan orang yang akan menyewa jasanya.Jingga merasa gugup. Ia khawatir, setelah melihat fisiknya, orang itu akan membatalkan tawarannya. Di depan pintu masuk restoran, tangan Jingga saling meremas satu sama lain.“Dengan Bu Jingga?” Seorang pelayan restoran tiba-tiba keluar dan menyapa dengan senyuman.“Benar.” Jingga mengangguk.“Mari, Bu. Silahkan ikut saya. Anda sudah ditunggu di dalam.”Sudah ditunggu? Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah itu artinya ia telat datang kemari dan membuat 'orang penting' itu menunggunya? Jingga semakin gugup.Restoran itu tampak sepi. Ia tidak melihat ada pengunjung satu orang pun. Padahal ini sudah waktunya jadwal makan sian
“Maksudmu, aku harus makan semua makanan ini?” Jingga menatap makanan yang sudah terhidang di atas meja beberapa saat kemudian. Dan kebanyakan adalah olahan daging.“Nggak perlu semuanya,” jawab Davin sembari menaruh napkin warna putih di atas paha. “Pilih saja yang mana yang kamu mau.”Jingga memperhatikan apa yang Davin lakukan. Lalu ia mengikutinya, mengambil napkin yang dilipat membentuk bunga, lalu melebarkannya dan menaruhnya di paha.Awalnya Jingga tidak tahu apa fungsi kain tersebut. Sebab ia tidak pernah makan di restoran semewah ini sebelumnya.“Makanlah yang banyak. Aku akan memantau berat badanmu satu minggu sekali.” Davin berkata sembari memotong beef steak miliknya. “Berapa berat badanmu sekarang?”“Tiga puluh delapan.”Davin seketika terdiam. Rahangnya berkedut. Tangannya yang memegangi pisau dan garpu tampak terkepal.“Target bulan ini kamu harus naik lima kilo.”Jingga terkejut. “Lima kilo? Itu susah sekali,” gumam
Jingga tahu, di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya akan terjadi sesuai dengan yang sudah ditakdirkan.Namun rasanya, ia masih sulit untuk percaya bahwa orang yang tadi ia bicarakan dengan Davin, kini ada di hadapannya.Dia Angga Pramudya. Teman seperjuangan Jingga saat menjalani perawatan di rumah sakit beberapa tahun silam.“Jadi, kamu sudah menikah?” Angga melirik Davin sejenak yang sedang menelepon di kejauhan.Jingga mengangguk. “Iya, sudah.”“Kurasa… dia sangat menyayangimu, sampai-sampai dia mereservasi seluruh restoran ini cuma untuk makan siang sama kamu.” Angga terkekeh kecil seraya mengalihkan pandangannya dari Davin, ke arah Jingga yang duduk di hadapannya.Kini keduanya sedang duduk di dalam restoran setelah Jingga meminta izin pada Davin untuk bicara sebentar dengan Angga.“A-apa? Mereservasi seluruh restoran?”“Mm-hm.”Jingga terkesiap. “Pantas saja restoran ini sepi. Ternyata dia memesan semuanya
Tidur di atas kasur lantai beberapa malam terakhir membuat persendian di tubuh Davin terasa pegal dan kaku.Davin mendengus kasar. Ia bersiap untuk menggerutu dan melampiaskan kekesalannya. Namun saat ia membuka kelopak mata, keinginannya untuk marah-marah seketika lenyap.Mata Davin mengerjap. Ia nyaris tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Davin pikir, ia sudah mati dan terbangun di surga. Sebab yang ia lihat saat ini adalah wajah seseorang yang tampak seperti bidadari tengah terlelap dengan damai.Cantiknya tidak berlebihan, tapi sedap dipandang lama-lama. Ada kesan sendu dalam wajahnya, yang membuat Davin ingin melindungi wanita itu.Davin mendecak lidah.’Kamu terlalu berlebihan, Bung,’ omelnya dalam hati pada dirinya sendiri.Wanita di hadapannya itu bukan bidadari. Dia Jingga Thania. Davin merasa dirinya sudah benar-benar gila telah memuji wanita terlalu berlebihan.Davin menopang kepala dengan satu tangan, tidur
“Saya tidak ingin basa-basi, karena saya yakin Anda sedang sibuk.”Angga terkekeh kecil. “Saya tidak lebih sibuk dari Anda,” kelakarnya, lalu memanggil waiter dan meminta Davin untuk memesan makan siang.Sesaat Davin membuka buku menu dan menyebutkan kepada waiter makanan yang ia pesan. Begitu pula dengan Angga.“Apa… ini tentang Jingga?” tebak Angga, sesaat setelah kepergian pegawainya.Davin menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan. “Saya sudah mendengar kisah Anda dan Jingga saat kalian masih sama-sama remaja.”Angga tersenyum kecil. “Iya, kami menghabiskan waktu bersama di rumah sakit sekitar… tiga minggu?” Ia tampak mengingat-ingat. “Ya, sekitar itu.”“Saya penasaran, mengenai perjalanan Anda sampai bisa… maaf… kembali beraktifitas normal seperti sekarang.”“Apa maksud A
“Aku merindukanmu.”Jingga tertegun.Davin mengeratkan pelukannya, membuat Jingga merasa sedikit sesak. Pelukan itu terasa hangat. Telinga kanan Jingga bahkan bisa mendengar detak jantung Davin yang cepat.Jingga mengepalkan kedua telapak tangannya di sisi tubuh. Rasanya ini tidak benar-benar nyata. Pelukan Davin, ungkapan kerinduan Davin, semuanya terasa begitu membingungkan bagi Jingga.“Ada apa, Dave?” Jingga mendongak, menatap mata Davin yang teduh yang tengah memandanginya. Bahkan, Jingga tidak lagi melihat tatapan jijik dan dingin yang biasa Davin layangkan padanya. “Ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?”“Iya. Ada,” gumam Davin.“Boleh aku tahu apa itu?”Davin diam sejenak, menghela napas panjang tanpa melepaskan kedua tangannya yang melingkari punggung Jingga.“Aku merindukanmu,” ulang Davin, “itu yang sanga
Percakapannya dengan Davin tadi malam membuat Jingga marah dan kecewa.Jadi sore ini Jingga enggan pulang bersama Davin. Ia memutuskan pulang lebih awal dari studio sebelum Davin menjemputnya. Lalu Jingga mampir terlebih dulu ke supermarket untuk membeli susu Oliver.Jingga mengambil dua box susu formula dari rak yang berisi bermacam-macam merek susu bayi.Ponselnya terdengar berdering. Jingga menaruh susu tersebut ke troli, sebelum kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas.Davin William memanggil.Jingga diam sejenak. Lalu detik itu juga ia mematikan ponsel dan memasukkannya lagi ke tas.Davin pasti murka, pikir Jingga. Atau mungkin saat ini, di seberang sana, Davin sedang mengumpat dan marah-marah karena panggilannya tidak diangkat? Entahlah. Jingga tahu resiko apa yang akan ia tanggung saat pulang ke rumah nanti.Namun, untuk pertama kalinya, Jingga merasa tidak peduli dengan kemarahan Davin. Sebab Jingga sendiri t
“Hm.” Jingga mengangguk. “Aku serius.”Davin ternganga mendengarnya. Detik berikutnya ia menjatuhkan kantong belanjaan ke lantai, dan secara spontan Davin memeluk pinggang Jingga, kemudian mengangkatnya dan memutarnya sebentar sambil tertawa. Jingga sempat memekik karena kaget.“Bagus, Jingga. Kamu mengambil keputusan yang tepat!” seru Davin, “aku sudah menemukan dokter terbaik. Jangan khawatir.”Jingga menunduk menatap mata Davin yang tampak berbinar-binar. Ia lalu memeluk leher lelaki itu untuk menjadi tumpuan agar tidak jatuh. Rasanya benar-benar sulit dipercaya Davin tampak semangat seperti ini.“Kamu percaya padaku, Jingga?” Davin mengulas senyum kecil. “Aku melakukannya bukan karena aku malu punya istri seperti kamu. Aku yang dulu sangat berbeda dengan aku yang sekarang, jadi—”“I-iya,” sela Jingga sambil melihat ke sekeliling. &ldquo