“Saya tidak ingin basa-basi, karena saya yakin Anda sedang sibuk.”
Angga terkekeh kecil. “Saya tidak lebih sibuk dari Anda,” kelakarnya, lalu memanggil waiter dan meminta Davin untuk memesan makan siang.Sesaat Davin membuka buku menu dan menyebutkan kepada waiter makanan yang ia pesan. Begitu pula dengan Angga.“Apa… ini tentang Jingga?” tebak Angga, sesaat setelah kepergian pegawainya.Davin menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan. “Saya sudah mendengar kisah Anda dan Jingga saat kalian masih sama-sama remaja.”Angga tersenyum kecil. “Iya, kami menghabiskan waktu bersama di rumah sakit sekitar… tiga minggu?” Ia tampak mengingat-ingat. “Ya, sekitar itu.”“Saya penasaran, mengenai perjalanan Anda sampai bisa… maaf… kembali beraktifitas normal seperti sekarang.”“Apa maksud A“Aku merindukanmu.”Jingga tertegun.Davin mengeratkan pelukannya, membuat Jingga merasa sedikit sesak. Pelukan itu terasa hangat. Telinga kanan Jingga bahkan bisa mendengar detak jantung Davin yang cepat.Jingga mengepalkan kedua telapak tangannya di sisi tubuh. Rasanya ini tidak benar-benar nyata. Pelukan Davin, ungkapan kerinduan Davin, semuanya terasa begitu membingungkan bagi Jingga.“Ada apa, Dave?” Jingga mendongak, menatap mata Davin yang teduh yang tengah memandanginya. Bahkan, Jingga tidak lagi melihat tatapan jijik dan dingin yang biasa Davin layangkan padanya. “Ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?”“Iya. Ada,” gumam Davin.“Boleh aku tahu apa itu?”Davin diam sejenak, menghela napas panjang tanpa melepaskan kedua tangannya yang melingkari punggung Jingga.“Aku merindukanmu,” ulang Davin, “itu yang sanga
Percakapannya dengan Davin tadi malam membuat Jingga marah dan kecewa.Jadi sore ini Jingga enggan pulang bersama Davin. Ia memutuskan pulang lebih awal dari studio sebelum Davin menjemputnya. Lalu Jingga mampir terlebih dulu ke supermarket untuk membeli susu Oliver.Jingga mengambil dua box susu formula dari rak yang berisi bermacam-macam merek susu bayi.Ponselnya terdengar berdering. Jingga menaruh susu tersebut ke troli, sebelum kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas.Davin William memanggil.Jingga diam sejenak. Lalu detik itu juga ia mematikan ponsel dan memasukkannya lagi ke tas.Davin pasti murka, pikir Jingga. Atau mungkin saat ini, di seberang sana, Davin sedang mengumpat dan marah-marah karena panggilannya tidak diangkat? Entahlah. Jingga tahu resiko apa yang akan ia tanggung saat pulang ke rumah nanti.Namun, untuk pertama kalinya, Jingga merasa tidak peduli dengan kemarahan Davin. Sebab Jingga sendiri t
“Hm.” Jingga mengangguk. “Aku serius.”Davin ternganga mendengarnya. Detik berikutnya ia menjatuhkan kantong belanjaan ke lantai, dan secara spontan Davin memeluk pinggang Jingga, kemudian mengangkatnya dan memutarnya sebentar sambil tertawa. Jingga sempat memekik karena kaget.“Bagus, Jingga. Kamu mengambil keputusan yang tepat!” seru Davin, “aku sudah menemukan dokter terbaik. Jangan khawatir.”Jingga menunduk menatap mata Davin yang tampak berbinar-binar. Ia lalu memeluk leher lelaki itu untuk menjadi tumpuan agar tidak jatuh. Rasanya benar-benar sulit dipercaya Davin tampak semangat seperti ini.“Kamu percaya padaku, Jingga?” Davin mengulas senyum kecil. “Aku melakukannya bukan karena aku malu punya istri seperti kamu. Aku yang dulu sangat berbeda dengan aku yang sekarang, jadi—”“I-iya,” sela Jingga sambil melihat ke sekeliling. &ldquo
Davin mengeluarkan sebuah bingkai foto berukuran 3R dari dalam tasnya. Ia memandangi foto itu sesaat. Bibirnya mengulas senyum kecil. Lalu menaruh foto tersebut di atas meja kerja.Itu foto pernikahannya dengan Jingga, yang selama hampir 2 tahun ini tidak pernah Davin pedulikan.Dalam foto tersebut keduanya tidak ada yang tersenyum. Seolah-olah pernikahan itu telah merenggut habis seluruh kebahagiaan mereka.“Apa lebih baik kita foto ulang lagi?” gumam Davin sambil mengusap dagu.Bunyi dentingan ponsel membuat Davin mengalihkan fokusnya dari wajah Jingga, ke layar ponselnya yang menyala dan menampilkan notifikasi balasan email dari….“Dokter Eugenio?” Davin terperanjat.Buru-buru ia membuka email tersebut dengan perasaan yang mendadak gugup. Sudah beberapa hari ini ia menantikan balasan dari dokter itu. Dan semoga email ini membawa kabar baik.Namun, wajah Davin mendadak berubah keruh ketika ia membaca isi email tersebut.Tangan Davin seketika terkepal. Rahangnya mengetat.Kemudian ta
Davin melepas kaos yang sedikit basah di bagian perut, yang ia kenakan.Mata Jingga terbelalak melihat pemandangan itu, ia langsung berbalik memunggungi Davin. Pipinya memerah menahan malu.“Mencuci badan seharusnya bisa kamu lakukan sendiri," gumam Jingga.“Aku lagi malas melakukannya sendiri.” Satu sudut bibir Davin terangkat. Ia menaruh kaosnya ke tempat pakaian kotor. Lalu berdiri di belakang Jingga seraya menumpukan dagu di bahu rampingnya, membuat Jingga berjengit kaget. “Lagi pula kamu ‘kan istriku. Apa salahnya kalau aku meminta bantuan istriku sendiri, hem?”“Ki-kita… nggak pernah seperti ini sebelumnya.” Kedua tangan Jingga saling meremas di depan perut. “Jadi aku merasa canggung karena kita nggak biasa.”“Kalau begitu kita harus terbiasa mulai sekarang,” timpal Davin dengan cepat. Ia berbisik di dekat telinga Jingga, “Kita akan menjadi suami istri untuk waktu yang sangat lama. Nggak mungkin kita akan terus canggung seperti ini, bukan?”Suami istri untuk waktu yang sangat la
“Davin sudah pulang?” Lucy nyelonong masuk meski belum dipersilahkan.Bahu Jingga tersenggol bahu Lucy. “Davin nggak ada di rumah, Tante,” jawab Jingga sembari menyingkir saat Chelsea ikut masuk.Lucy kemudian mendaratkan pantatnya di sofa. “Nggak ada? Ke mana? Seharusnya dia sudah pulang dari kantor.” Lalu tersenyum manis pada Chelsea. “Duduk di sini, Sayang.”“Iya, Tante,” balas Chelsea sambil tersenyum.Jingga menghela napas sepelan mungkin dan menutup pintu kembali. Ia menghampiri mertuanya, lalu berkata, “Hari ini Davin pergi ke Italia, Tante. Baru berangkat sekitar tiga jam yang lalu.”“Italia?” Chelsea langsung menyahut dengan tatapan terkejut seraya menatap Jingga. “Mau apa dia pergi ke sana? Kenapa Davin nggak bilang sama aku?”Tangan Jingga terkepal. “Memangnya kenapa Davin harus bilang sama kamu?” timpal Jingga, membuat Chelsea gelagapan.Jingga tidak tahu entah dari mana dirinya mendapat keberanian menimpali ucapan Chelsea sampai seberani itu. Hanya saja, ia merasa tidak s
Jingga memperhatikan Amarylis yang sibuk dengan ponselnya—seperti biasa, di sofa. Amarylis lebih senang ‘berinteraksi’ dengan ponsel pintar itu ketimbang dengan orang-orang di sekitarnya. Kecuali saat ia bersama Davin. Seluruh fokus Amarylis pasti tertuju pada sang kakak.“Ngomong-ngomong, tumben kamu ke sini.” Jingga menaruh sepiring buah apel yang telah ia potong-potong, di atas meja. “Kapan ya terakhir kamu berkunjung ke sini? Mungkin… tahun lalu?”“Mungkin.” Amarylis mengedikkan bahu tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Lagi pengen main aja ke sini. Sumpek di rumah. Kamar tamu kosong, ‘kan?”Seulas senyum kecil tersungging di bibir Jingga. Ia mengerti ucapan Amarylis, yang secara tak langsung menyampaikan maksudnya yang akan menginap di rumah ini. Amarylis pasti terlalu gengsi untuk bicara to the point.“Kosong,” jawab Jingga, “kamu bawa baju ganti?”“Ada. Di mobil.”Jingga mengangguk, ia melirik ke arah jam dinding sekilas. Sudah hampir pukul enam sore. “Aku mau masak
Amarylis: Aku mau nunjukin sesuatu ke Mas Davin, tapi sebagai hadiahnya, aku mau liburan ke Swiss. Mas Davin yang bayarin.Davin: Sesuatunya apa dulu? Menarik atau nggak? Kalau nggak, ogah. Minta aja uangnya sama Papi.Amarylis: Papi nggak bakal ngizinin. Dia kan nggak punya duit, yang punya duit banyak itu Mas Davin.Amarylis: Pokoknya ini sesuatu yang sangat langka. Aku yakin Mas Davin pasti kaget.Davin: Apa, sih? Kamu sengaja bikin mas kamu ini penasaran, ya?Sejenak Davin mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang menampilkan chat room-nya dengan sang adik, ke arah jalanan yang ia lewati.Dari dalam mobil ini, Davin memandangi bangunan-bangunan kuno yang menawan dengan dinding-dinding batu klasik. Budaya dan sejarah mengalir begitu kental di ibu kota Italia ini. Davin merasa seperti terlempar ke dalam dunia lain berabad-abad yang lalu.Ponselnya kembali berdenting, membuat fokus Davin kembali teralihkan.Bibir tipis berwarna merah agak kecoklatannya mengukir senyuman kecil k