“Davin sudah pulang?” Lucy nyelonong masuk meski belum dipersilahkan.Bahu Jingga tersenggol bahu Lucy. “Davin nggak ada di rumah, Tante,” jawab Jingga sembari menyingkir saat Chelsea ikut masuk.Lucy kemudian mendaratkan pantatnya di sofa. “Nggak ada? Ke mana? Seharusnya dia sudah pulang dari kantor.” Lalu tersenyum manis pada Chelsea. “Duduk di sini, Sayang.”“Iya, Tante,” balas Chelsea sambil tersenyum.Jingga menghela napas sepelan mungkin dan menutup pintu kembali. Ia menghampiri mertuanya, lalu berkata, “Hari ini Davin pergi ke Italia, Tante. Baru berangkat sekitar tiga jam yang lalu.”“Italia?” Chelsea langsung menyahut dengan tatapan terkejut seraya menatap Jingga. “Mau apa dia pergi ke sana? Kenapa Davin nggak bilang sama aku?”Tangan Jingga terkepal. “Memangnya kenapa Davin harus bilang sama kamu?” timpal Jingga, membuat Chelsea gelagapan.Jingga tidak tahu entah dari mana dirinya mendapat keberanian menimpali ucapan Chelsea sampai seberani itu. Hanya saja, ia merasa tidak s
Jingga memperhatikan Amarylis yang sibuk dengan ponselnya—seperti biasa, di sofa. Amarylis lebih senang ‘berinteraksi’ dengan ponsel pintar itu ketimbang dengan orang-orang di sekitarnya. Kecuali saat ia bersama Davin. Seluruh fokus Amarylis pasti tertuju pada sang kakak.“Ngomong-ngomong, tumben kamu ke sini.” Jingga menaruh sepiring buah apel yang telah ia potong-potong, di atas meja. “Kapan ya terakhir kamu berkunjung ke sini? Mungkin… tahun lalu?”“Mungkin.” Amarylis mengedikkan bahu tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Lagi pengen main aja ke sini. Sumpek di rumah. Kamar tamu kosong, ‘kan?”Seulas senyum kecil tersungging di bibir Jingga. Ia mengerti ucapan Amarylis, yang secara tak langsung menyampaikan maksudnya yang akan menginap di rumah ini. Amarylis pasti terlalu gengsi untuk bicara to the point.“Kosong,” jawab Jingga, “kamu bawa baju ganti?”“Ada. Di mobil.”Jingga mengangguk, ia melirik ke arah jam dinding sekilas. Sudah hampir pukul enam sore. “Aku mau masak
Amarylis: Aku mau nunjukin sesuatu ke Mas Davin, tapi sebagai hadiahnya, aku mau liburan ke Swiss. Mas Davin yang bayarin.Davin: Sesuatunya apa dulu? Menarik atau nggak? Kalau nggak, ogah. Minta aja uangnya sama Papi.Amarylis: Papi nggak bakal ngizinin. Dia kan nggak punya duit, yang punya duit banyak itu Mas Davin.Amarylis: Pokoknya ini sesuatu yang sangat langka. Aku yakin Mas Davin pasti kaget.Davin: Apa, sih? Kamu sengaja bikin mas kamu ini penasaran, ya?Sejenak Davin mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang menampilkan chat room-nya dengan sang adik, ke arah jalanan yang ia lewati.Dari dalam mobil ini, Davin memandangi bangunan-bangunan kuno yang menawan dengan dinding-dinding batu klasik. Budaya dan sejarah mengalir begitu kental di ibu kota Italia ini. Davin merasa seperti terlempar ke dalam dunia lain berabad-abad yang lalu.Ponselnya kembali berdenting, membuat fokus Davin kembali teralihkan.Bibir tipis berwarna merah agak kecoklatannya mengukir senyuman kecil k
Memang, bukan sesuatu yang mudah mencari seseorang di antara ratusan orang yang berlalu lalang di bandara.Hanya bermodalkan foto di ponselnya, Davin dan Vincent mengamati wajah setiap laki-laki yang berpapasan dengan mereka, sambil mencocokannya dengan foto itu. Keduanya berpencar.Davin mencarinya di gate khusus check in penerbangan menuju kota Milan. Namun kursi tunggu di gate itu tampak sepi. Karena para penumpang sudah melakukan check in dan masuk ke boarding room.Sial. Kenapa Davin lupa tidak meminta nomor ponsel Eugenio pada wanita tadi?Davin mengusap wajah dengan kasar, napasnya sedikit tersengal karena terus berlari ke sana kemari hanya untuk menemukan sosok Eugenio.“Saya tidak menemukannya,” ujar Vincent saat keduanya tanpa sengaja berpapasan.“Kemungkinan besar dia sudah masuk boarding room.” Davin tertunduk lesu. Ia tak memiliki harapan untuk bertemu dengan pria tua itu. “Apa yang harus aku katakan pada istriku?” gumamnya kemudian
“Jingga, bagaimana project Vincent? Kamu sudah mulai mengerjakannya?”Jingga mengangguk seraya mengalihkan tatapannya dari kanvas di hadapannya, ke arah Kalil yang baru saja membuka pintu dan menghampirinya. “Saya baru mulai mengerjakannya hari ini.”Kalil mengangguk, ia memperhatikan sketsa di kanvas itu sejenak. “Baiklah… aku percaya padamu. Klien kita nggak pernah kecewa sama hasil karya kamu, Jingga,” ucapnya sambil melemparkan senyuman hangat pada wanita berusia 26 tahun itu.Melihat bagaimana antusiasnya Kalil dan betapa Kalil mempercayainya, Jingga jadi merasa bersalah. Sebab sampai saat ini Kalil belum tahu bahwa yang sebenarnya memesan lukisan ini adalah Davin. Suaminya.“Pak Kalil…,” panggil Jingga, yang membuat pria itu kembali memandanginya dengan sorot mata teduh.“Ada sesuatu yang mau kamu sampaikan?” tanya pria itu.Jingga masih m
Jingga mengalungkan lengan di leher Davin seraya memperhatikan ekspresi mengeras yang masih nampak di wajahnya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan pada pria itu, tapi Jingga mencoba menahan diri.“Dave, bisa turunin aku?” gumam Jingga, “aku bisa berjalan sendiri.”Mata Davin yang menjorok ke dalam itu seketika menatap Jingga. “Jangan berpura-pura baik-baik saja.”Hanya itu yang terlontar dari mulut Davin dan berhasil membuat Jingga bungkam seribu bahasa. Amarah pria itu belum mereda, Jingga tahu itu dari nada suaranya.Davin membawa Jingga keluar dari rumah orang tuanya, lalu menyuruh sopir membuka pintu mobil.Davin lantas menurunkan Jingga di kursi depan tepat di samping kursi kemudi. “Ada yang tertinggal di dalam?” tanyanya seraya memasang sabuk pengaman untuk Jingga.Jingga sempat menahan napasnya sesaat ketika ia merasakan napas hangat Davin menerpa pipinya. “Hm. Tas aku ketinggalan di dapur.”“Aku ambil dulu.”Wajah Davin masih terlihat mengeras seakan tengah menyimpan emosi yang
Jingga membeku mendengar kata-kata yang—menurut Jingga—mustahil keluar dari mulut Davin. Namun pada kenyataannya pria itu mengatakannya dengan sangat jelas barusan."Aku merindukanmu," gumam Davin sekali lagi.Semilir angin sore dan suara deru mesin mobil yang melewati mereka membuat Jingga keluar dari keterdiamannya. Dan ia baru sadar pelukan Davin semakin terasa erat.Davin kemudian melepas pelukannya dan memutar tubuh Jingga. Tanpa memberi kesempatan pada Jingga untuk bernapas lega, pria itu kembali memeluknya, menenggelamkan wajah Jingga di dadanya yang bidang.“Bukan maksud aku menyalahkanmu, Jingga,” ucap Davin setelah cukup lama terdiam. “Selama ini aku pikir, kamu selalu diam karena kamu nggak suka bicara denganku dan itu membuatku sangat marah.”Jingga tertegun. Ternyata selama ini Davin salah paham dengan sikapnya.“Aku ingin mengobrol denganmu, aku ingin kamu menunjukkan ketertarikanmu padaku.” Davin menghela napas panjang. Karena hanya Jingga, wanita yang sama sekali tidak
“Selama aku pergi, kamu makan dengan baik?” Suara Davin terdengar teredam.“Iya. Aku juga makan cukup banyak.” Jingga menggigit bibir bawahnya, merasa gugup dengan posisi mereka yang tak berjarak sama sekali. Hembusan napas hangat Davin terasa menerpa pundaknya yang terbalut pakaian.“Bagus. Nanti aku akan cek berat badanmu.”“Sampai sejauh itu?” Jingga merasa tak habis pikir.“Hm. Aku harus memastikan istriku tumbuh dengan baik,” timpal Davin dalam gumaman.Jingga sedikit mengerutkan bibirnya. “Baiklah. Sebenarnya aku sudah cek, dan berat badanku naik nol koma enam kilo.”“Kenapa sedikit sekali?” Davin mengangkat wajahnya yang semula terbenam di pundak Jingga, matanya menatap Jingga dari samping.“Tapi aku sudah makan sebanyak yang aku mampu,” protes Jingga dengan cepat, “lagipula ini baru beberapa hari, kok. Belum satu bulan. Buat aku naik enam ratus gram dalam waktu sesingkat itu termasuk perkembangan yang bagus.”Mata Davin mengerjap saat melihat Jingga protes dengan bibir cemberu