“Selama aku pergi, kamu makan dengan baik?” Suara Davin terdengar teredam.“Iya. Aku juga makan cukup banyak.” Jingga menggigit bibir bawahnya, merasa gugup dengan posisi mereka yang tak berjarak sama sekali. Hembusan napas hangat Davin terasa menerpa pundaknya yang terbalut pakaian.“Bagus. Nanti aku akan cek berat badanmu.”“Sampai sejauh itu?” Jingga merasa tak habis pikir.“Hm. Aku harus memastikan istriku tumbuh dengan baik,” timpal Davin dalam gumaman.Jingga sedikit mengerutkan bibirnya. “Baiklah. Sebenarnya aku sudah cek, dan berat badanku naik nol koma enam kilo.”“Kenapa sedikit sekali?” Davin mengangkat wajahnya yang semula terbenam di pundak Jingga, matanya menatap Jingga dari samping.“Tapi aku sudah makan sebanyak yang aku mampu,” protes Jingga dengan cepat, “lagipula ini baru beberapa hari, kok. Belum satu bulan. Buat aku naik enam ratus gram dalam waktu sesingkat itu termasuk perkembangan yang bagus.”Mata Davin mengerjap saat melihat Jingga protes dengan bibir cemberu
Suasana di antara Jingga dan Davin pagi itu menjadi terasa canggung setelah apa yang mereka lakukan tadi malam. Jingga tak berani menatap Davin karena malu. Sementara Davin tampak salah tingkah.Semalam, setelah Davin secara tiba-tiba mengatakan bahwa ia mengingat sesuatu, Jingga lantas bertanya memangnya apa yang Davin ingat?Namun Davin tidak menjawab dengan jujur. Davin mengelak dan kembali mencium bibir Jingga. Davin belum siap, jika ia jujur mengenai apa yang ia lakukan ‘malam itu’, ia takut Jingga marah dan membencinya.Sekarang bukan waktu yang tepat, pikir Davin.Saat gairah Davin semakin memuncak dan ia ingin melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar berciuman, Jingga tiba-tiba menolak dengan halus.“Aku… belum siap. Maaf,” gumam Jingga saat itu, yang membuat Davin terpaksa menahan diri dan itu sungguh amat menyiksa. Meski demikian, Davin berusaha untuk memahami Jingga dan tak ingin memaksa. Ia akan menunggu.Setelah memastikan penampilannya sudah rapi, Jingga keluar kamar sa
“Sial. Kenapa tidak diangkat?” berang Davin pada dirinya sendiri seraya menatap layar ponsel yang menampilkan nama ibunya. Tiga panggilannya sama sekali tak ada yang terangkat.Setelah mendengar penuturan Amarylis beberapa saat yang lalu, Davin tiba-tiba dikuasai amarah. Hanya mendengar Jingga ditampar saja sudah membuat Davin ingin mengobrak-abrik seisi ruangan kantornya untuk melampiaskan kemarahannya.Saat Davin masih berusaha menghubungi ibunya—untuk meminta penjelasan atas apa yang telah ibunya lakukan pada Jingga, tiba-tiba Davin mendapat pesan dari seseorang yang ia utus untuk mengikuti Jingga.Davin segera membuka pesan tersebut, yang berisi sebuah foto Jingga sedang keluar dari studio bersama Kalil.[“Bu Jingga dan laki-laki ini akan pergi makan siang bersama.”]Hati Davin seketika diliputi hawa panas yang entah datang dari mana. Sial. Mereka akan makan siang berdua?Davin mendengus kasar. Ia segera menghubungi informan itu.“Mereka makan siang di mana?” tanya Davin tanpa bas
“Dia kenapa hari ini? Sikapnya benar-benar aneh,” gumam Jingga pada dirinya sendiri seraya merapikan meja.Lalu, Jingga terdiam saat ia teringat dengan panggilan ‘sayang’ yang disematkan Davin untuknya ketika makan siang beberapa jam yang lalu.Tatapan Davin yang hangat, senyuman lembutnya, dan panggilan mesra itu sempat membuat Jingga terbuai. Ia merasa telah menjadi seorang istri yang dicintai dan diinginkan.Namun, dengan cepat Jingga menepis semua rasa itu. Bagaimanapun juga di dalam hidup Davin masih ada Chelsea, yang mungkin sangat sulit untuk dia hilangkan begitu saja.Lagipula, Jingga masih kesal pada Davin. Saat makan siang tadi ia lebih banyak mengobrol dengan Kalil dan mencuekkan suaminya itu.Kalau dulu, Jingga tak akan berani menunjukkan kekesalannya pada Davin. Namun sekarang Jingga sendiri heran kenapa ia bisa sampai seberani ini menampilkannya.Jingga menghela napas panjang. Lantas keluar dari ruangan kerjanya. Saat membuka pintu, ia terkejut karena Kalil sudah berdiri
Jingga menggeliat. Tapi mendadak ia tidak bebas bergerak, seperti ada sesuatu yang mengikatnya dari belakang.Sejenak Jingga tertegun. Ia juga mendengar dengkuran halus di belakangnya. Mata Jingga seketika terbuka, ia menunduk, lalu terbelalak begitu melihat tangan kekar seorang pria melingkari perutnya.Jingga panik, ketakutan. Ingatannya seketika terlempar ke masa lalu. Kepada malam yang membuat kehidupannya menjadi semakin hancur setelah seseorang merudapaksa dirinya.Malam itu, samar-samar Jingga mengingat, dalam keadaan setengah sadar, Jingga melihat tangan kekar seseorang memeluknya dari belakang—dengan posisi yang sama seperti pagi ini.Namun, malam itu kepala Jingga terlalu berat dan nyaris kehilangan kesadarannya. Sehingga Jingga tidak bisa memberontak ataupun berteriak saat orang itu mendesakkan dirinya ke dalam diri Jingga.Jingga menyingkirkan tangan Davin, ia bangkit duduk dengan wajah memucat. Ingatan buruk tentang masa lalu selalu menghantuinya, membuatnya ketakutan dan
Jingga meremas tasnya dengan gugup. Secara spontan matanya terpejam saat wajah Davin semakin mendekat. Napas Jingga tertahan. Gemuruh di dalam dadanya semakin hebat.Klik!Hm? Apa yang terjadi?Davin tidak menciumnya?Kelopak mata Jingga menyipit saat ia mendengar bunyi sabuk pengaman yang dilepas. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, Jingga melihat pria itu tengah tersenyum geli.“Apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir, aku akan menciummu?”“Hah?"Davin terkekeh kecil. Dagunya menunjuk sabuk pengaman Jingga yang terlepas. “Aku cuma mau melepas itu.”Seketika itu juga Jingga merasakan pipinya memanas. Astaga… bisa-bisanya ia berpikir barusan Davin akan menciumnya!Rasanya Jingga benar-benar malu. Ia ingin menghilang dari hadapan Davin detik ini juga.“Memangnya siapa yang berpikir kamu akan menciumku?” elak Jingga sambil membuang muka. “Aku… aku memejamkan mata karena… kelilipan! Iya karena kelilipan!” Ia berpura-pura mengucek mata, berharap Davin percaya dengan alasannya. “Kalau begitu aku
Jingga mendadak kehilangan fokusnya. Ia mengalami art block, yang membuatnya kesulitan menggoreskan kuas di atas kanvas.Sejak pagi ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan melamun, berusaha membangun mood dan mencari ide. Namun, sampai beranjak siang pun mood Jingga belum berubah.Semuanya gara-gara Davin.Setiap kali Jingga sudah mulai fokus, bayangan wajah tegas pria itu dan ciumannya yang lembut tadi pagi, berkelebat di kepala Jingga. Membuat jantung Jingga tiba-tiba berdetak cepat dan pipinya memerah, hingga konsentrasinya kembali buyar.Alhasil, setelah menghabiskan bekal makan siangnya, Jingga pergi ke coffee shop di seberang studio. Ia butuh minuman untuk menyegarkan kepalanya.“Hot Cappuccino, susunya diganti sama oatmilk.”“Baik. Ada lagi?” tanya kasir sambil menyentuh layar iPad di hadapannya.Jingga menggeleng. “Itu saja.”Kemudian ia menyerahkan sejumlah uang dan duduk di salah satu kursi sambil menunggu pesanannya selesai. Tak lama, ia keluar dari café sambil menggengga
“Sayangnya, saat aku cemburu, nggak ada yang bisa menghentikanku.”Kata-kata Davin membuat tulang punggung Jingga merinding. Ia terjebak di bawah genggaman Davin yang kuat, tidak bisa bergerak bebas. Tatapan Davin menyihir Jingga, membuat Jingga tidak sadar bahwa kini bibir mereka sudah kembali saling bertaut.Jingga sama sekali tidak menyangka, hanya gara-gara Kalil yang memijat pergelangan kakinya, bisa membuat Davin berubah menjadi sangat posesif dan liar seperti ini.Saat tangan Davin menjelajahinya dan melepas kancing kemejanya satu persatu, pikiran Jingga tiba-tiba dipenuhi kebingungan dan ketakutan.Davin melempar helai pakaian dari tubuh Jingga ke sembarang arah, satu persatu, hingga wanita itu kini tampil polos di hadapannya. Ia melumat bibirnya dengan penuh gairah seakan-akan tidak ingin berhenti.Namun, tangan Jingga yang menahan dada bidangnya, membuat Davin terpaksa menjauhkan kembali wajah mereka.“Kenapa? Kamu ingin aku berhenti?” bisik Davin dengan napas tersengal. Ia m