Jingga menggeliat. Tapi mendadak ia tidak bebas bergerak, seperti ada sesuatu yang mengikatnya dari belakang.Sejenak Jingga tertegun. Ia juga mendengar dengkuran halus di belakangnya. Mata Jingga seketika terbuka, ia menunduk, lalu terbelalak begitu melihat tangan kekar seorang pria melingkari perutnya.Jingga panik, ketakutan. Ingatannya seketika terlempar ke masa lalu. Kepada malam yang membuat kehidupannya menjadi semakin hancur setelah seseorang merudapaksa dirinya.Malam itu, samar-samar Jingga mengingat, dalam keadaan setengah sadar, Jingga melihat tangan kekar seseorang memeluknya dari belakang—dengan posisi yang sama seperti pagi ini.Namun, malam itu kepala Jingga terlalu berat dan nyaris kehilangan kesadarannya. Sehingga Jingga tidak bisa memberontak ataupun berteriak saat orang itu mendesakkan dirinya ke dalam diri Jingga.Jingga menyingkirkan tangan Davin, ia bangkit duduk dengan wajah memucat. Ingatan buruk tentang masa lalu selalu menghantuinya, membuatnya ketakutan dan
Jingga meremas tasnya dengan gugup. Secara spontan matanya terpejam saat wajah Davin semakin mendekat. Napas Jingga tertahan. Gemuruh di dalam dadanya semakin hebat.Klik!Hm? Apa yang terjadi?Davin tidak menciumnya?Kelopak mata Jingga menyipit saat ia mendengar bunyi sabuk pengaman yang dilepas. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, Jingga melihat pria itu tengah tersenyum geli.“Apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir, aku akan menciummu?”“Hah?"Davin terkekeh kecil. Dagunya menunjuk sabuk pengaman Jingga yang terlepas. “Aku cuma mau melepas itu.”Seketika itu juga Jingga merasakan pipinya memanas. Astaga… bisa-bisanya ia berpikir barusan Davin akan menciumnya!Rasanya Jingga benar-benar malu. Ia ingin menghilang dari hadapan Davin detik ini juga.“Memangnya siapa yang berpikir kamu akan menciumku?” elak Jingga sambil membuang muka. “Aku… aku memejamkan mata karena… kelilipan! Iya karena kelilipan!” Ia berpura-pura mengucek mata, berharap Davin percaya dengan alasannya. “Kalau begitu aku
Jingga mendadak kehilangan fokusnya. Ia mengalami art block, yang membuatnya kesulitan menggoreskan kuas di atas kanvas.Sejak pagi ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan melamun, berusaha membangun mood dan mencari ide. Namun, sampai beranjak siang pun mood Jingga belum berubah.Semuanya gara-gara Davin.Setiap kali Jingga sudah mulai fokus, bayangan wajah tegas pria itu dan ciumannya yang lembut tadi pagi, berkelebat di kepala Jingga. Membuat jantung Jingga tiba-tiba berdetak cepat dan pipinya memerah, hingga konsentrasinya kembali buyar.Alhasil, setelah menghabiskan bekal makan siangnya, Jingga pergi ke coffee shop di seberang studio. Ia butuh minuman untuk menyegarkan kepalanya.“Hot Cappuccino, susunya diganti sama oatmilk.”“Baik. Ada lagi?” tanya kasir sambil menyentuh layar iPad di hadapannya.Jingga menggeleng. “Itu saja.”Kemudian ia menyerahkan sejumlah uang dan duduk di salah satu kursi sambil menunggu pesanannya selesai. Tak lama, ia keluar dari café sambil menggengga
“Sayangnya, saat aku cemburu, nggak ada yang bisa menghentikanku.”Kata-kata Davin membuat tulang punggung Jingga merinding. Ia terjebak di bawah genggaman Davin yang kuat, tidak bisa bergerak bebas. Tatapan Davin menyihir Jingga, membuat Jingga tidak sadar bahwa kini bibir mereka sudah kembali saling bertaut.Jingga sama sekali tidak menyangka, hanya gara-gara Kalil yang memijat pergelangan kakinya, bisa membuat Davin berubah menjadi sangat posesif dan liar seperti ini.Saat tangan Davin menjelajahinya dan melepas kancing kemejanya satu persatu, pikiran Jingga tiba-tiba dipenuhi kebingungan dan ketakutan.Davin melempar helai pakaian dari tubuh Jingga ke sembarang arah, satu persatu, hingga wanita itu kini tampil polos di hadapannya. Ia melumat bibirnya dengan penuh gairah seakan-akan tidak ingin berhenti.Namun, tangan Jingga yang menahan dada bidangnya, membuat Davin terpaksa menjauhkan kembali wajah mereka.“Kenapa? Kamu ingin aku berhenti?” bisik Davin dengan napas tersengal. Ia m
Jingga menatap pantulan dirinya di cermin. Rambut panjangnya terurai sepunggung. Merasa hal itu akan membuatnya ribet selama dalam perjalanan nanti, ia lantas mencepol rambutnya.Ia meremas tangannya, lalu membuka pintu kamar. Hari ini mereka akan pergi ke Italia, Jingga merasa gugup.Begitu Jingga keluar kamar, ia melihat Davin baru selesai menelepon. Pria itu tersenyum ke arahnya, membuat napas Jingga tertahan dan merasa gugup.Sejak sore itu—sore di mana ia dan Davin menyatu tanpa terpisahkan, Jingga menjadi selalu salah tingkah dan malu setiap kali berhadapan dengan pria itu.“Pastikan nggak ada barang penting milikmu yang tertinggal.” Davin menghampiri Jingga sambil menenteng sepasang sepatu sneakers.“Hm. Sudah aku cek lagi, dan semuanya aman, kok.”Davin mengangguk. “Kemarilah.” Ia menarik tangan Jingga menuju sofa. “Duduk di sini.”Jingga menurut meski tidak tahu apa yang akan Davin lakukan.Davin berjongkok di depan Jingga dan menaruh sepatu itu di dekat kakinya. “Sepatu ini
Setelah menghabiskan waktu hampir 17 jam di udara, pesawat pribadi New Pacific Group itu pun mendarat di bandar udara International Leonardo Da Vinci, tepat pada pukul satu dini hari waktu setempat.Udara dingin Italia langsung menyapa Jingga saat ia keluar dari pintu pesawat. Hati Jingga terasa berbunga-bunga. Jika ia tipe wanita yang periang, mungkin saat ini ia sudah melompat kegirangan karena begitu bahagia telah menginjakkan kaki di luar negeri untuk pertama kalinya.Dulu, Jingga sama sekali tidak berani bermimpi pergi ke luar negeri, sebab hal itu mustahil baginya.Jingga menuruni tangga pesawat dengan hati-hati. Namun, tiba-tiba kakinya tergelincir.Davin yang ada di belakang Jingga tidak sempat menahannya. Jingga nyaris terjatuh andai saja Vincent tidak menahan tubuhnya di depan. Jingga jatuh ke pelukan Vincent.“Bu Jingga, Anda baik-baik saja?”“Oh? Iya. Aku baik-baik saja. Terima kasih.”Vincent masih menahan Jingga yang belum mendapat keseimbangan.Namun, saat Vincent menat
Jingga menatap curiga pada Davin yang sejak tadi terus tersenyum penuh kemenangan.Merasa ditatap Jingga, Davin pun menoleh pada istrinya yang duduk di sampingnya itu.“Kenapa menatapku seperti itu, hm?”“Penampilan Vincent berubah. Apa itu… karena perintahmu?”“Ah, kamu pintar juga ternyata.” Davin mengacak puncak kepala Jingga. Bibirnya tersenyum miring. “Itu resiko yang harus dia terima. Bukankah kemarin kamu bilang, dia itu tampan? Jadi hari ini kubuat dia jadi jelek di depanmu.”“Apa?” Mulut Jingga ternganga, ia geleng-geleng kepala tak habis pikir. “Jadi, itu gara-gara aku memuji dia tampan?”“Hm.” Davin mengangguk enteng. “Semakin kamu memuji orang itu, semakin aku buat dia jelek.”Astaga… Davin benar-benar kekanakkan! Jingga tak percaya kalau suaminya ini lulusan S2 Universitas Oxford.Jingga lantas menatap Vincent yang sedang menelepon di kejauhan dengan perasaan bersalah. Saat ini mereka sedang menunggu kedatangan dokter Eugenio, di ruangan tunggu Amorefields Hospital, rumah
“Jingga akan masuk ke ruangan operasi hari ini.” Davin menempelkan ponselnya di telinga, seraya menatap taman rumah sakit melalui dinding kaca. “Sekarang? Dia baik-baik saja. Ya… saya tahu. Akan saya sampaikan. Sebenarnya saya memberitahumu karena Jingga yang meminta. Dia tetap menghormatimu sebagai atasan dan temannya. Baiklah. Saya tutup.”Davin memasukkan ponsel ke saku dan mengembuskan napas kasar. Barusan ia berbicara dengan Kalil. Andai saja bukan Jingga yang meminta untuk mengabari lelaki itu, Davin tidak akan mau.Davin lantas menghampiri Jingga yang sudah terbaring di ranjang pasien sejak kemarin siang. Wanita itu terlihat gelisah.“Kamu gugup, hem?” Davin menggenggam tangan Jingga yang tersimpan di atas perutnya, terasa dingin.Jingga mengangguk. “Iya, Dave. Walaupun aku sudah berusaha buat nggak takut, tetap saja ini rasanya sangat menegangkan.”“Kamu akan baik-baik saja. Percaya padaku.”“Gimana kalau ternyata operasinya gagal dan aku meninggal?” Jingga semakin cemas. “Gim