Share

54. Haus Pujian

Penulis: Rosa Uchiyamana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jingga menatap pantulan dirinya di cermin. Rambut panjangnya terurai sepunggung. Merasa hal itu akan membuatnya ribet selama dalam perjalanan nanti, ia lantas mencepol rambutnya.

Ia meremas tangannya, lalu membuka pintu kamar. Hari ini mereka akan pergi ke Italia, Jingga merasa gugup.

Begitu Jingga keluar kamar, ia melihat Davin baru selesai menelepon. Pria itu tersenyum ke arahnya, membuat napas Jingga tertahan dan merasa gugup.

Sejak sore itu—sore di mana ia dan Davin menyatu tanpa terpisahkan, Jingga menjadi selalu salah tingkah dan malu setiap kali berhadapan dengan pria itu.

“Pastikan nggak ada barang penting milikmu yang tertinggal.” Davin menghampiri Jingga sambil menenteng sepasang sepatu sneakers.

“Hm. Sudah aku cek lagi, dan semuanya aman, kok.”

Davin mengangguk. “Kemarilah.” Ia menarik tangan Jingga menuju sofa. “Duduk di sini.”

Jingga menurut meski tidak tahu apa yang akan Davin lakukan.

Davin berjongkok di depan Jingga dan menaruh sepatu itu di dekat kakinya. “Sepatu ini
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (14)
goodnovel comment avatar
Ririn Satkwantono
edyan.....hihihihi
goodnovel comment avatar
Eva Arini Devi
aya" wae di Dave
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
ada" aj nih tingkah Davin, Karna jingga menyamakan ketampanan dia dengan yang lain......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Manis sang Pewaris   55. Tiba di Roma

    Setelah menghabiskan waktu hampir 17 jam di udara, pesawat pribadi New Pacific Group itu pun mendarat di bandar udara International Leonardo Da Vinci, tepat pada pukul satu dini hari waktu setempat.Udara dingin Italia langsung menyapa Jingga saat ia keluar dari pintu pesawat. Hati Jingga terasa berbunga-bunga. Jika ia tipe wanita yang periang, mungkin saat ini ia sudah melompat kegirangan karena begitu bahagia telah menginjakkan kaki di luar negeri untuk pertama kalinya.Dulu, Jingga sama sekali tidak berani bermimpi pergi ke luar negeri, sebab hal itu mustahil baginya.Jingga menuruni tangga pesawat dengan hati-hati. Namun, tiba-tiba kakinya tergelincir.Davin yang ada di belakang Jingga tidak sempat menahannya. Jingga nyaris terjatuh andai saja Vincent tidak menahan tubuhnya di depan. Jingga jatuh ke pelukan Vincent.“Bu Jingga, Anda baik-baik saja?”“Oh? Iya. Aku baik-baik saja. Terima kasih.”Vincent masih menahan Jingga yang belum mendapat keseimbangan.Namun, saat Vincent menat

  • Istri Manis sang Pewaris   56. Davin Merona

    Jingga menatap curiga pada Davin yang sejak tadi terus tersenyum penuh kemenangan.Merasa ditatap Jingga, Davin pun menoleh pada istrinya yang duduk di sampingnya itu.“Kenapa menatapku seperti itu, hm?”“Penampilan Vincent berubah. Apa itu… karena perintahmu?”“Ah, kamu pintar juga ternyata.” Davin mengacak puncak kepala Jingga. Bibirnya tersenyum miring. “Itu resiko yang harus dia terima. Bukankah kemarin kamu bilang, dia itu tampan? Jadi hari ini kubuat dia jadi jelek di depanmu.”“Apa?” Mulut Jingga ternganga, ia geleng-geleng kepala tak habis pikir. “Jadi, itu gara-gara aku memuji dia tampan?”“Hm.” Davin mengangguk enteng. “Semakin kamu memuji orang itu, semakin aku buat dia jelek.”Astaga… Davin benar-benar kekanakkan! Jingga tak percaya kalau suaminya ini lulusan S2 Universitas Oxford.Jingga lantas menatap Vincent yang sedang menelepon di kejauhan dengan perasaan bersalah. Saat ini mereka sedang menunggu kedatangan dokter Eugenio, di ruangan tunggu Amorefields Hospital, rumah

  • Istri Manis sang Pewaris   57. Gelisah dan Takut

    “Jingga akan masuk ke ruangan operasi hari ini.” Davin menempelkan ponselnya di telinga, seraya menatap taman rumah sakit melalui dinding kaca. “Sekarang? Dia baik-baik saja. Ya… saya tahu. Akan saya sampaikan. Sebenarnya saya memberitahumu karena Jingga yang meminta. Dia tetap menghormatimu sebagai atasan dan temannya. Baiklah. Saya tutup.”Davin memasukkan ponsel ke saku dan mengembuskan napas kasar. Barusan ia berbicara dengan Kalil. Andai saja bukan Jingga yang meminta untuk mengabari lelaki itu, Davin tidak akan mau.Davin lantas menghampiri Jingga yang sudah terbaring di ranjang pasien sejak kemarin siang. Wanita itu terlihat gelisah.“Kamu gugup, hem?” Davin menggenggam tangan Jingga yang tersimpan di atas perutnya, terasa dingin.Jingga mengangguk. “Iya, Dave. Walaupun aku sudah berusaha buat nggak takut, tetap saja ini rasanya sangat menegangkan.”“Kamu akan baik-baik saja. Percaya padaku.”“Gimana kalau ternyata operasinya gagal dan aku meninggal?” Jingga semakin cemas. “Gim

  • Istri Manis sang Pewaris   58. Takut Kehilanganmu

    Jingga berjalan di tengah ladang luas yang dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Udara terasa segar. Cahaya matahari hangat menyinari sekelilingnya. Rambut panjangnya melambai-lambai tertempa angin yang menyejukkan.Ia memutar badan, tapi ia tidak melihat di mana letak ujungnya ladang ini. Sekelilingnya seakan tak berpenghujung.Tatapan Jingga terhenti pada satu-satunya pohon rindang yang berdiri tegak di depan sana. Daun-daunnya bergoyang-goyang syahdu, bergemerisik. Jingga menghampiri pohon itu. Dedaunan rindangnya melindungi Jingga dari tempaan cahaya matahari.Dengan hati-hati tangan Jingga menyentuh batang pohon tersebut, seolah-olah lubang kecil bercahaya di tengah batang itu menarik perhatiannya.Dan tiba-tiba, cahaya itu menarik habis seluruh tubuh Jingga, membawa Jingga masuk ke dalam dunia yang baru.Jingga disambut dengan suara pecahan guci, amukan Davin yang menggelegar, dan suara tamparan keras yang Jingga layangkan di pipi Davin. Semua kejadian itu seperti cuplikan film,

  • Istri Manis sang Pewaris   59. Mimpi Buruk

    “Sepertinya, suami Anda sangat mencintai Anda, Nyonya William.”“Eh?”Jingga keluar dari keterpakuannya kala mendengar ucapan perawat yang sedang memeriksa tekanan darahnya.Pandangan Jingga lantas beralih dari Davin—yang sedang tertidur nyenyak di sofa, ke arah perawat wanita yang bermata biru di sampingnya itu.“Ah, itu… menurutmu begitu?”Hanya itu yang keluar dari mulut Jingga. Ia tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa. Sebab Jingga sangat tahu, bahwa kata-kata perawat itu seratus persen tidak benar. Selain itu, bahasa Inggris Jingga tidak terlalu mahir, tapi ia mengerti apa yang orang lain katakan.“Saat kau tidak kunjung siuman, saya melihat dia tidak tidur siang dan malam. Setiap kali saya masuk ke ruangan Anda, dia selalu duduk di samping ranjang sambil menggenggam tangan Anda.” Perawat itu tersenyum seraya merapikan peralatannya “Saya rasa, sikapnya itu benar-benar romantis.”Pipi Jingga merona-rona.“Nah, Nyonya, makan malam sebentar lagi akan diantar ke sini. Selama

  • Istri Manis sang Pewaris   60. Hadiah Dari Jingga

    Wajah Davin tiba-tiba menjadi kaku dan tegang. “Kamu… mimpi begitu?” tanyanya dengan suara serak.“Mm-hm. Di mimpi itu aku bisa melihat diri aku sendiri, seolah-olah aku menyaksikan kejadian itu secara langsung. Dan kejadiannya terasa benar-benar nyata.”Jingga terdiam. Rasanya sulit dipercaya ia bisa bercerita mengenai mimpi buruknya pada Davin. Padahal, dulu, Jingga selalu takut ketika ingin menyampaikan sesuatu, entah kepada Davin, ataupun orang lain.Menyadari Davin hanya diam, Jingga lantas mendongak, menatap wajah Davin yang mendadak pucat. Jingga heran.“Dave, kamu sakit?”Pria itu terkejut, mengerjap. Lalu menunduk, membuat pipi Jingga seketika merona karena jarak wajah mereka begitu dekat.“Itu hanya mimpi buruk. Jangan terlalu dipikirkan!” tegas Davin.Jingga mengangguk. Namun, ia tiba-tiba merasa penasaran akan sesuatu. “Dave?” panggilnya dalam gumaman.“Hm?”Jingga ragu sejenak, ia menggigit bibir bawahnya dengan gamang. Kalau ia menyuarakan pertanyaan yang ada di kepalanya

  • Istri Manis sang Pewaris   61. Perasaan Davin

    Jingga terperangah.Ini benar-benar sulit di percaya! Ia merasa seperti sedang bermimpi. Mimpi yang sangat indah. Hingga ia sangat takut ia terbangun dari mimpi indahnya itu.Sekali lagi, Jingga melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Satu langkah. Dua langkah.“Ya Tuhan….” Jingga menutupi mulutnya yang ternganga menggunakan kedua telapak tangan.Matanya seketika berkaca-kaca. Ia kembali melangkahkan kakinya mendekati cermin. Di dalam cermin itu ia melihat pantulan dirinya, yang berjalan tanpa alat bantu lagi.Sekarang cara berjalannya tidak timpang.Jingga terpaku, menatap bayangannya sendiri dengan pandangan yang semakin kabur. Matanya sudah tidak bisa menahan air yang menggenang. Tetesan air hangat mulai berjatuhan dari pelupuk mata, penuh haru dan bahagia.Isak tangis yang tersedu sedan itu sampai ke telinga Davin. Pria itu terkesiap. Setelah menaruh Oliver ke atas baby chair, ia bergegas masuk ke kamar mereka di penthouse tersebut.“Jingga, ada apa?” tanya Davin dengan panik seray

  • Istri Manis sang Pewaris   62. Populer Di Kalangan Wanita

    “Baiklah, kalau kamu nggak tahu bagaimana perasaanku, aku akan memberitahunya sekarang.”Mata Jingga mengerjap, entah perasaannya saja atau bukan, tapi saat ini ia melihat pipi Davin semakin merah seperti kepiting rebus. Tatapan Davin tidak fokus, bola matanya berkeliaran ke sana kemari seolah sedang menghindari bersitatap dengan Jingga.“Jingga, sebenarnya aku….” Davin berdehem, tangan kanannya mengusap-usap tengkuk. Salah tingkah.Jingga menelengkan kepala, menanti kelanjutan cerita Davin seraya meneliti raut mukanya. ‘Sepertinya dia kesulitan bicara,’ batin Jingga dengan kening yang berkerut. ‘Apa tenggorokannya sakit?’“Jingga, begini… sebenarnya sudah sejak lama aku merasakan hal ini, tapi….” Davin kembali berdehem, lalu berjongkok di depan Jingga dan menggenggam tangannya. “Tapi sebelumnya aku nggak yakin dengan perasaan yang kumiliki. Aku khawatir ini bukan seperti yang aku kira, tapi semakin ke sini… aku semakin merasa—”“Kamu merasa semakin sakit?” sela Jingga dengan tatapan

Bab terbaru

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 10

    “Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 9

    “Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 8

    Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 7

    Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 6

    Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 5

    “Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 4

    Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 3

    Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 2

    “Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah

DMCA.com Protection Status