Jingga berjalan di tengah ladang luas yang dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Udara terasa segar. Cahaya matahari hangat menyinari sekelilingnya. Rambut panjangnya melambai-lambai tertempa angin yang menyejukkan.Ia memutar badan, tapi ia tidak melihat di mana letak ujungnya ladang ini. Sekelilingnya seakan tak berpenghujung.Tatapan Jingga terhenti pada satu-satunya pohon rindang yang berdiri tegak di depan sana. Daun-daunnya bergoyang-goyang syahdu, bergemerisik. Jingga menghampiri pohon itu. Dedaunan rindangnya melindungi Jingga dari tempaan cahaya matahari.Dengan hati-hati tangan Jingga menyentuh batang pohon tersebut, seolah-olah lubang kecil bercahaya di tengah batang itu menarik perhatiannya.Dan tiba-tiba, cahaya itu menarik habis seluruh tubuh Jingga, membawa Jingga masuk ke dalam dunia yang baru.Jingga disambut dengan suara pecahan guci, amukan Davin yang menggelegar, dan suara tamparan keras yang Jingga layangkan di pipi Davin. Semua kejadian itu seperti cuplikan film,
“Sepertinya, suami Anda sangat mencintai Anda, Nyonya William.”“Eh?”Jingga keluar dari keterpakuannya kala mendengar ucapan perawat yang sedang memeriksa tekanan darahnya.Pandangan Jingga lantas beralih dari Davin—yang sedang tertidur nyenyak di sofa, ke arah perawat wanita yang bermata biru di sampingnya itu.“Ah, itu… menurutmu begitu?”Hanya itu yang keluar dari mulut Jingga. Ia tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa. Sebab Jingga sangat tahu, bahwa kata-kata perawat itu seratus persen tidak benar. Selain itu, bahasa Inggris Jingga tidak terlalu mahir, tapi ia mengerti apa yang orang lain katakan.“Saat kau tidak kunjung siuman, saya melihat dia tidak tidur siang dan malam. Setiap kali saya masuk ke ruangan Anda, dia selalu duduk di samping ranjang sambil menggenggam tangan Anda.” Perawat itu tersenyum seraya merapikan peralatannya “Saya rasa, sikapnya itu benar-benar romantis.”Pipi Jingga merona-rona.“Nah, Nyonya, makan malam sebentar lagi akan diantar ke sini. Selama
Wajah Davin tiba-tiba menjadi kaku dan tegang. “Kamu… mimpi begitu?” tanyanya dengan suara serak.“Mm-hm. Di mimpi itu aku bisa melihat diri aku sendiri, seolah-olah aku menyaksikan kejadian itu secara langsung. Dan kejadiannya terasa benar-benar nyata.”Jingga terdiam. Rasanya sulit dipercaya ia bisa bercerita mengenai mimpi buruknya pada Davin. Padahal, dulu, Jingga selalu takut ketika ingin menyampaikan sesuatu, entah kepada Davin, ataupun orang lain.Menyadari Davin hanya diam, Jingga lantas mendongak, menatap wajah Davin yang mendadak pucat. Jingga heran.“Dave, kamu sakit?”Pria itu terkejut, mengerjap. Lalu menunduk, membuat pipi Jingga seketika merona karena jarak wajah mereka begitu dekat.“Itu hanya mimpi buruk. Jangan terlalu dipikirkan!” tegas Davin.Jingga mengangguk. Namun, ia tiba-tiba merasa penasaran akan sesuatu. “Dave?” panggilnya dalam gumaman.“Hm?”Jingga ragu sejenak, ia menggigit bibir bawahnya dengan gamang. Kalau ia menyuarakan pertanyaan yang ada di kepalanya
Jingga terperangah.Ini benar-benar sulit di percaya! Ia merasa seperti sedang bermimpi. Mimpi yang sangat indah. Hingga ia sangat takut ia terbangun dari mimpi indahnya itu.Sekali lagi, Jingga melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Satu langkah. Dua langkah.“Ya Tuhan….” Jingga menutupi mulutnya yang ternganga menggunakan kedua telapak tangan.Matanya seketika berkaca-kaca. Ia kembali melangkahkan kakinya mendekati cermin. Di dalam cermin itu ia melihat pantulan dirinya, yang berjalan tanpa alat bantu lagi.Sekarang cara berjalannya tidak timpang.Jingga terpaku, menatap bayangannya sendiri dengan pandangan yang semakin kabur. Matanya sudah tidak bisa menahan air yang menggenang. Tetesan air hangat mulai berjatuhan dari pelupuk mata, penuh haru dan bahagia.Isak tangis yang tersedu sedan itu sampai ke telinga Davin. Pria itu terkesiap. Setelah menaruh Oliver ke atas baby chair, ia bergegas masuk ke kamar mereka di penthouse tersebut.“Jingga, ada apa?” tanya Davin dengan panik seray
“Baiklah, kalau kamu nggak tahu bagaimana perasaanku, aku akan memberitahunya sekarang.”Mata Jingga mengerjap, entah perasaannya saja atau bukan, tapi saat ini ia melihat pipi Davin semakin merah seperti kepiting rebus. Tatapan Davin tidak fokus, bola matanya berkeliaran ke sana kemari seolah sedang menghindari bersitatap dengan Jingga.“Jingga, sebenarnya aku….” Davin berdehem, tangan kanannya mengusap-usap tengkuk. Salah tingkah.Jingga menelengkan kepala, menanti kelanjutan cerita Davin seraya meneliti raut mukanya. ‘Sepertinya dia kesulitan bicara,’ batin Jingga dengan kening yang berkerut. ‘Apa tenggorokannya sakit?’“Jingga, begini… sebenarnya sudah sejak lama aku merasakan hal ini, tapi….” Davin kembali berdehem, lalu berjongkok di depan Jingga dan menggenggam tangannya. “Tapi sebelumnya aku nggak yakin dengan perasaan yang kumiliki. Aku khawatir ini bukan seperti yang aku kira, tapi semakin ke sini… aku semakin merasa—”“Kamu merasa semakin sakit?” sela Jingga dengan tatapan
“Jingga, kamu cemburu?” celetuk Davin seraya menunduk dan mencari-cari tatapan Jingga yang sama sekali tak mau menatapnya.“Ke-kenapa aku harus cemburu?” Jingga memalingkan wajah ke arah lain. Davin berpindah ke sisi di mana Jingga menolehkan kepalanya. Namun Jingga sama sekali tidak mau menatap Davin. “Tadi aku hampir lupa kalau sebenarnya kamu sangat populer di kalangan wanita, jadi itu bukan sesuatu yang… harus kucemburui.”Davin ttiba-tiba tertawa kecil seolah menemukan sesuatu yang lucu dari diri Jingga. Telapak tangannya yang lebar mengacak puncak kepala wanita berusia 26 tahun itu.“Aku bercanda, Jingga.” Tawa Davin masih terdengar di udara. “Kamu sudah tahu kalau aku kuliah di Oxford, bukan? Dari Inggris ke sini jaraknya cukup dekat, bisa ditempuh dalam waktu satu sampai dua jam. Jadi… aku sering menghabiskan waktu bersama teman-temanku ke sini setiap libur semester.”Mata Jingga yang menatap datar pada pintu lift itu langsung mengerjap. “Teman-temanmu perempuan?”“Nggak semua
‘Karena aku khawatir kamu cemburu dan berpikiran yang nggak-nggak.’Ya Tuhan… kenapa Davin tahu aku sempat berpikiran macam-macam? Apa aku mudah terbaca? Bagaimana ini?Jingga menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya pada botol minum dingin yang baru ia keluarkan dari kulkas, setelah telapak tangannya terasa dingin ia lantas menangkupkan tangannya itu di pipi. Berharap hawa dingin itu akan membuat pipinya berhenti memanas.Jingga mengulanginya berulang kali. Sesekali ia menyentuh kalung di lehernya sambil tersenyum sendiri.“Apa yang sedang kamu lakukan? Aku perhatikan, dari tadi kamu terus menyentuh pipimu.”Jingga terkesiap.Kepalanya dengan cepat berputar ke arah sumber suara. Ia melihat Davin sedang berdiri, menyandarkan satu bahu pada kusen pintu kamar sambil bersedekap dada.“Dave?” Mata Jingga mengerjap. “Se-sejak kapan kamu berdiri di situ? Apa… sudah lama?” Kalau sudah lama, itu artinya….“Sudah sejak lima menit yang lalu.”“A-apa?”Davin
Davin terpaku pada sederet angka yang tertera di kalender duduk, yang teronggok di samping vas bunga, di hadapannya.Rasanya waktu yang ia habiskan bersama Jingga di "kehidupannya yang sekarang", berjalan begitu cepat. Hingga tak terasa kini sudah berada di minggu terakhir bulan Desember. Hanya tersisa satu bulan lebih untuk sampai di “hari itu”; 30 Januari, hari kematian Jingga.Tangan Davin terkepal. Rahangnya berkedut. Sekali lagi Davin menegaskan, bahwa ia tidak akan membiarkan Jingga mati di dunianya yang sekarang.“Sudah siang, tapi kenapa aku masih mengantuk ya, Dave?”Gumaman Jingga membuat Davin segera memutar kepalanya ke samping.Ketegangan di wajah Davin seketika mengendur, lalu seulas senyum kecil terlukis di bibirnya ketika ia melihat Jingga keluar dari kamar sambil melangkahkan kakinya perlahan-lahan, tanpa bantuan kursi roda.Wanita itu menutup mulutnya yang menguap dengan telapak tangan. Rambut panjangnya acak-acakan. Davin terkekeh kecil melihat penampilannya, ia men