“Baiklah, kalau kamu nggak tahu bagaimana perasaanku, aku akan memberitahunya sekarang.”Mata Jingga mengerjap, entah perasaannya saja atau bukan, tapi saat ini ia melihat pipi Davin semakin merah seperti kepiting rebus. Tatapan Davin tidak fokus, bola matanya berkeliaran ke sana kemari seolah sedang menghindari bersitatap dengan Jingga.“Jingga, sebenarnya aku….” Davin berdehem, tangan kanannya mengusap-usap tengkuk. Salah tingkah.Jingga menelengkan kepala, menanti kelanjutan cerita Davin seraya meneliti raut mukanya. ‘Sepertinya dia kesulitan bicara,’ batin Jingga dengan kening yang berkerut. ‘Apa tenggorokannya sakit?’“Jingga, begini… sebenarnya sudah sejak lama aku merasakan hal ini, tapi….” Davin kembali berdehem, lalu berjongkok di depan Jingga dan menggenggam tangannya. “Tapi sebelumnya aku nggak yakin dengan perasaan yang kumiliki. Aku khawatir ini bukan seperti yang aku kira, tapi semakin ke sini… aku semakin merasa—”“Kamu merasa semakin sakit?” sela Jingga dengan tatapan
“Jingga, kamu cemburu?” celetuk Davin seraya menunduk dan mencari-cari tatapan Jingga yang sama sekali tak mau menatapnya.“Ke-kenapa aku harus cemburu?” Jingga memalingkan wajah ke arah lain. Davin berpindah ke sisi di mana Jingga menolehkan kepalanya. Namun Jingga sama sekali tidak mau menatap Davin. “Tadi aku hampir lupa kalau sebenarnya kamu sangat populer di kalangan wanita, jadi itu bukan sesuatu yang… harus kucemburui.”Davin ttiba-tiba tertawa kecil seolah menemukan sesuatu yang lucu dari diri Jingga. Telapak tangannya yang lebar mengacak puncak kepala wanita berusia 26 tahun itu.“Aku bercanda, Jingga.” Tawa Davin masih terdengar di udara. “Kamu sudah tahu kalau aku kuliah di Oxford, bukan? Dari Inggris ke sini jaraknya cukup dekat, bisa ditempuh dalam waktu satu sampai dua jam. Jadi… aku sering menghabiskan waktu bersama teman-temanku ke sini setiap libur semester.”Mata Jingga yang menatap datar pada pintu lift itu langsung mengerjap. “Teman-temanmu perempuan?”“Nggak semua
‘Karena aku khawatir kamu cemburu dan berpikiran yang nggak-nggak.’Ya Tuhan… kenapa Davin tahu aku sempat berpikiran macam-macam? Apa aku mudah terbaca? Bagaimana ini?Jingga menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya pada botol minum dingin yang baru ia keluarkan dari kulkas, setelah telapak tangannya terasa dingin ia lantas menangkupkan tangannya itu di pipi. Berharap hawa dingin itu akan membuat pipinya berhenti memanas.Jingga mengulanginya berulang kali. Sesekali ia menyentuh kalung di lehernya sambil tersenyum sendiri.“Apa yang sedang kamu lakukan? Aku perhatikan, dari tadi kamu terus menyentuh pipimu.”Jingga terkesiap.Kepalanya dengan cepat berputar ke arah sumber suara. Ia melihat Davin sedang berdiri, menyandarkan satu bahu pada kusen pintu kamar sambil bersedekap dada.“Dave?” Mata Jingga mengerjap. “Se-sejak kapan kamu berdiri di situ? Apa… sudah lama?” Kalau sudah lama, itu artinya….“Sudah sejak lima menit yang lalu.”“A-apa?”Davin
Davin terpaku pada sederet angka yang tertera di kalender duduk, yang teronggok di samping vas bunga, di hadapannya.Rasanya waktu yang ia habiskan bersama Jingga di "kehidupannya yang sekarang", berjalan begitu cepat. Hingga tak terasa kini sudah berada di minggu terakhir bulan Desember. Hanya tersisa satu bulan lebih untuk sampai di “hari itu”; 30 Januari, hari kematian Jingga.Tangan Davin terkepal. Rahangnya berkedut. Sekali lagi Davin menegaskan, bahwa ia tidak akan membiarkan Jingga mati di dunianya yang sekarang.“Sudah siang, tapi kenapa aku masih mengantuk ya, Dave?”Gumaman Jingga membuat Davin segera memutar kepalanya ke samping.Ketegangan di wajah Davin seketika mengendur, lalu seulas senyum kecil terlukis di bibirnya ketika ia melihat Jingga keluar dari kamar sambil melangkahkan kakinya perlahan-lahan, tanpa bantuan kursi roda.Wanita itu menutup mulutnya yang menguap dengan telapak tangan. Rambut panjangnya acak-acakan. Davin terkekeh kecil melihat penampilannya, ia men
Vincent menuruti permintaan istri bosnya itu. Ia duduk di single sofa, lalu melihat layar televisi yang menampilkan tayangan olahraga untuk wanita, dan melihat Jingga, bergantian.“Rencananya aku mau beli alat-alat untuk work out seperti yang dipakai wanita itu." Jingga menunjuk layar televisi. "Tapi di toko online ini terlalu banyak jenisnya. Bisa tolong pilihkan yang mana yang bagus?”“Baik. Boleh saya lihat dulu?”“Hm.” Jingga menyerahkan ponselnya pada asisten pribadi suaminya itu.Jingga tidak ingin terlalu banyak membebani Davin, jadi ia berencana membeli alat-alat itu menggunakan uangnya sendiri. Jingga ingin memiliki bentuk tubuh ideal seperti wanita di televisi tersebut.“Saya rasa, Bu Jingga bisa mulai dengan olahraga yang ringan dulu. Bisa dari angkat beban misalnya. Untuk yang lebih berat dari itu, Bu Jingga lebih baik menyewa seorang instuktur,” ujar Vincent.“Ooh, begitu?”“Nah, untuk latihan di rumah, saya rekomendasikan Bu Jingga menggunakan alat ini.” Vincent menunjuk
Jingga berjongkok di depan lemari, sibuk memilih pakaian dari tumpukan yang terlipat rapi di dalamnya. Lalu ia menarik celana training warna hitam dan kaos oversize warna putih dari sana.Setelah itu Jingga mengenakan pakaian tersebut dan mencepol rambutnya.“Tunggu! Kenapa kamu berpakaian seperti ini?”Jingga mengalihkan tatapannya dari refleksi dirinya di cermin, ke arah Davin yang baru saja masuk kamar dan bertanya demikian. Pintu di belakang pria itu tertutup dengan sendirinya. Mata Davin meneliti tubuh Jingga dengan alis terangkat.“Aku mau mulai yoga hari ini, ‘kan? Rini sudah menghubungi aku, katanya sekarang dia lagi di jalan.”Davin menahan tawa. “Kamu terlihat seperti anak SMA yang mau mengikuti pelajaran olahraga,” katanya seraya menghampiri Jingga.“Anak SMA?” Jingga melihat dirinya sendiri di cermin, untuk memastikan kebenaran ucapan pria berkaos putih dan celana selutut di sampingnya itu. “Benar juga. Celana training ini mengingatkan aku pada masa-masa SMA.”“Biar memuda
“Bagaimana perasaanmu setelah latihan?”Jingga mengelap keringat yang membanjiri wajah dan lehernya. “Sekarang aku merasa tubuhku jauh lebih segar, tapi cukup lelah.”“Nggak apa-apa, itu hal biasa.” Rini duduk berselonjor kaki dan meneguk air putih dalam botolnya sejenak. “Beberapa hari ke depan kamu akan merasa tubuh jadi agak kaku. Tapi itu wajar, kok, untuk pemula. Asalkan kamu rajin berlatih, nanti tubuhmu akan mulai terbiasa.”“Hm.” Jingga mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih banyak, Mbak, untuk bimbingannya hari ini.”Jingga merasa pikirannya lebih ringan dan perasaannya lebih tenang sekarang. Yoga bukan hanya melatih fisik, tapi sekaligus berlatih menenangkan pikiran. Ia harus berterimakasih pada Davin karena sudah memberinya saran olahraga ini tempo hari.Ngomong-ngomong tentang Davin, Jingga jadi ingat dengan kerisauannya yang ia rasakan sebelum yoga beberapa saat yang lalu. Pandangan Jingga kembali tertuju pada Rini. Jingga iri dengan kecantikan dan bentuk tubuhnya. An
Jingga terperangah melihat meja di hadapannya yang dipenuhi kosmetik dan peralatannya, juga ada cermin berbentuk persegi.Di ruangan itu tidak hanya ada dirinya seorang, melainkan ada sepuluh wanita yang duduk di meja masing-masing, dengan kondisi meja yang sama seperti di hadapan Jingga. Di depan mereka ada seorang wanita yang sedang menata meja, dia guru kelas mereka hari ini.“Nah, sekarang, Kak Jingga pakai ini, biar rambutnya nggak menghalangi wajah.” Amarylis mengambil bandana khusus make up dari meja dan menyerahkannya.“Ya? O-oke.” Jingga menerima bandana itu dan memakainya. Lalu menatap adik iparnya yang masih berdiri di samping. “Tapi aku rasa, aku nggak pandai pakai make up. Hasilnya pasti jelek.”Amarylis memutar matanya malas. “Astaga, lalu untuk apa aku bawa Kak Jingga ke sini kalau Kakak sudah bisa pakai make up?”Jingga meringis. Iya, Amarylis membawanya ke tempat ini, tempat diadakannya kelas kecantikan yang diselenggarakan oleh salah satu salon kecantikan terkenal di
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah