Jingga berjongkok di depan lemari, sibuk memilih pakaian dari tumpukan yang terlipat rapi di dalamnya. Lalu ia menarik celana training warna hitam dan kaos oversize warna putih dari sana.Setelah itu Jingga mengenakan pakaian tersebut dan mencepol rambutnya.“Tunggu! Kenapa kamu berpakaian seperti ini?”Jingga mengalihkan tatapannya dari refleksi dirinya di cermin, ke arah Davin yang baru saja masuk kamar dan bertanya demikian. Pintu di belakang pria itu tertutup dengan sendirinya. Mata Davin meneliti tubuh Jingga dengan alis terangkat.“Aku mau mulai yoga hari ini, ‘kan? Rini sudah menghubungi aku, katanya sekarang dia lagi di jalan.”Davin menahan tawa. “Kamu terlihat seperti anak SMA yang mau mengikuti pelajaran olahraga,” katanya seraya menghampiri Jingga.“Anak SMA?” Jingga melihat dirinya sendiri di cermin, untuk memastikan kebenaran ucapan pria berkaos putih dan celana selutut di sampingnya itu. “Benar juga. Celana training ini mengingatkan aku pada masa-masa SMA.”“Biar memuda
“Bagaimana perasaanmu setelah latihan?”Jingga mengelap keringat yang membanjiri wajah dan lehernya. “Sekarang aku merasa tubuhku jauh lebih segar, tapi cukup lelah.”“Nggak apa-apa, itu hal biasa.” Rini duduk berselonjor kaki dan meneguk air putih dalam botolnya sejenak. “Beberapa hari ke depan kamu akan merasa tubuh jadi agak kaku. Tapi itu wajar, kok, untuk pemula. Asalkan kamu rajin berlatih, nanti tubuhmu akan mulai terbiasa.”“Hm.” Jingga mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih banyak, Mbak, untuk bimbingannya hari ini.”Jingga merasa pikirannya lebih ringan dan perasaannya lebih tenang sekarang. Yoga bukan hanya melatih fisik, tapi sekaligus berlatih menenangkan pikiran. Ia harus berterimakasih pada Davin karena sudah memberinya saran olahraga ini tempo hari.Ngomong-ngomong tentang Davin, Jingga jadi ingat dengan kerisauannya yang ia rasakan sebelum yoga beberapa saat yang lalu. Pandangan Jingga kembali tertuju pada Rini. Jingga iri dengan kecantikan dan bentuk tubuhnya. An
Jingga terperangah melihat meja di hadapannya yang dipenuhi kosmetik dan peralatannya, juga ada cermin berbentuk persegi.Di ruangan itu tidak hanya ada dirinya seorang, melainkan ada sepuluh wanita yang duduk di meja masing-masing, dengan kondisi meja yang sama seperti di hadapan Jingga. Di depan mereka ada seorang wanita yang sedang menata meja, dia guru kelas mereka hari ini.“Nah, sekarang, Kak Jingga pakai ini, biar rambutnya nggak menghalangi wajah.” Amarylis mengambil bandana khusus make up dari meja dan menyerahkannya.“Ya? O-oke.” Jingga menerima bandana itu dan memakainya. Lalu menatap adik iparnya yang masih berdiri di samping. “Tapi aku rasa, aku nggak pandai pakai make up. Hasilnya pasti jelek.”Amarylis memutar matanya malas. “Astaga, lalu untuk apa aku bawa Kak Jingga ke sini kalau Kakak sudah bisa pakai make up?”Jingga meringis. Iya, Amarylis membawanya ke tempat ini, tempat diadakannya kelas kecantikan yang diselenggarakan oleh salah satu salon kecantikan terkenal di
Jingga keluar dari toilet dengan canggung, lalu menghampiri Amarylis. “Apa nggak apa-apa aku pakai baju seperti ini?”Amarylis memutar bola matanya. “Memangnya ada yang bilang kalau Kakak nggak boleh pakai baju ini?”Jingga meringis kecil, menggeleng. “Nggak ada sebenarnya, tapi—”“Nah, udah, pede aja!” sela Amarylis, lalu ia mengusap perutnya. “Aku udah lapar nih, ayo kita cari makan!”“Hm!” Jingga mengangguk. Kemudian ia menyusul Amarylis yang pergi mendahuluinya. Jingga berusaha menegakkan kepala dan berjalan dengan penuh percaya diri.Beberapa saat yang lalu, setelah selesai mengikuti kelas kecantikan, Amarylis membawa Jingga ke toko pakaian dan memilih beberapa pakaian model midi dress yang memperlihatkan kaki untuk Jingga.Jingga yang sama sekali tidak mengerti fashion, sempat kaget dan menolak model pakaian seperti itu, karena ia tidak pernah mengenakan pakaian yang memperlihatkan kaki.“Mas Davin pasti suka kalau Kak Jingga pakai baju ini,” kata Amarylis saat itu, yang membuat
Davin menutup pintu kamar. Menyandarkan punggung pada daun pintu seraya bersedekap dada. Mata kucingnya menatap Jingga yang berdiri kaku di tengah-tengah ruangan. Kedua tangan Jingga saling meremas dengan gugup.Jingga pikir, Davin masih marah padanya. Entah alasan apa yang membuat Davin marah. Jingga tidak bisa menebak. Dan Jingga juga merasa, penampilannya sangat jelek di mata Davin. Ia jadi menyesal dan malu.“Dave, a-ada apa?” Jingga tidak tahan dengan keheningan itu, akhirnya ia memaksakan diri untuk bertanya. "Tadi kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan denganku."Davin tidak menjawab.Jingga jadi serba salah. Pria itu meneliti tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Rasanya Jingga ingin segera lenyap dari hadapan Davin.“Penampilanku jelek ya hari ini? Wajahku juga aneh, ‘kan?” Jingga menggigit bibir bawah. “Ta-tadinya… aku pikir, aku bisa belajar memakai make up supaya aku bisa memperbaiki penampilanku di….”Jingga seketika diam, memilih untuk tidak melanjutkan kata-katanya
“Tante juga mengundang wanita itu ke sini?”“Iya. Tante sengaja ngundang dia.” Lucy tersenyum sambil mengusap cangkir peraknya menggunakan jemari yang dihiasi berlian, lalu menyeruput teh kamomilnya dengan anggun.“Aku pikir… Tante nggak suka dengan kehadiran dia di rumah ini.” Chelsea merasa kecewa karena Jingga juga diundang ke acara makan malam yang telah mereka rencanakan sebelumnya. Tadinya Chelsea mengira, ia akan bisa menghabiskan waktu bersama Davin setelah satu bulan lebih tidak berjumpa.“Tentu saja Tante nggak suka, dan nggak akan pernah suka sampai kapanpun.”Chelsea menegakkan punggung mendengarnya. “Tapi, kenapa malam ini….”“Tante cuma ingin lihat, apa pengobatannya yang jauh-jauh ke Italia itu berhasil atau nggak.” Lucy tersenyum meremehkan. “Kakinya sudah cacat belasan tahun, menurut Tante mustahil bisa berjalan seperti orang normal. Dan kalau memang kenyataannya sekarang belum normal, bukankah mudah membuat dia lebih malu malam ini?” Lucy menatap Chelsea dengan tatap
“Makan malam di rumah orang tua Chelsea?” tanya Davin seraya menatap ibunya dengan kening berkerut.“Iya. Tante Nita menghubungi Mami kemarin, dia mengajak kita makan malam di rumahnya besok lusa.” Lucy menyilangkan kaki kiri di atas kanan. “Tapi, mereka nggak mau kamu mengajak wanita itu. Mami harap, kamu bisa meluangkan waktu, Mas.”“Wanita itu?” Kerutan di kening Davin semakin dalam. “Siapa yang Mami maksud ‘wanita itu’?”“Istrimu.”Davin menghela napas panjang, ia lalu berdiri dari tempat duduknya sambil berkata, “Namanya Jingga Thania. Aku juga berharap Mami berhenti menyebut Jingga dengan sebutan ‘wanita itu’, dia punya nama, Mi,” ujarnya sambil membalikkan badan, saat akan melangkah ia kembali berkata, “Dan sampaikan pada Tante Nita, aku nggak akan datang kalau tanpa istriku.”“Mas!” sergah Lucy dengan cepat sambil berdiri. Matanya terbelalak tak percaya. “Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi begini? Kenapa kamu lebih memprioritaskan wanita itu dibanding Mami kamu sendiri?”Sekali
Davin tidak menyukainya. Ia tidak pernah menyukainya.Kata-kata Chelsea sore tadi merasuki mimpi Jingga.Jingga terkesiap, matanya seketika terbuka dengan napas terengah-engah.Dan saat itu, Jingga baru menyadari seseorang sedang mengecup keningnya sambil berbisik, “Jangan takut. Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.”Awalnya Jingga panik, tapi setelah mendengar suara husky pria itu dan aroma parfumnya yang khas, ketegangan Jingga seketika memudar.Ruangan kamar itu tampak gelap dan hanya mengandalkan cahaya dari luar. Sampai saat ini, Jingga masih trauma dengan kejadian mengerikan ‘malam itu’.“Kenapa kamu bisa ada di sini?” gumam Jingga sambil mengatur napas dan memejamkan mata.Davin menjauhkan wajahnya dari kening Jingga. “Kamu mimpi buruk barusan. Dan kalau aku nggak salah ingat, hampir setiap malam kamu bermimpi buruk. Apa aku benar?” tanyanya seraya menyeka keringat dingin di kening Jingga.“Biasanya aku jarang tidur sebelum jam dua pagi, sebelum kamu pulang ke rumah dari club