“Bagaimana perasaanmu setelah latihan?”Jingga mengelap keringat yang membanjiri wajah dan lehernya. “Sekarang aku merasa tubuhku jauh lebih segar, tapi cukup lelah.”“Nggak apa-apa, itu hal biasa.” Rini duduk berselonjor kaki dan meneguk air putih dalam botolnya sejenak. “Beberapa hari ke depan kamu akan merasa tubuh jadi agak kaku. Tapi itu wajar, kok, untuk pemula. Asalkan kamu rajin berlatih, nanti tubuhmu akan mulai terbiasa.”“Hm.” Jingga mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih banyak, Mbak, untuk bimbingannya hari ini.”Jingga merasa pikirannya lebih ringan dan perasaannya lebih tenang sekarang. Yoga bukan hanya melatih fisik, tapi sekaligus berlatih menenangkan pikiran. Ia harus berterimakasih pada Davin karena sudah memberinya saran olahraga ini tempo hari.Ngomong-ngomong tentang Davin, Jingga jadi ingat dengan kerisauannya yang ia rasakan sebelum yoga beberapa saat yang lalu. Pandangan Jingga kembali tertuju pada Rini. Jingga iri dengan kecantikan dan bentuk tubuhnya. An
Jingga terperangah melihat meja di hadapannya yang dipenuhi kosmetik dan peralatannya, juga ada cermin berbentuk persegi.Di ruangan itu tidak hanya ada dirinya seorang, melainkan ada sepuluh wanita yang duduk di meja masing-masing, dengan kondisi meja yang sama seperti di hadapan Jingga. Di depan mereka ada seorang wanita yang sedang menata meja, dia guru kelas mereka hari ini.“Nah, sekarang, Kak Jingga pakai ini, biar rambutnya nggak menghalangi wajah.” Amarylis mengambil bandana khusus make up dari meja dan menyerahkannya.“Ya? O-oke.” Jingga menerima bandana itu dan memakainya. Lalu menatap adik iparnya yang masih berdiri di samping. “Tapi aku rasa, aku nggak pandai pakai make up. Hasilnya pasti jelek.”Amarylis memutar matanya malas. “Astaga, lalu untuk apa aku bawa Kak Jingga ke sini kalau Kakak sudah bisa pakai make up?”Jingga meringis. Iya, Amarylis membawanya ke tempat ini, tempat diadakannya kelas kecantikan yang diselenggarakan oleh salah satu salon kecantikan terkenal di
Jingga keluar dari toilet dengan canggung, lalu menghampiri Amarylis. “Apa nggak apa-apa aku pakai baju seperti ini?”Amarylis memutar bola matanya. “Memangnya ada yang bilang kalau Kakak nggak boleh pakai baju ini?”Jingga meringis kecil, menggeleng. “Nggak ada sebenarnya, tapi—”“Nah, udah, pede aja!” sela Amarylis, lalu ia mengusap perutnya. “Aku udah lapar nih, ayo kita cari makan!”“Hm!” Jingga mengangguk. Kemudian ia menyusul Amarylis yang pergi mendahuluinya. Jingga berusaha menegakkan kepala dan berjalan dengan penuh percaya diri.Beberapa saat yang lalu, setelah selesai mengikuti kelas kecantikan, Amarylis membawa Jingga ke toko pakaian dan memilih beberapa pakaian model midi dress yang memperlihatkan kaki untuk Jingga.Jingga yang sama sekali tidak mengerti fashion, sempat kaget dan menolak model pakaian seperti itu, karena ia tidak pernah mengenakan pakaian yang memperlihatkan kaki.“Mas Davin pasti suka kalau Kak Jingga pakai baju ini,” kata Amarylis saat itu, yang membuat
Davin menutup pintu kamar. Menyandarkan punggung pada daun pintu seraya bersedekap dada. Mata kucingnya menatap Jingga yang berdiri kaku di tengah-tengah ruangan. Kedua tangan Jingga saling meremas dengan gugup.Jingga pikir, Davin masih marah padanya. Entah alasan apa yang membuat Davin marah. Jingga tidak bisa menebak. Dan Jingga juga merasa, penampilannya sangat jelek di mata Davin. Ia jadi menyesal dan malu.“Dave, a-ada apa?” Jingga tidak tahan dengan keheningan itu, akhirnya ia memaksakan diri untuk bertanya. "Tadi kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan denganku."Davin tidak menjawab.Jingga jadi serba salah. Pria itu meneliti tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Rasanya Jingga ingin segera lenyap dari hadapan Davin.“Penampilanku jelek ya hari ini? Wajahku juga aneh, ‘kan?” Jingga menggigit bibir bawah. “Ta-tadinya… aku pikir, aku bisa belajar memakai make up supaya aku bisa memperbaiki penampilanku di….”Jingga seketika diam, memilih untuk tidak melanjutkan kata-katanya
“Tante juga mengundang wanita itu ke sini?”“Iya. Tante sengaja ngundang dia.” Lucy tersenyum sambil mengusap cangkir peraknya menggunakan jemari yang dihiasi berlian, lalu menyeruput teh kamomilnya dengan anggun.“Aku pikir… Tante nggak suka dengan kehadiran dia di rumah ini.” Chelsea merasa kecewa karena Jingga juga diundang ke acara makan malam yang telah mereka rencanakan sebelumnya. Tadinya Chelsea mengira, ia akan bisa menghabiskan waktu bersama Davin setelah satu bulan lebih tidak berjumpa.“Tentu saja Tante nggak suka, dan nggak akan pernah suka sampai kapanpun.”Chelsea menegakkan punggung mendengarnya. “Tapi, kenapa malam ini….”“Tante cuma ingin lihat, apa pengobatannya yang jauh-jauh ke Italia itu berhasil atau nggak.” Lucy tersenyum meremehkan. “Kakinya sudah cacat belasan tahun, menurut Tante mustahil bisa berjalan seperti orang normal. Dan kalau memang kenyataannya sekarang belum normal, bukankah mudah membuat dia lebih malu malam ini?” Lucy menatap Chelsea dengan tatap
“Makan malam di rumah orang tua Chelsea?” tanya Davin seraya menatap ibunya dengan kening berkerut.“Iya. Tante Nita menghubungi Mami kemarin, dia mengajak kita makan malam di rumahnya besok lusa.” Lucy menyilangkan kaki kiri di atas kanan. “Tapi, mereka nggak mau kamu mengajak wanita itu. Mami harap, kamu bisa meluangkan waktu, Mas.”“Wanita itu?” Kerutan di kening Davin semakin dalam. “Siapa yang Mami maksud ‘wanita itu’?”“Istrimu.”Davin menghela napas panjang, ia lalu berdiri dari tempat duduknya sambil berkata, “Namanya Jingga Thania. Aku juga berharap Mami berhenti menyebut Jingga dengan sebutan ‘wanita itu’, dia punya nama, Mi,” ujarnya sambil membalikkan badan, saat akan melangkah ia kembali berkata, “Dan sampaikan pada Tante Nita, aku nggak akan datang kalau tanpa istriku.”“Mas!” sergah Lucy dengan cepat sambil berdiri. Matanya terbelalak tak percaya. “Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi begini? Kenapa kamu lebih memprioritaskan wanita itu dibanding Mami kamu sendiri?”Sekali
Davin tidak menyukainya. Ia tidak pernah menyukainya.Kata-kata Chelsea sore tadi merasuki mimpi Jingga.Jingga terkesiap, matanya seketika terbuka dengan napas terengah-engah.Dan saat itu, Jingga baru menyadari seseorang sedang mengecup keningnya sambil berbisik, “Jangan takut. Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.”Awalnya Jingga panik, tapi setelah mendengar suara husky pria itu dan aroma parfumnya yang khas, ketegangan Jingga seketika memudar.Ruangan kamar itu tampak gelap dan hanya mengandalkan cahaya dari luar. Sampai saat ini, Jingga masih trauma dengan kejadian mengerikan ‘malam itu’.“Kenapa kamu bisa ada di sini?” gumam Jingga sambil mengatur napas dan memejamkan mata.Davin menjauhkan wajahnya dari kening Jingga. “Kamu mimpi buruk barusan. Dan kalau aku nggak salah ingat, hampir setiap malam kamu bermimpi buruk. Apa aku benar?” tanyanya seraya menyeka keringat dingin di kening Jingga.“Biasanya aku jarang tidur sebelum jam dua pagi, sebelum kamu pulang ke rumah dari club
“Apa… aku aneh memakai baju seperti ini?”Sejujurnya Jingga tidak percaya diri, tapi ia mencoba mulai membiasakan dirinya untuk tetap berpenampilan menarik di depan Davin. Lagi pula, ia tidak ingin membuat pakaian yang ia beli bersama Amarylis tempo hari hanya menumpuk di lemari.“Nggak ada yang bilang aneh,” ucap Davin seraya membenamkan wajah di ceruk leher Jingga, membuat Jingga terpaksa menghentikan kegiatannya jika tidak ingin jarinya teriris pisau. “Tapi, aku jadi nggak mau pergi ke kantor. Bagaimana ini? Kamu mau bertanggung jawab?”Kening Jingga berkerut bingung. “Apa hubungannya bajuku dan pergi ke kantor? Aku rasa nggak ada hubungannya sama sekali,” gumamnya heran.Davin terkekeh kecil, ia lantas menumpukan dagu di bahu Jingga dan menatap wortel yang belum selesai diiris.“Aku jadi berpikir, gimana caranya membuat kamu jadi wanita yang nggak polos lagi?”“Apa?”“Tapi kurasa, kamu nggak boleh diubah.”“Apa maksudmu, Dave?” Jingga masih belum mengerti ke mana arah ucapan Davin
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah