Davin menutup pintu kamar. Menyandarkan punggung pada daun pintu seraya bersedekap dada. Mata kucingnya menatap Jingga yang berdiri kaku di tengah-tengah ruangan. Kedua tangan Jingga saling meremas dengan gugup.Jingga pikir, Davin masih marah padanya. Entah alasan apa yang membuat Davin marah. Jingga tidak bisa menebak. Dan Jingga juga merasa, penampilannya sangat jelek di mata Davin. Ia jadi menyesal dan malu.“Dave, a-ada apa?” Jingga tidak tahan dengan keheningan itu, akhirnya ia memaksakan diri untuk bertanya. "Tadi kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan denganku."Davin tidak menjawab.Jingga jadi serba salah. Pria itu meneliti tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. Rasanya Jingga ingin segera lenyap dari hadapan Davin.“Penampilanku jelek ya hari ini? Wajahku juga aneh, ‘kan?” Jingga menggigit bibir bawah. “Ta-tadinya… aku pikir, aku bisa belajar memakai make up supaya aku bisa memperbaiki penampilanku di….”Jingga seketika diam, memilih untuk tidak melanjutkan kata-katanya
“Tante juga mengundang wanita itu ke sini?”“Iya. Tante sengaja ngundang dia.” Lucy tersenyum sambil mengusap cangkir peraknya menggunakan jemari yang dihiasi berlian, lalu menyeruput teh kamomilnya dengan anggun.“Aku pikir… Tante nggak suka dengan kehadiran dia di rumah ini.” Chelsea merasa kecewa karena Jingga juga diundang ke acara makan malam yang telah mereka rencanakan sebelumnya. Tadinya Chelsea mengira, ia akan bisa menghabiskan waktu bersama Davin setelah satu bulan lebih tidak berjumpa.“Tentu saja Tante nggak suka, dan nggak akan pernah suka sampai kapanpun.”Chelsea menegakkan punggung mendengarnya. “Tapi, kenapa malam ini….”“Tante cuma ingin lihat, apa pengobatannya yang jauh-jauh ke Italia itu berhasil atau nggak.” Lucy tersenyum meremehkan. “Kakinya sudah cacat belasan tahun, menurut Tante mustahil bisa berjalan seperti orang normal. Dan kalau memang kenyataannya sekarang belum normal, bukankah mudah membuat dia lebih malu malam ini?” Lucy menatap Chelsea dengan tatap
“Makan malam di rumah orang tua Chelsea?” tanya Davin seraya menatap ibunya dengan kening berkerut.“Iya. Tante Nita menghubungi Mami kemarin, dia mengajak kita makan malam di rumahnya besok lusa.” Lucy menyilangkan kaki kiri di atas kanan. “Tapi, mereka nggak mau kamu mengajak wanita itu. Mami harap, kamu bisa meluangkan waktu, Mas.”“Wanita itu?” Kerutan di kening Davin semakin dalam. “Siapa yang Mami maksud ‘wanita itu’?”“Istrimu.”Davin menghela napas panjang, ia lalu berdiri dari tempat duduknya sambil berkata, “Namanya Jingga Thania. Aku juga berharap Mami berhenti menyebut Jingga dengan sebutan ‘wanita itu’, dia punya nama, Mi,” ujarnya sambil membalikkan badan, saat akan melangkah ia kembali berkata, “Dan sampaikan pada Tante Nita, aku nggak akan datang kalau tanpa istriku.”“Mas!” sergah Lucy dengan cepat sambil berdiri. Matanya terbelalak tak percaya. “Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi begini? Kenapa kamu lebih memprioritaskan wanita itu dibanding Mami kamu sendiri?”Sekali
Davin tidak menyukainya. Ia tidak pernah menyukainya.Kata-kata Chelsea sore tadi merasuki mimpi Jingga.Jingga terkesiap, matanya seketika terbuka dengan napas terengah-engah.Dan saat itu, Jingga baru menyadari seseorang sedang mengecup keningnya sambil berbisik, “Jangan takut. Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.”Awalnya Jingga panik, tapi setelah mendengar suara husky pria itu dan aroma parfumnya yang khas, ketegangan Jingga seketika memudar.Ruangan kamar itu tampak gelap dan hanya mengandalkan cahaya dari luar. Sampai saat ini, Jingga masih trauma dengan kejadian mengerikan ‘malam itu’.“Kenapa kamu bisa ada di sini?” gumam Jingga sambil mengatur napas dan memejamkan mata.Davin menjauhkan wajahnya dari kening Jingga. “Kamu mimpi buruk barusan. Dan kalau aku nggak salah ingat, hampir setiap malam kamu bermimpi buruk. Apa aku benar?” tanyanya seraya menyeka keringat dingin di kening Jingga.“Biasanya aku jarang tidur sebelum jam dua pagi, sebelum kamu pulang ke rumah dari club
“Apa… aku aneh memakai baju seperti ini?”Sejujurnya Jingga tidak percaya diri, tapi ia mencoba mulai membiasakan dirinya untuk tetap berpenampilan menarik di depan Davin. Lagi pula, ia tidak ingin membuat pakaian yang ia beli bersama Amarylis tempo hari hanya menumpuk di lemari.“Nggak ada yang bilang aneh,” ucap Davin seraya membenamkan wajah di ceruk leher Jingga, membuat Jingga terpaksa menghentikan kegiatannya jika tidak ingin jarinya teriris pisau. “Tapi, aku jadi nggak mau pergi ke kantor. Bagaimana ini? Kamu mau bertanggung jawab?”Kening Jingga berkerut bingung. “Apa hubungannya bajuku dan pergi ke kantor? Aku rasa nggak ada hubungannya sama sekali,” gumamnya heran.Davin terkekeh kecil, ia lantas menumpukan dagu di bahu Jingga dan menatap wortel yang belum selesai diiris.“Aku jadi berpikir, gimana caranya membuat kamu jadi wanita yang nggak polos lagi?”“Apa?”“Tapi kurasa, kamu nggak boleh diubah.”“Apa maksudmu, Dave?” Jingga masih belum mengerti ke mana arah ucapan Davin
“Dia benar-benar Jingga, ‘kan?”“Wanita aneh dan pincang itu?”“Iya.”“Terus kenapa sekarang… berubah?”“Aku rasa dia punya kembaran. Dan yang ada di hadapan kita sekarang adalah kembarannya dia.”“Aku rasa juga begitu. Mustahil Jingga bisa berubah dalam waktu sebulan.”“Astaga… kenapa aku baru sadar sekarang? Dia cantik. Aku seperti melihat boneka hidup!” Di antara orang-orang yang berdesas-desus di lobi dan sepanjang selasar studio, kata-kata terakhir barusan diucapkan oleh seorang pria.Jingga berjalan sambil tersenyum samar menyapa orang-orang yang ia lewati, ia berusaha menulikan telinga. Sesuai dugaan Jingga, orang-orang akan memperhatikan dan mengomentari cara berjalannya.Hampir dua tahun bekerja di studio ini tapi tidak ada yang menjadi teman dekatnya. Selama ini Jingga menutup diri dan tidak ada orang yang mau mendekatinya.Sebelum masuk ke ruangannya, Jingga terlebih dulu mampir ke ruangan Kalil. Ia mengetuk pintu atasannya itu, tapi tidak mendapatkan jawaban dari dalam.“M
“Aku baru tahu kalau seorang pria seperti kamu bisa beli lipstik,” gumam Jingga setelah ia mengaplikasikan lipstik warna nude itu di bibirnya. Dan Jingga menyukai varian warna itu.Davin menoleh, menatap bibir Jingga sejenak, lalu menarik napas panjang dan melonggarkan ikatan dasinya.“Aku minta bantuan Amarylis,” jawab Davin, “ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba jadi panas? Kurasa AC-nya bermasalah. Aku harus membawa mobil ini ke tempat service,” gerutu Davin sambil mengurangi suhu AC.“Aku nggak panas, kok.” Jingga menggeleng polos seraya memasukkan lipstik itu ke dalam tas. “Dari tadi suhunya tetap dingin, malah sekarang sepertinya aku mulai kedinginan.” Ia memeluk dirinya sendiri karena udara tiba-tiba semakin dingin.Seketika Davin menegakkan punggung. Lalu menambah lagi suhu AC-nya. “Sepertinya tubuhku saja yang bermasalah. Gimana? Segini masih dingin?”“Kurasa cukup.”Jingga menoleh ke kiri dan mengamati gedung yang berdiri kokoh dan tampak paling tinggi di daerah tersebut. Gedun
“Damn!”Davin mengumpat lirih saat bunyi deringan ponsel dari saku celananya terdengar nyaring di ruangan yang sunyi itu.“Dave, a-ada telepon. Kurasa itu telepon penting.” Jingga menyentuh dada Davin dan mendorongnya perlahan.Davin mengembuskan napas kasar. Terpaksa ia menarik wajahnya dari ceruk leher Jingga. Napas pria itu terasa memburu. Dan dengan wajah memberengut kesal, ia mengeluarkan ponsel dari saku.Vincent memanggil.Sekali lagi, Davin mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.“Aku akan memecatmu kalau nggak ada hal penting yang kamu bicarakan!” desis Davin pada Vincent di seberang telepon, wajahnya mengeras, dan tatapannya siap membunuh apapun yang ia tatap andai saja matanya adalah pedang.Pipi Jingga memerah menahan malu, karena barusan ia sempat terbuai oleh Davin.Lalu, Jingga menggunakan kesempatan itu untuk merapikan pakaiannya kembali.Jingga benar-benar tak menyangka bahwa mereka nyaris bercinta di ruangan ini. Sungguh. Dan jujur sa
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah