Alarm yang berbunyi nyaring membuat Jingga seketika terbangun dari tidurnya. Ia terkejut karena matahari sudah terlihat terang melalui jendela yang ia lihat di sisi kiri kamar.Lalu, saat ia mematikan alarm di ponselnya dan melihat jam, rasanya semakin kaget karena pagi ini Jingga bangun kesiangan. Davin dan Oliver pun sudah tidak terlihat sosoknya di tempat tidur.Jingga bergegas turun dari ranjang. Dan seketika itu juga ia panik, karena mendapati tubuhnya tak berbalut pakaian sehelai benang pun yang terbungkus selimut putih itu.“Apa yang terjadi?” gumam Jingga pada dirinya sendiri, panik.Saat tatapannya tertuju pada sofa, pipi Jingga terasa memanas. Sekarang ia ingat apa alasan bangunnya kesiangan pagi ini. Semalam, di sofa itu, ia dan Davin….“Akhirnya kamu bangun. Sudah puas tidurnya?”Tulang punggung Jingga menegang ketika ia mendengar suara husky Davin menggema di pintu. Jingga menoleh dan mendapati Davin masuk menghampiri. Jingga merapatkan selimut tebal yang masih membungkus
“Sebenarnya… kamu sudah menjadi wanita simpanan siapa?”Pertanyaan bernada meremehkan itu membuat Jingga terhenyak. Sudut-sudut hati Jingga mendadak terasa nyeri. Bagaimana tidak? Adik kandung yang sering menghabiskan waktu bersamanya saat mereka kecil itu, kini memandang murah kakaknya sendiri.Tangan Jingga terkepal. “Kenapa kamu bertanya seperti itu, Pelangi?”Pelangi tersenyum kecut. “Terakhir aku lihat, kamu masih pincang. Tapi sekarang kakimu sepertinya sudah sembuh. Pasti butuh uang yang nggak sedikit buat mengobatinya, ‘kan?”Pincang?Ah, Jingga merasa sakit mendengarnya. Meski selama ini ia sudah kebal dengan satu kata itu, tapi ternyata rasanya sangat menyakitkan saat ia mendengar kata "pincang" dari saudari kandungnya sendiri.“Dan semua yang kamu pakai…,” lanjut Pelangi seraya meneliti tubuh Jingga sekali lagi. “Semuanya pakaian mahal, yang mustahil kamu bisa membelinya kalau bukan pemberian dari om-om berduit.” Pelangi mendengus kasar. “Ternyata kakakku yang dulu lugu dan
“Aku pernah menamparmu?!”“Hm. Pernah.” Davin tersenyum samar, ia duduk di kursi dan menatap Jingga yang sudah duduk di hadapannya. “Kamu menamparku sangat keras, dan rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang.”Jingga ternganga mendengarnya. Keningnya berkerut, berusaha menggali memori tentang kapan tepatnya ia menampar Davin. Namun Jingga yakin sekali, ia tidak pernah melakukannya.“Dave, apa kamu yakin aku pernah menamparmu? Sungguh?” tanya Jingga, memastikan.“Ya. Aku nggak berbohong.” Davin mengangguk penuh keyakinan.“Nggak mungkin. Aku sama sekali nggak ingat aku pernah melakukannya.” Lalu Jingga menatap Davin dengan tatapan serius, menatap bola matanya dalam-dalam, yang membuat pipi Davin memerah.“Kenapa menatapku seperti itu?”“Kapan dan di mana aku menamparmu? Tolong ingatkan aku.”Helaan napas Davin terdengar panjang, lalu pria itu terkekeh dan memajukan wajahnya ke depan Jingga. Diraihnya satu tangan wanita itu dan ia menghadiahkan kecupan pada punggung tangan. Davin meli
Davin menghentikan laju kendaraannya di bawah sebuah pohon yang berdiri kokoh dan rindang. Ia membiarkan mesin tetap menyala, lalu melepas sabuk pengaman dan menolehkan kepalanya ke kiri.Wanita itu sedang tidur, sangat nyenyak. Entah sejak kapan dia tertidur, tahu-tahu saat Davin menoleh sepuluh menit yang lalu kelopak matanya yang berbulu lentik itu sudah terpejam.Davin tidak mau mengganggu tidurnya. Ia menurunkan kaca mobil dan seketika aroma laut tercium. Deburan ombak terdengar mengalun lembut, menenangkan.Sambil melipat tangan kiri di belakang kepala, tangan kanan Davin sibuk dengan ponsel, lalu teleponnya terhubung dengan Arum di seberang sana.“Sore ini saya dan Jingga akan pulang terlambat, Bibik jemput Oliver di daycare,” ujar Davin seraya menempelkan ponsel di telinga, sikunya bertumpu pada pintu yang kacanya terbuka. “Ya, pastikan dia makan dengan benar dan jaga dia baik-baik. Segera kabari saya kalau ada apa-apa.”Setelah Davin memutus sambungan telepon, ia menoleh dan
Jingga dan Davin saling bertukar pandangan saat keduanya baru menyadari baju mereka basah kuyup.Dua pasang mata itu sama-sama mengerjap, seolah-olah mereka memiliki pikiran yang sama saat ini.“Dave, kamu bawa baju ganti?”“Kamu nggak bawa baju ganti, ‘kan?”Dua pertanyaan itu dilontarkan dalam waktu bersamaan. Lantas, keduanya sama-sama tertawa.“Aku nggak bawa baju ganti,” jawab Jingga lebih dulu. “Lagi pula, gimana ceritanya aku bawa baju, kamu tahu sendiri aku berangkat dari studio dan cuma bawa tas kecil doang.” Jingga menunjuk ke arah mobil yang teronggok membisu di samping mereka.Davin menghela napas panjang seraya memperhatikan tubuh Jingga yang mulai menggigil. Angin yang berembus kencang terasa menembus tulang.Davin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mustahil ia bisa menemukan penjual pakaian di sekitar mereka. Yang ada hanyalah warung-warung penjual makanan dan minuman.“Kalau begitu, kamu pakai bajuku saja. Aku bawa baju ganti di mobil. Tunggu sebentar,” uca
Davin sedang menatap berkas di hadapannya dengan pandangan dingin saat pintu ruangannya diketuk. Lalu disusul suara Vincent setelahnya.“Pak Davin, Reynaldi Wijaya sudah datang.”“Bawa dia masuk!”Suara Davin terdengar membahana, membuat wajah Rey di luar sana semakin pucat dan jantungnya berdebar-debar ngeri.Rey masuk. Itu pertama kalinya ia menginjakkan kaki di ruangan sang CEO. Ekspresi Davin yang datar dengan tatapannya yang menusuk, adalah pemandangan pertama yang Rey dapati saat ia berdiri di depan meja Davin dengan kaki sedikit gemetaran.Davin menunduk, membuka lembaran berkas di hadapannya. Tanpa menatap Rey lagi, Davin bertanya dengan suara beratnya, “Kamu tahu kenapa saya menyuruhmu datang ke sini?”Rey menelan saliva. Ada dua kemungkinan yang ia pikirkan tentang apa alasan ia dipanggil kemari.Pertama, Davin akan membahas apa yang terjadi di restoran, kemarin, lalu meminta penjelasan atas sikap Pelangi dan Rey yang keterlaluan kepada Jingga.Dan yang kedua, karena Davin t
Jingga meremas clutch dalam genggamannya, ia merasa gugup dan salah tingkah. Lalu, ia memalingkan wajahnya ke arah lain, selain kepada Davin yang sejak tadi tak berhenti memandanginya.“Jangan terus-terusan menatapku seperti itu,” gumam Jingga, berdehem. “Aku jadi merasa aku aneh dan jelek berpenampilan seperti ini.”Tangan Davin terulur, menyentuh pipi Jingga dengan lembut. “Kamu cantik,” bisiknya, yang membuat pipi Jingga seketika merona. “Aku jadi berpikir, lebih baik kita pulang lagi sekarang. Kita nggak perlu menghadiri pesta malam ini.”Mata Jingga sedikit terbelalak mendengarnya. Ia menatap pintu ballroom yang terbuka dan banyak orang hilir mudik di sana, lalu menatap wajah Davin kembali. “Kenapa kita pulang lagi? Sekarang kita tinggal selangkah lagi untuk sampai di lokasi pesta, Dave.”Rahang Davin mengeras. Ia merangkul pinggang Jingga dan berbisik di dekat telinganya, “Dalam urusan uang, aku memang dermawan,” akunya dengan jumawa. “Tapi jika itu kamu, aku sangat pelit dan ng
Jingga merasa tidak nyaman, tatapan orang-orang terasa aneh untuknya. Walaupun hanya sekali melihat, tapi Jingga tahu tatapan mereka bukan memandang rendah atau mencemooh dirinya—seperti yang selalu ia dapatkan di masa lalu.Jingga menarik napas sepelan mungkin, ia merasa sedikit lebih nyaman saat genggaman tangan Davin mengerat. Jingga lantas mendongak, menatap suaminya yang sedang asyik mengobrol dengan seorang pria paruh baya.Jingga mengagumi bagaimana cara Davin bicara yang penuh karisma. Sesekali pria itu tertawa, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian memberikan argumen dengan bahasa tubuh yang berwibawa.Ternyata seperti ini saat Davin berhadapan dengan orang-orang dari kalangan para pengusaha, pikir Jingga.Sambil mengobrol, Davin sama sekali tidak melepaskan tangan Jingga dari genggamannya.“Aku tahu kamu mengagumiku,” bisik Davin di dekat telinga Jingga, sesaat setelah pria paruh baya itu pergi dari hadapan mereka. Keduanya masih berdiri sambil memandang ke arah MC y